Diyus

Aroma El Clasico di Laga Puncak

Sepatah katapun belum kutulis sejak peluit awal pertandingan pertama Piala Dunia FIFA 2018. Sejak awal aku menonton. Saat itu pertandingan antara Russia melawan Arab Saudi.

Pertandingan pertama Piala Dunia Sepakbola FIFA kutonton 1990, saat itu Italia bertindak sebagai Tuan Rumah. Laga final mempertemukan Jerman Barat yang berhadapan dengan Argentina. Argentina kalah. Belum ada teknologi-hukum VAR saat itu. Lagipula, pertandingan final kali itu dianggap banyak kalangan sebagai pertandingan terburuk yang pernah ada; kedua tim bermain defensif dan kasar. Wasit Edgardo Codesal Mendez (Meksiko) menerbitkan 2 kartu merah dan 4 kartu kuning. Spektator yang memadati Stadio Olimpico, Roma, menjadi saksi penalti Andreas Brehme mengubur impian Albiceleste setelah Roberto Sensini melanggar Rudi Völler di kotak terlarang.

Partai Final

Sesungguhnya, tak ada lagi yang menarik saat laga kemuncak PD 2018 cuma menyisakan tim Eropa dengan karakter distribusi bola yang menurutku cenderung monoton. Aku penggemar goyangan Amerika Latin. Terutama Brazil… tentu saja minus Neymar.

Jikapun ada magnet yang tersisa, itu adalah Presiden Republika Hrvatska, Kolinda Grabar-Kitarović. perempuan yang menjadi Presiden Kroasia dengan mewakili potongan puncak-kematangan-Kaum-Hawa. Namun, mataku segera membantah saat memirsa jalannya pertandingan di sisi @acehpungo. Kroasia benar-benar memberi tekanan berarti pada Prancis. Ini memang layak terjadi di partai puncak. Kecuali kecerobohan kiper Prancis di menit 69 (angka sensual) saat beradu gocek dengan Mandzukic. Sebut saja itu khilaf.

Entah mengapa, sebagai Cules, aku tak mampu melepas gaung El Clasico dari dalam benak. Perseteruan La Liga di tanah Spanyol sana membuat mataku terpaku pada sebuah kenyataan. Kedua tim mengandung El ClasicoI! Perseteruan di ranah hiburan bergenre olahraga ini memang tak seberdarah Superclásico antara Boca Junior degan River Plate di Buenos Aires sana. Namun, unsur pemberontakan anak-anak Catalan terhadap dominasi tim Ibukota Spanyol lebih beruntung karena disiarkan lebih luas.

Perseteruan yang kerap merembet ke sentimen Nasionalisme Spanyol melawan Pemberontak(an) Catalonia cukup mewakili ledakan lada dalam sebuah masakan. Pedas. Menghunjam lidah dan menghentak tubuh. Bumbu itulah yang terhidang dalam partai final. Di sebuah grup WhatsApp yang berisi Cules dan Madridista, kudapati para jama’ahnya menunjukkan gejala serupa. Selalu mengklaim unsur Cules atau Madridista dalam tiap pertandingan yang mengandungnya. Jadi, jikapun yang kualami adalah disorientasi, sesat pikir atau gangguan kejiwaan, setidaknya aku tak sendiri. Aku yakin, Madridista selevel Reza Fahlevy pasti paham bahwa kami beda ‘kiblat’ dan sangat saling membenci dalam hal yang satu ini. Tapi jangan lupa… kami selalu seiya-sekata soal STEEM, eSBiDi dan Syahadat.

Hal inilah yang kemudian kulaporkan sebagai pandangan sepintas kepada Taufik Al Mubarak. “Pantas Kroasia kalah, karena rivalitas El Clasico selalu dimenangkan Barcelona,” ujar Taufik Al-Mubarak yang menegaskan diri bahwa ia adalah pendukung Manchester United Garis Keras. Beruntung sangat aku malam ini. Bisa dapat quote sepenting itu dari perspektif non-jama’ah El Clasico. Jadi aku tak harus menggunakan kata-kataku sendiri yang berisiko terhadap upvote dari para Madridista.

