roti bandung

Saiful Amri

Mau Berpenghasilan Rp6 Juta, Jajakan Roti Bandung Saja!

Tak lama dua orang gadis singgah. Mereka memesan sesuatu. Saya mulai mendekat. Laki-laki berbaju putih tadi, mulai mengambil dan membuat sesuatu digerobak bertulis Roti Bakar Khas Bandung itu. Saya pun ikut menunggu sejenak untuk memesan roti bandung, roti bakar khas ibukota Jawa Barat itu.

MALAM itu hening. Hanya beberapa kendaraan yang lalu-lalang sepanjang jalan protokol Darussalam menuju pusat kota. Rabu(27/11), jarum jam menunjukkan pukul 22 WIB lewat. Tepat depan kuburan wakaf  Pemda Aceh 1959, seorang laki-laki muda memakai baju putih terlihat berdiri di depan sebuah gerobak dorong. Di seberang kuburan itu memang agak sunyi. Hanya beberapa pengendara mobil dan motor saja yang lalulalang. Toko-toko sekitar pun tak ada yang buka.

Hanya seorang anak manusia berkulit sawo matang berdiri  samping gerobak di pinggir jalan Cut Nyak Arif, Jeulingke, Banda Aceh. Ia terlihat santai. Pandangannya terpusat pada pengguna jalan, seraya berharap ada yang singgah digerobaknya.

Tak lama dua orang gadis singgah. Mereka memesan sesuatu. Saya mulai mendekat. Laki-laki berbaju putih tadi, mulai mengambil dan membuat sesuatu digerobak bertulis Roti Bakar Khas Bandung itu. Saya pun ikut menunggu sejenak untuk memesan roti bandung, roti bakar khas ibukota Jawa Barat itu.

Setelah cewek tadi selesai, tiba giliran saya. “Yang spesial ya,” pesan saya dengan nada rendah.

Hanya menunggu hitungan menit saja, roti bakar yang ditambah coklat, keju, susu, plus kacang double pun siap dilahap. Saya memilih makan di sini, biar bisa ngomong lebih jauh mengenai prospek roti bakar buatannya.

”Lumayan enak,” ucap saya. Laki-laki itu tersenyum saja.

Umbri Aries namanya. Dia mahasiswa semester lima FKIP Ekonomi Unsyiah. Menjaja roti bakar adalah rutinitasnya  setiap sore. Mulai jam 17.00 WIB hingga jam 12 malam, selalu disibukkan dengan menu pesanan pembelinya.

Usaha yang mulai dirintis 19 November 2010 silam itu, kini menjadi modal dan harapan baru baginya. Kenapa tidak, semenjak jadi penjaja roti bakar, ia telah mengumpulkan uang hingga Rp24 Juta. Tak hanya itu, dengan menjajakan roti tersebut, Ia mampu menanggung beban biaya pendidikan adik perempuannya yang kini kuliah di Akper Cut Nyak Dhien, Banda Aceh. Bukan itu saja, kedua orang tuanya pun kini ia berikan modal untuk bekerja di kampungnya.

“Saya buka Toko Pakaian untuk ayah dan ibu di Labuhan Haji Timur, Aceh Selatan,” kata laki-laki yang akrab disapa Umbri itu.

Lima bulan pertama, ia sempat membuka lima gerobak serupa yang beroperasi sekitar Banda Aceh. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Hanya beberapa bulan saja, gerobak yang ia investasikan itu harus di jual. Pasalnya, Umbrie sempat kepepet uang kuliah, untuk dirinya dan adik pertamanya bernama Mia. Tak hanya itu, Ia pun harus menambah modal untuk barang toko yang kini dikelola orangtuanya. “Makanya saya alihkan ke orang lain,” ujarnya.

“Kenapa memilih menjual roti bandung?” tanya saya.

Ia sempat tersenyum lirih. Matanya menerawang ke wajan pembakar roti. Sedikit mengingat kembali masa lalu yang ia jalani penuh tantangan, kesedihan yang berbalut dengan harapan itu.

