Mulla Kemalawaty

Musim Gugur, Saatnya Menghargai Keajaiban Alam

Momiji

Berbeda dengan iklim di Indonesia yang termasuk iklim tropis, Jepang termasuk wilayah beriklim sedang. Negeri ini mengalami empat musim yang berbeda setiap tahunnya, sama seperti di Eropa dan Amerika Utara.

 

Empat musim yang dimaksud adalah musim panas (Juni-Agustus), musim gugur (September-November), musim dingin (Desember-Februari) dan musim semi (Maret-Mei).  Pada musim panas angin bertiup dari Samudera Pasifik sehingga menjadikan Jepang sangat panas dan lembab.  Sebaliknya pada musim dingin (Desember–Februari) angin bertiup dari daratan menjadikan Jepang sangat dingin disertai dengan kelembaban yang rendah.

Adapun musim dimana Jepang tampak begitu semarak dan penuh dengan turis, baik lokal maupun mancanegara adalah musim semi dan musim gugur. Saat itu udara sejuk dan pemandangannya sangat eksotis. Di musim semi, hari-hari berlalu dengan indah semerbak dengan munculnya bebungaan, termasuk bunga sakura yang terkenal itu.  Sinar sang surya memancarkan kehangatannya sehingga suasana menjadi semarak.

Saat bunga sakura bermekaran mereka menikmatinya dengan cara “hanami”. Yaitu berpiknik bersama di bawah pohon sakura. Mereka membawa bekal dari rumah dan menyantapnya dengan riang gembira sembari berfoto bersama keluarga dan kerabat. Suasana begitu riang seriang musim semi yang baru saja tiba.

Selain musim semi, musim gugur juga merupakan musim yang diidam-idamkan. Setelah terpanggang selama musim panas yang terik dan lembab, kedatangan musim gugur menjadi hal yang dinanti-nantikan. Suhunya bisa mencapai 35 derajat saat musim panas, dan perlahan-lahan mulai turun. Cuaca menjadi agak sejuk tapi masih cukup hangat untuk melakukan aktivitas di luar ruangan.

Musim gugur di Jepang sangat identik dengan jernihnya langit biru yang disebut dengan “akizora” (langit musim gugur), daun-daun yang berguguran, dan musim panen. Namun yang paling memikat adalah berubahnya warna daun pada berbagai jenis pohon. Daun-daun yang berubah warna ini disebut dengan “kouyou”. Tak kurang ada lima warna yang menghiasi pegunungan, tepi jalan maupun tepi sungai yaitu merah, merah muda, kuning, oranye dan coklat.  Warna terindah dan paling dicari adalah warna merah menyala yang muncul dari daun maple atau momiji. Daun ini tidak serta merta berubah menjadi merah. Paling tidak ada dua tahapan warna kuning dan oranye sebelum dia menjadi merah sempurna.

Ketika tinggal di distrik Miyamae, Kawasaki, perfektur Kanagawa, saya kerap melihat momiji yang ditanam warga lokal di pekarangan rumah. Saat melihat momiji yang berdaun merah, saya akan terpukau dan berhenti sejenak untuk sekadar mengagumi keindahannya. Momiji tidak hidup di negara tropis seperti Indonesia, maupun di kutub, karena dia tidak bisa hidup di tempat yang terlalu panas maupun terlalu dingin. Jadi dia hanya bisa hidup di negara beriklim sedang.

Bagi saya, melihat momiji merupakan hal yang langka dan tidak bisa ditemui setiap waktu. Sangat wajar bila saya terpukau dan memandangi daun merah menyala itu dengan tatapan penuh kekaguman. Tak hanya warnanya yang cantik, bentuk daunnya juga unik.  Seperti telapak tangan dengan tujuh jari berkuku lentik. Dengan keelokan warna dan kekhasan bentuknya, tak heran kalau momiji merupakan primadona musim gugur.  Setelah puas memandanginya, dengan berat hati saya pun melangkahkan kaki untuk melanjutkan perjalanan yang tertunda.

