Gaya Afrika

Menipu Gaya Afrika

“Gratis” katanya. “Gratis…no problemo…” katanya lagi kalau kita menolak. Lalu ia mengambil tangan kiri kita, mengalungkan sekerat benang yang dirajut, seperti gelang yang biasa dipakai anak gaul, mengikat, lalu merapikan ujungnya.  Setelah selesai, “Cinque euro,” katanya lagi. Lha, tadi katanya gratis, sekarang malah minta lima euro. Mau bilang sama dia, tidak bisa bahasa Italia, mau bayar kemahalan. Lima euro bisa makan dua hari kalau masak di rumah. Bagaimana caranya? Gelang sudah di tangan.

Begitulah salah satu motif penipuan gaya Afrika yang ada di Milan. Mereka beraksi di sekitar Piazza Duomo, pusat kota Milan. Duomo adalah gereja Katolik yang dibangun sejak tahun seribuan, dan baru selesai lima ratus tahun kemudian. Makanya, kalau orang Milan menganggap sesuatu itu terlalu lama, misalnya menunggu seseorang, mereka bilang “la fabricca del duomo,” seperti membangun Duomo. Semua turis yang datang ke Milan, pasti mengunjungi Duomo sebagai agenda pertamanya, mungkin seperti Masjid Raya bagi orang Aceh. Apalagi di sekitar Duomo berjejer pertokoan yang menjual berbagai barang yang memiliki merek dagang terkenal. Seperti kita tahu, Milan adalah pusat fasion dunia, dan pertokoan berbagai fasion terkenal itu ada di sekitar Duomo.

Karena begitu banyak orang asing, maka di sana menjadi tempat yang baik pula bagi penipu. Salah satunya penipu dari Afrika. Mereka pada umumnya adalah imigran gelap yang melarikan diri dari negaranya karena perang atau alasan lain. Di laut Selatan Italia, ada sebuah pulau yang menjadi batas antara Italia dengan negera-negara Afrika. Pulau itu sering dijadikan tempat transit bagi imigran dan masuk ke Italia dengan cara gelap. Dan Milan salah satu daerah dengan Imigran terbanyak. Banyak dari mereka mencari uang dengan jalan baik-baik, bekerja secara normal, namun ada juga diantaranya yang menjadi penipu.

Penipuan yang mereka lakukan bukan hanya dengan menjual gelang seperti saya sebutkan di atas. Ada banyak cara lain, misalnya menjual buku. Biasanya berdiri di jalan yang banyak dilakui orang. Ia memilih orang-orang tertentu yang dianggap suka dengan isue-isue Afrika, atau peduli dengan penderitaan orang lain. Biasanya orang tua atau orang asing yang sedang berlibur di Milan. Ia kemudian mendekati orang itu dan menawarkan buku kepada mereka. Sayangnya saya tidak pernah mendapatkan buku itu dan tidak tahu apa isinya. Namun saya sering perhatikan, saat orang memegang buku itu, si “penjual” ini mulai berbicara panjang lebar. Bahkan dengan mimik yang sangat serius. Saya tidak tahu apa yang ia bicarakan. Namun ujung-ujuangnya,  saya melihat orang yang diberikan buku merasa terkejut. Lalu dengan terpaksa merogoh kantongnya dan memberikan uang.

Cara lain adalah dengan memberikan jagung. DI sekitar Duomo ada banyak merpati, ribuan mungkin. Merpati ini sangat jinak, tidak ada yang menangkapnya apalagi membunuh. Semua orang menikmai kehadiran merpati ini. Kalau diberikan umpan, merpati-merpati ini akan datang berkumpul. Bahkan kalau umpan dileakkan di atas tangan atau di kepala, merpati itu akan hinggap di sana. Nah, jika ada turis yang sedang berfoto-foto dekat merpati, orang Afrika ini datang dan melemparkan jagung ke depannya. Merpatipun berdatangan. Ia mendekati lagi dan meletakkan jagung di tangan, bahkan kalau kita merasa senang, ia meletakkan di kepala. Merpati berkumpul dan kita bisa befoto-foto dengan merpati di tangan atau di kepala. Siapa yang tidak senang? Namun, ujung-ujungnya, dia minta uang. Bukan sedikit, 10 euro, atau sekitar Rp125.000 dengan uang kita. Bagaimana tidak mau kasih? Kita sudah menikmati jagungnya. Mau memprotes juga tidak bisa, kita tidak mengerti bahasanya. Banyak orang tetap memberikan, meskipun kadang tidak sebanyak yang ia minta. Kalau tidak mau kasih? Teman-temannya akan datang mendekat. Memang, ia tidak melakukan apapun, namun itu membuat kita merasa terancam dan akhirnya memberikan uang.

Hidup di kota besar seperti Milan memang susah. Biaya hidup yang tinggi, harga barang yang tidak murah, membuat orang berfikir bagaimanapun harus mendapatkan uang, termasuk menipu seperti di atas. Sasaran paling empuk adalah turis yang datang dari berbagai negara. Sering kali mereka membawa kebiasaan di negeri mereka yang sedikit aman dari penipuan dan pencurian semacam itu ke Milan. Dan ketika berhadapan dengan penipuan ini, mereka lengah dan uangnya terkuras. Sebab seringkali ketika seseorang lengah, ia tidak sadar kalau tasnya dirogoh dari belakang atau dompetnya diambil. Saya pernah bertemu seorang mahasiswa Indonesia yang baru datang ke sana  kehilangan uang 500 euro. Hampir habis uang beasiswanya sebulan.

Memang, penipu ada di mana-mana. Motifnya memang berbeda, namun tujuannya sama saja. Menawarkan yang muluk-muluk kepada orang hingga orang tertarik, lalu mengambil untung dengan memanfaatkan orang tersebut. Berbeda dengan penipu di sekitar Duomo Milan, di tempat lain penipu ini beraksi di kantor-kantor dan dilegalkan oleh undang-undang.  Kalau mau sesuatu mereka datang dengan menawarkan yang indah-indah, kalau sudah dapat mereka diam-diam mengambil untung untuk diri dan kelompoknya. Begitulah kerja penipu, di manapun mereka hidup, di Milan maupun di Aceh, sama saja!

Sehat Ihsan Shadiqin, Mahasiswa Antropologi Universita degli Studi di Milano Bicocca, Italia