“Karena Orang tua  tidak mampu sepenuhnya membiayai saya untuk hidup dan melanjutkan pendidikan di Banda Aceh. Ayah hanya pedagang kecil yang berpenghasilan Rp1 jutaan per bulannya,dan beliau harus menanggung enam perut dirumah. Lima adik, ibu dan saya sendiri. Jika berharap 100 persen, tentunya ia (ayah) tidak akan mampu,” ceritanya dengan wajah tertunduk lesu.

Selain alasan ekonomi keluarga, faktor peluang juga yang membuatnya memilih pekerjaan tersebut. “Dalam membuat sebuah usaha yang terpenting adalah peluang pasar, barang apa laku jika dipasarkan di daerah ini, bagaimana dengan persaingan barang tersebut, berapa lama kita sanggup bertahan, kita juga harus melihat keadaan ekonomi konsumen, lebih kurang begitulah,” beber mahasiswa KIP Ekonomi, angkatan 2009 itu mengenai ketertarikannya menjual Roti Khas Bandung tersebut.

Laki-laki  lulusan MAS Labuhan Haji Timur itu memiliki semangat pantang menyerah, tidak pernah malu melakukan sesuatu. Bukan seperti kebanyakan pemuda, dan mahasiswa Aceh lainnya yang hanya meminta dan menunggu kiriman orang tua mereka, malu dalam dunia kerja, tidak berani tampil apa adanya.

“Padahal itulah diri kita, itulah hidup kita, hanya orang yang berani berbuatlah yang akan berhasil, jangan pernah berharap kerja tetap, tapi tetaplah bekerja,” inilah filosofi Umbri yang selalu menyemangatinya untuk terus mengembangkan usaha.

Pemuda asal desa keumumu Hilir, Labuhan Haji Timur, Aceh Selatan itu, membuang jauh-jauh rasa malunya. Ia tidak mau hidup seperti kebanyakan pemuda dikampungnya yang melaut dan ke sawah atau sekadar nongkrong di pos jaga setiap harinya guna membunuh waktu.

Ia juga tidak mau menunggu kiriman hasil jerih payah orang tuanya. Pun begitu, dengan kesibukannya bekerja saban malam hari, Indek Prestasi Komulatif (IPK) nya tidak pernah anjlok. Saat ini, IPK nya 3,23 dan Indek Prestasi (IP) untuk semester genap 2010-2011 silam mencapai angka 3,66. Berarti rata-rata nilainya mata kuliahnya A dan A plus.

“Lumayan untuk mahasiswa yang bekerja seperti saya,” kelakarnya.

Setiap malam, Ia baca buku dan kalau ada tugas ia kerjakan sembari menjual roti bandung. Jarang ada mahasiswa yang mau sepertinya.

Laba Mencapai Rp6 Juta

“Setiap malam tak kurang dari dari 50 potong roti bakarnya terjual. Laba bersih permalam, rata-rata Rp200 ribu. Itu laba bersih saja (provit),” ujarnya.

Jika dihitung per bulan berarti tidak kurang dari 6 juta rupiah ia dapatkan dari berjualan roti bandung. Gaji Pegawai negeri sipil saja, hanya dibawah Rp5 juta per bulan.

“Makanya, kuliah jangan berharap jadi PNS saja. Jika itu yang jadi patokan, maka pikiran kita jadi buntu, karir dan usaha kita tidak akan berkembang, berpikirlah realistis,” sarannya.

Sekarang saja berapa puluh ribu jiwa lulusan Perguruan Tingggi (PT) di Indonesia yang masih menggangur.

“Jadi pengusaha itu tidak sia-sia lho,” semangatinya.

Sampai saat ini, Umbri belum pernah terpikir untuk jadi PNS. Meski pendidikan di yang dijalaninya di kampus jantong hatee Rakyat itu mendidiknya menjadi guru.

“Kenapa harus pikir jadi PNS, kapan mau maju, pikiran kita hanya terkukung di situ”, ujarnya semangat.

Tak hanya waktu kuliah saja, ia mengaku saat libur semester pun ia tetap berdagang, menjual roti bandung.

“Hanya lebaran saja saya pulang,” akhirinya, sambil tersenyum.[]