Selain momiji atau Acer palmatum, masih banyak tumbuhan lain yang berubah warna. Namun yang paling indah memang momiji.  Beberapa tumbuhan tidak menampilkan warna merah, melainkan kuning sebelum akhirnya luruh ke tanah. Semisal pohon gingko atau Ginkgo biloba. Pohon raksasa yang bisa mencapai tinggi puluhan meter ini dikenal sebagai obat pikun. Batang gingko yang kokoh dan hitam, nampak kontras berselimutkan daun-daun kecil serupa suplir berwarna kuning emas

Pohon gingko banyak ditemui di kampus Toyo atau Toyo Daigaku, di Kawagoe, perfektur Saitama. Jalanan di sekitar kampus dipagari pohon gingko di kedua sisinya. Uniknya, daun-daun yang jatuh dan berserakan di tanah pun masih memesona, dengan gradasi kuning-cokelat. Jika kita menginjak dedaunan itu akan menimbulkan bunyi ‘gersak-gersak’. Berjalan di bawah pohon raksasa ini membuat saya merasa menjelma menjadi seorang putri di tanah gingko, menimbulkan kesyahduan tersendiri yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Selain kouyou dan daun-daun yang berguguran, musim gugur juga bertepatan dengan masa panen padi, sayuran dan buah-buahan. Di musim ini selera makan semakin meningkat seiring dengan datangnya masa panen. Ada nomikai yaitu acara makan bersama keluarga dan sahabat yang biasanya diadakan di pinggir sungai.  Menunya ikan bakar, daging bakar dan sup imoni.

Ada juga momiji-gari, yaitu acara jalan-jalan untuk melihat-lihat daun-daun yang berwarna-warni.  Biasanya mereka mengunjungi tempat-tempat wisata yang menampilkan keindahan kouyou bersama keluarga dan kerabat. Taman-taman kota, tepian sungai maupun pegunungan menjadi incaran turis, baik turis lokal maupun mancanegara.

Di wilayah Tokyo, salah satu daerah yang menjadi ‘lautan turis’ adalah Gunung Takao. Gunung yang tingginya 599 meter ini ada di bagian barat distrik Tokyo, tepatnya di Takaomachi, kabupaten Hachioji. Bagi yang senang hiking, mendaki gunung bisa menjadi hal yang menyenangkan. Tapi bagi yang tidak kuat mendaki, jangan kuatir. Pemerintah menyediakan cable car dengan harga tiket 470 yen atau sekitar 40.000 rupiah. Namun untuk menaiki cable car ini pengunjung harus rela mengantri, kadang hingga satu jam lebih.

Di wilayah Kyoto, salah satu spot menarik adalah pegunungan Arashiyama yang terletak di bagian barat Kyoto. Sepintas lalu birunya danau yang berpadu dengan lereng-lereng pegunungan Arashiyama mirip dengan keindahan pegunungan di Takengon dengan Danau Laut Tawarnya.

Wilayah Arashiyama merupakan tempat peristirahatan raja sejak zaman Heian (794-1185), karena pemandangannya yang syahdu dan eksotis. Di tempat wisata ini menawarkan berbagai pilihan yang bisa dinikmati. Misalnya Saga Romatic Train, kereta api wisata lima gerbong dengan kecepatan maksimal 25 km/jam selama 25 menit perjalanan. Kereta ini berjalan tujuh kilometer dari Arashiyama ke Kameoka. Atau wisata dengan perahu menyusuri Sungai Hozu yang jernih melewati jembatan Togetsukyo yang romantis, atau bisa juga bersepeda dengan menggunakan sepeda sewaan.

Selain panorama kouyou, pengunjung bisa menikmati rimbunnya hutan bambu yang luasnya membentang sampai ke wilayah Saga.  Sensasi lain bisa diperoleh dengan menonton lucunya tingkah para monyet di Iwatayama Monkey Park.

Masyarakat Jepang merupakan bangsa yang cinta dengan lingkungan. Mereka berusaha hidup selaras dan harmoni dengan alam. Adanya perayaan saat pergantian musim maupun perubahan warna daun merupakan salah satu cara untuk menghargai keajaiban alam dan mengisi hidup ini dengan penuh rasa syukur. []

Mulla Kemalawaty adalah anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh