La Rose Djayasupena

Ganja, Redlight dan Sex Live Show

AMSTERDAM sama seperti kota Jakarta yang selalu hidup selama 24 jam, apalagi kalau sudah mulai sore menjelang malam. Suasana disana makin meriah saja. Banyak orang berseliweran dari pagi hingga menjelang pagi lagi. Waaah pokok jalan ’Oudezijds Achterburgwal kawasan de Wallen selalu hidup, nggak pernah ada matinya. Sama juga seperti kawasan Jakarta di daerah Hayam Wuruk dan Mangga Besar yang tidak ada matinya.

Kawasan de Wallen adanya di pusat kota Amsterdam yang terkenal dengan daerah esek-eseknya. Barangkali dari germo, junkies, sampai drugs dealer atau sekedar pengecer biasa juga ada di sekitar daerah jembatan dan pinggir sungai di daerah tersebut. Bukan hal aneh kalau kita mencium bau ganja di daerah situ, karena ganja di sini dijual bebas dan dilegalkan. Banyak coffeshop-coffeshop yang menjual  ganja. Kita bisa duduk di dalam menikmati ganja dengan teman-teman atau duduk sendirian di  coffeshop. Atau kita membeli lalu membawa pulang untuk menikmatinya di rumah sambil nonton TV dan minum bir.

Setiap coffeshop yang menjual ganja hanya diperbolehkan menjual maksimal 5 gram sehari kepada setiap orang yang membelinya. Karena kalau kita punya ganja di kantong cuma 5 gram tak melanggar hukum dan tidak kena straft. Tapi, kalau lebih dari 5 gram kita bisa kena hukum. Apalagi kalau punya 30 gram di tangan berarti kita sudah termasuk penjual atau pengedar, bukan disebut pemakai lagi dan itu bakal kena straft kalau ketahuan pasti dihukum.

Setiap coffeshop hanya diperbolehkan mempunyai persediaan 500 gram. Kalau ketahuan melebihi dari yang sudah ditentukan, Coffeshop itu akan ditutup untuk sementara waktu atau ditutup selamanya. Penjualan ganja atau drugs  saat ini sudah lebih streng (ketat) tidak lagi seperti di tahun 70-an.

Aku pernah melihat orang yang mau beli drugs. Caranya cuma saling nempelin tangan saja sambil jalan. Tidak bicara satu sama lain, seolah-olah tidak saling kenal dan tidak terjadi apa-apa antara penjual dan pembeli. Gerakannya cepat sekali. Seperti salam tempel gitu caranya. Padahal waktu lagi tangan saling menempel, mereka sedang memindahkan drugs dengan uang dari tangan ke tangan (mungkin heroin, cocaine)

Biasa drugs-nya, sudah dibikin bulat kecil-kecil. Dan uangnya juga sudah dilipat kecil. Sebelum transaksi, mereka sudah kontak lewat telepon. Lalu mereka  janjian untuk menunggu di suatu tempat dan mereka itu pasti sudah saling kenal, antara penjual dan pemakai tentunya.

Selain ganja yang dilegalkan, pelacuran di Belanda juga dilegalkan. Walau mereka hanya menjual tubuhnya, tetapi mereka terdaftar di Kamer van Koophandel atau Departemen Pedagangan kalau dalam bahasa Indonesia-nya. Mereka juga membayar pajak.

Daerah lampu merah atau yang lebih dikenal dengan nama Red Light District, kawasan yang sangat menarik bagi para turis untuk melihat para perempuan dengan lingerie yang super sexy berdiri di dalam kaca dengan diterangi lampu berwarna merah.

Banyak banget turis di sekitar daerah ‘Oudezijds Achterburg’ ini. Apalagi kalau musim liburan, khususnya musim panas. Turis membludak beserta rombongan tour dari mancanegara. Para turis mau muter-muter di daerah red light atau keluar masuk sex shop atau nonton sex live show. Tinggal pilih saja mau yang mana.

Atau hanya cukup sekedar menonton video didalam bioskop juga ada.Mau melihat permainan Sex dengan binatang atau permainan Sex BDSM.Pilih aja mau yang mana semua tersedia dengan berbagai macam sex film atau sex live.

Mau nonton stripteas. Ya, silahkan, cuma tinggal masuk saja. Tapi harus bayar dan beli karcis dulu di Moulin Rouge. Harga tiket masuk tertera di depan pintu masuk. Harga tiketnya sekitar 25 euro dan  35 euro. Kalau di Sex Cinema harga tiket-nya tertulis 6,50 euro (enam euro lima puluh cent). Lebih murah, mungkin karena diputar dari DVD kali ya? Makanya tiket lebih murah dari Moulin Rouge. []