Ia mengungkapkan hal itu setelah kutunjukkan sebuah fakta yang mengusik: Prancis memiliki 2 orang pemain Barça (Samuel Umtiti dan Ousmane Dembele) dan 1 orang pemain Madrid (Raphael Varane). Sementara, Kroasia sebaliknya, seorang pemain Barça (Ivan Rakitic) dan 2 pemain Madrid (Luka Modric dan Mateo Kovacic). Kupikir ia memaksudkan bahwa lebih banyak unsur Barça di kubu Prancis berbanding dengan lebih banyak unsur Madrid di kubu Kroasia; sebuah asumsi yang juga sepadan artinya dengan lebih sedikit pemain Barça di kubu Kroasia dan lebih sedikit pemain Madrid di kubu Prancis. Anak-kalimat itu kutulis untuk memperbanyak wordcount tulisan ini saja…

Jadi, tim apapun yang menang, aroma El Clasico begitu kentara menguari udara stadion dan gegap-gempita atmosfer sorak-sorai penonton di penjuru dunia. Mulai dari pinggir lapangan hingga warung kopi tepi sawah di Indrapuri.

Aku penasaran dengan pernyataannya yang menurutku objektif itu. Namun, aku tak semudah itu percaya… Memangnya aku ini lelaki apakah?

Kutanyakan kepada Mbak Wiki. Ternyata benar. Di level liga, Barça memperoleh 72 gelar, sementara Madrid masih 64. Bagaimana dengan level Eropa dan Dunia? Madrid baru mendapat 91 gelar, sementara Barça sudah 94. Jika ditotal, kedua tim telah bertemu 271 kali (pertandingan kompetisi dan persahabatan) dengan 112 kemenangan mirik Jugadors, 99 kemenangan milik para Madridista. Bagaimana dengan jumlah gol? Ternyata Cules unggul 27 gol. Madri mengoleksi 445 gol saja, sementara Barça telah mengumpulkan 472 gol. Kupikir aku terpaksa sepakat dan mengamini pandangan @acehpungo ini. Terimakasih pada Mbak Wiki yang telah mengkonfirmasi pernyataannya.

Sebetulnya, aku tak menemukan kebaharuan dari pernyataan itu. Sekedar menghormati pernyataan insan di ‘luar pagar’ El Clasico sajalah kucari tau tentang pernyataannya lebih jauh. Tak kalau tak bertindak lebih jauh di hadapan seorang maestro dengan kegilaan terselubungnya.

Kembali ke hasil akhir pertandingan tadi (yang menyisakan magnet permainan Kroasia dengan pelukan Kolinda); jika aku dipaksa membandingkan dan memilih, aku menganggap pelukan Presiden Kolinda yang menjadi magnet terkuat malam ini. Ternyata, lagi-lagi, aku tak sendiri. Di layar MacBook Pro milik @acehpungo, terpampang sebuah status milik seorang kawan:

“Adalah pelatih Kroasia, Zlatco, Dalic yang paling kuat dan lama dipeluk palilng lama dipeluk Kolinda. Hampir 6 detik. Setelahnya adalah Modric, 3,7 detik,”

…tulis Muhajir Abdul Azis dalam cuitannya.

Langit seperti menangisi kekalahan Kroasia. Beberapa saat sebelum tim Prancis menerima medali, hujan mengguyur Luzhniki, Moskow. Kukira, kehangatan peluk seorang perempuan yang tampil di puncak kematangan keperempuanannya cukup mampu menghangatkan dinginnya tanah Kamerad Vladimir Ilyich Ulyanov itu.

Sebagai jama’ah El Clasico dan menempatkan statusku selaku Cules sebagai ideologi memahami bolasepak, aku masih mendapati remah-remah kebanggaan saat menyadari prasangkaku yang sungguh subjektif telah terkonfirmasi oleh manusia sekaliber Taufik Al Mubarak.

Sumber:

Gambar1

Gambar2

Gambar3


Leave a Comment