Reza Mustafa

Adalah Orang-Orang Latah

[avatar user=”rezamustafa” size=”thumbnail” align=”left” link=”http://acehpungo.com/2011/12/adalah-orang-orang-latah/”]Reza Mustafa[/avatar]

Akhir-akhir ini perang opini tentang kebijakan pemerintah kota Banda Aceh yang menggaruk keberadaan komunitas punk sangat gencar terjadi. Ada yang pro dengan pemerintah ada juga yang kontra. Berkenaan dengannya, saya ingin katakan begini: Mungkin, atau boleh jadi, atau barangkali, kita sedang keranjingan untuk terus memusatkan pikiran terhadap hal-hal kecil belaka akhir-akhir ini. Banyak isu-isu (idea-idea) yang dikembangkan oleh (kebanyakan) Barat (baca: orientalis), sekarang ini sudah menjadi trend para intelektualis kita untuk mengadopsinya sebagai landasan berpikir dalam melemparkan gagasan terhadap sebuah masalah.

Saya melihat bahwa kebanyakan isu-isu yang dikembangkan Barat merupakan semacam usaha untuk membesar-besarkan sesuatu masalah kecil, sehingga dengannya, para pengamat masalah (baik, masyarakat banyak, akademisi, pejabat pemerintah, PNS honorer, tukang becak dan lain-lain yang hidup dan secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang ada) menjadi alpha terhadap masalah besar yang sedang ada, atau yang sedang dirancang oleh suatu pihak.

Boleh jadi, bisa diartikan pula bahwa isu-isu yang dikembangkan Barat ke dalam pemikiran otak kita adalah semacam kamuflase (pengalih perhatian) agar apa yang mereka sembunyikan dari kita dapat tersembunyi dengan tenang dan khidmat bin khusyu’ di mana kita terus-terusan buta terhadapnya.

Boleh jadi juga, jika kita boleh (semestinya) curiga, Barat menyembunyikan suatu program besar dalam rangka menghancurkan kita dengan cara menggembar-gemborkan suatu masalah kecil yang dengannya kita asyik bertikai sesama. Dengannya pula perhatian kita luput terhadap masalah besar yang melintas dengan semena-mena di depan mata kepala. Begitulah, dengannya kita kadung dungu dan buta!

Celakanya lagi, entah bagaimana, kita sangat getol dan antusias dengan segala apa yang berbau Barat. Entah bagaimana kita menjadi demikian latah terhadap apa saja yang dikembangkan Barat sehingga dengan senang hati kita mencomot dan mengadopsinya dalam menyelesaikan suatu masalah yang ada di tanah kita sendiri. Sehingga pada taraf yang demikian akut, kita merasa diri sebagai orang yang paling keren ketika mengemukakan suatu pemikiran, gaya atau apa pun hal lain berdasarkan apa yang dikembangkan oleh Barat tersebut.

Di sini, kita tak sadar sedang menanggalkan jati diri dan kemudian menggadaikan harga diri. Di sini, saya tak punya maksud mengajak Anda untuk anti barat dengan sepenuhnya. Dalam hal ini, saya lebih ingin mengemukakan bahwa kita butuh filter terhadap isu-isu yang dikembangkan oleh barat.

Isu Hak Azasi Manusia adalah contoh yang sangat gampang kita temukan di segala sudut kampung dan kota kita sekarang ini. Perkara hak azasi adalah perkara yang sangat sering digembargemborkan ketika seseorang membela diri. Tentang ini saya malah berpikir bahwa ketika kita menuntut hak tentu kita tak abai terhadap kewajiban. Sebab hak dan kewajiban adalah dua kata yang mengandung atau kita kandung atau kita pikul sebagai seorang manusia dalam hidup di dunia secara bermasyarakat dan merakyat. Ketika rakyat menuntut haknya kepada pemerintah, misalnya, pada dasarnya pemerintah boleh mempertanyakan kewajiban apa yang sudah dilakukan oleh rakyat yang menuntut haknya tersebut. Bukankah begitu, saudaraku?

So, jika sedang begini, coba kita tarik lagi terhadap isu-isu yang dikembangkan oleh Barat sekarang ini. Apakah Barat pernah menggembar-gemborkan isu Kewajiban Azasi Manusia sebagaimana mereka mengagung-agungkan Hak Azasi Manusia ke telinga dan otak kita? Saya tak pernah mendengar istilah Kewajiban Azasi Manusia ini dibicarakan dalam ruang publik mana pun. Pernahkah Anda mendengarkannya?

Jika tidak, berarti Anda sama dengan saya, dan boleh punya pikiran, bahwa isu HAM itu pada dasarnya hanyalah isu yang menjebak. Isu yang membuat kita menjadi kaum penadah hak, kaum peminta-minta hak belaka tanpa tahu kewajiban setiap diri pribadi kita apa. Dengannya etos kerja kita surut. Otak kita sudah dipenuhi dengan pertanyaan mana hak saya?

Apa-apa selalu disangkutpautkan dengan: ini adalah hak asasi saya, itu adalah hak asasi saya, tapi ketika ditanyakan kewajiban apa saja yang sudah kau kerjakan, kita bingung murung. Kita seperti orang-orang yang tak tahu untung. Bebas raga dengan jiwa terpasung!

Lain lagi masalah gender. Yang saya tahu, kata gender berarti jenis kelamin. Oleh Barat kata ini didefinisikan (kurang lebih menurut pemahaman saya) sebagai pembelaan hak-hak perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Terhadap isu ini, harus kita akui, bahwa pada suatu tempat tertentu di belahan bumi ini, keberadaan laki-laki lebih diperhitungkan dalam suatu tatanan sosial.

Banyak perempuan terintimidasi oleh berbagai aturan primitive (saya tidak menyebutkan aturan agama, sebab dalam pemahaman saya bahwa agama, khususnya ajaran Islam, tidak pernah mendiskreditkan keberadaan perempuan di bawah dominasi para laki-laki).

Dari sini, tentu saja isu gender adalah baik dikembangkan di tempat-tempat yang penduduknya seprimitive itu. Tapi, seperti yang saya sebutkan di atas, bahwa kita -tanpa sadar- sedang mengidap penyakit latah Barat, isu ini kita bawa juga untuk masuk ke kampung dan kota-kota kita.

Ramai-ramai orang kita bikin proposal acara untuk mendakwahi masyarakat tentang isu gender yang lagi ngetrend ini. Apakah itu acara seminar, teater budaya, lokakarya, pelatihan, dan lain sebagainya dimana tema utama kesemua acaranya adalah mengangkat isu gender yang dikembangkan barat setinggi langit sampai kadang-kadang beritanya menyaingi jatah tayang iklan deodorant di radio dan televisi.

Ketika kelatahan tentang isu gender memuncak di kalangan kita beberapa waktu lalu, saya teringat ibu saya dan ibu teman-teman saya di kampung-kampung.

Kemudian, dalam kondisi kekinian, berita paling menghangat yang sekarang banyak dibicarakan oleh teman-teman saya, yang notabene mereka ini adalah para penulis muda, dimana nama-namanya sering nangkring di media massa baik cetak maupun elektronik, baik media lokal maupun ‘interlokal’ adalah bersoal tentang mempertanyakan (kata ini saya perhalus setelah membaca beberapa tulisan mereka yang kebanyakan bernada kasar) kembali kebijakan Pemkot Banda Aceh yang beberapa hari lalu menggaruk keberadaan komunitas punk di kota Banda Aceh.

Banyak kritikan-kritikan yang diajukan kepada pemkot dengan kebijakannya ‘menggaruk’ anak-anak punk tersalur melalui tulisan-tulisan di jejaring sosial khususnya facebook. Alasan yang dilontarkan pun cukup beragam. Ada yang menuding bahwa pihak pemerintah tak menjunjung tinggi azas demokrasi, ada yang bilang kebijakan pemkot melanggar HAM, bahkan ada juga yang mengatakan kalau-kalau Pemkot Banda Aceh hanya mampu menggaruk keberadaan Komunitas Punk karena komunitas ini selain secara kasat mata terlihat aneh-aneh dari segi penampilannya, secara financial malah tidak menguntungkan pemerintah sama sekali.

Lebih lanjut, komentar yang terakhir saya sebut ini, berakhir dengan analisisnya yang mengemukakan bahwa pemerintah hanya menggaruk komunitas punk, sedang keberadaan Pekerja Seks Komersial (PSK) yang disinyalir berkeliaran dari hotel ke hotel tidak digubris sebab para PSK ini punya penjaga gawang yang kerap menyetor uang dari hasil usaha mereka.

Terhadap anggapan yang terakhir saya mengangguk setuju. Karena boleh saja kita curiga jika pemerintah banyak bermain mata dengan pengusaha-pengusaha yang mengembangkan bisnisnya dalam ranah tersebut.

Bahkan ada juga pemerintah yang membuat lokalisasi untuk melegalkan usaha ini, seperti di Surabaya sana dengan keberadaan komplek Dolly-nya.

Namun yang memiriskan hati dan memotivasi saya untuk menulis tulisan ini adalah, setelah membaca sebuah artikel yang ditulis oleh seorang cerpenis kawakan Aceh bernama Azhari. Artikel ini dimuat dalam sebuah portal berita dengan judul Saya Azhari, Saya Punker: Apa Ada Masalah Besar? Pada dasarnya ketika membaca tulisan ini, saya mengerti bahwa kemauan sang penulis di dalamnya adalah semacam kritikan terhadap pemerintah yang menurutnya telah berlaku semena-mena terhadap anak-anak tak berdaya dengan memperlihatkan kekuatannya yang sangat besar.

Sedang terhadap para koruptor, terhadap para bajingan-bajingan berdasi lain yang mengotori negeri ini, menurut Azhari, pemerintah terlihat tak berdaya sama sekali. Menurutnya pemerintah hanya bisa berdiri perkasa di depan anak-anak tak berdaya, sedang di depan para penjahat kelas kakap pemerintah lesu loyo dan kehilangan gigi taringnya. Saya sangat setuju dengan kritikan yang begini ini.

Namun, ketika Azhari menyatakan bahwa perbuatan pemerintah yang menggaruk anak-anak punk adalah ‘melanggar konstitusi di dalam sebuah negara yang melindungi hak-hak warga negaranya’ saya jadi sedikit curiga tentang ke arah mana tulisan ini tertuju.

Kecurigaan ini, adalah berpijak seperti apa yang saya jelaskan dalam beberapa paragraf di atas. Jangan-jangan dalam artikel ini, Azhari sedang mengkampanyekan pemenuhan tuntutan hak rakyat pada pemerintah dengan mengabaikan kewajiban mereka sendiri.

Jika kecurigaan ini benar adanya, maka boleh disebut, bahwa kita memang sudah benar-benar latah terhadap pemikiran-pemikiran barat. Sehingga kita mesti menguras pikiran, memaksa kerja otak dengan keras, agar dapat menulis sebaik mungkin hanya demi membela anak-anak punk yang digaruk pemerintah. Sedang ketika kasus anak-anak yatim yang terlantar dan tidak digubris pemerintah, misalnya, kita hanya berdiam diri dan malah enak-enakan mengongkangkan kaki di warung-warung kopi tanpa sedikit pun bersuara tentangnya untuk mengemukakan sikap peduli.

Inilah yang saya takutkan dari kencanduan intelektual kita terhadap pemikiran barat. Kita diajak untuk membesar-besarkan, mendramatisasi masalah-masalah kecil sehingga kita alpha atau malah tidak jadi peduli terhadap masalah-masalah yang lebih besar lain.

Kita sibuk menyuarakan pemenuhan hak, tanpa mau bertanya sudahkah kau kerjakan apa yang menjadi kewajiban? Untuk ini, semoga kecurigaan saya terhadap Azhari barusan hanyalah isapan jempol kaki saya belaka. Di mana dengannya, kita tak salah kaprah dalam bersuara, dan benar-benar paham dengan idiom ureueng gampong tanyoe: “Ureueng ek u mantong, lheuh jitron baroe dilakee ongkoh.”

Maka adalah hal yang menggelikan ketika ada orang-orang yang berintelektual tinggi duluan meminta hak padahal ia belum memenuhi kewajibannya sama sekali.

Tentunya saya bukanlah xenophobikus -orang yang berlebihan takut pada hal-hal asing- yang mencurigai ke-Asing-an seseorang dari saudara sendiri yang masih se-iman dengan saya. Apalagi keinginan mengemukakan bahwa kita butuh ayakan terhadap isu-isu yang disolek oleh intelektual Barat. Kemudian, setelah mengayak satu per satu isu-isu tersebut, kita menggado-gadokannya dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada.

Apakah itu standardisasi kekampungan kita atau bahkan membandingkan dengan latah-latah lain yang menjadi lawan dari kelatahan yang sedang kita telaah itu.[]

Reza Mustafa: orang ini salah seorang jamaah Komunitas Kanöt Bu.