Taufik Al Mubarak

Nato, Referendum, dan Anjing

“SAYA Nato dari Timor,” pria itu memperkenalkan diri begitu bertemu saya di Jakarta, Minggu (3/7).

Dia menaruh koper dan tas di sudut kamar. Jaket Jeans yang dikenakannya juga kemudian dilepas. Hanya tinggal kaos oblong. Wajah Mayor Alfredo tercetak jelas di bagian depan kaos.

Sementara di bagian belakang, terdapat gambar bendera. Bendera negara Timor Leste. Ukurannya kecil. Di bawah bendara ada tulisan dalam bahasa Inggris:

The birth was happened by chance. The is a certainly everyone who is a live will die, but only the warriors will die as nations heros—by Major Alfredo Reinado.

Dia menjadi peserta kedua luar pulau Jawa, setelah saya, yang duluan tiba di Jakarta. Nato termasuk satu dari 16 peserta pelatihan Jurnalisme Sastrawi yang digelar Yayasan Pantau di Jakarta, selama dua minggu, 4-16 Juli 2011.

“Saya Taufik Al Mubarak dari Aceh. Saya juga baru tiba.”

Kami pun akrab. Saling bertanya kondisi daerah masing-masing. Kami ditempatkan pada satu kost yang sama di rumah dalam kawasan Gang Haji Omo, Cidodol, Kebayoran Lama. Nato ini termasuk pria yang senang bercerita. Saya lebih banyak menyimak, hanya sesekali bercerita tentang Aceh.

Anato Moreira atau lengkapnya Deonato Da Piedade Moreira lahir di Maliana, Kabupaten Bobonaro, 7 Desember 1977. Maliana jaraknya kira-kira 3 jam perjalanan atau 200 KM dari barat Kota Dili. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Belu, Attambua.

“Tanggal lahir saya kebetulan bertepatan dengan invasi militer Indonesia ke Timor Leste, hanya beda tahunnya saja,” cerita dia saat kami kembali terlibat pembicaraan serius, Kamis (14/7).

Invasi Indonesia ke Timor Leste terjadi pada 7 Desember 1975.

Nato menggunakan baju singlet putih dipadu celana Jeans hitam. Saat bicara, Nato memainkan Hp sambil tidur-tiduran. Dia cukup santai menjawab setiap pertanyaan saya.

Tanggal 7 Desember, kata Nato, menjadi hari bersejarah bagi Negara Timor Leste. Setiap tanggal 7 Desember, pemerintah Timor menetapkan sebagai hari libur nasional.

Nato anak kedua dari empat bersaudara. Dua cewek dan dua cowok.

“Dua menikah, dua lagi belum.”  Yang belum menikah, kata Nato, dua-duanya laki-laki.

Bapaknya, Norberto Pires Vilar Moreira dengan ibu Engracia Da Piadade. Keduanya tinggal di Suwai, ibukota Kabupaten Kovalima.

“Di Timor, kami rata-rata menggunakan nama dalam bahasa Porto.”

Porto yang dimaksud Nato adalah Portugal. Saat invasi Indonesia ke Timor Timur pada 1975, Timor Timur masih termasuk dalam salah satu propinsi kerajaan Portugal.

Timor Timur, sebut dia, menganut budaya patriarkhi. Setiap anak tidak boleh menghilangkan marga dari bapaknya. Saya jadi tahu, kenapa Nato senang menyebut namanya Nato Moreira.

Nato adalah anak dari seorang TNI. Bapaknya anggota TNI aktif, bertugas di Kodim Kabupaten Kovalima (dengan ibukota Suwai). Tapi Nato tak tinggal bersama mereka di Suwai. Dia tinggal bersama sang paman di perumahan dinas DPRD tingkat 1 Propinsi Timor-Timur.

Pamannya adalah anggota DPRD Utusan Kabupaten Bobonaro. Menjelang jajak pendapat, cerita Nato, pamannya aktif sebagai sekretaris Barisan Rakyat Timor (BRT), salah satu organisasi pro otonomi.

Sebagai anggota DPRD utusan Kabupaten Bobonaro, saat kampanye terakhir otonomi, pamannya harus kembali ke Maliana (ibukota Bobonaro) untuk berkampanye. Ketika referendum digelar, paman, bibi dan dua anaknya memberi suara di sana.

***

HARI itu, Senin 30 Agustus 1999. Perhatian publik internasional tumpah ke Dili, ibukota Timor Timur. Kesibukan meliputi seluruh pelosok propinsi ke-27 Indonesia itu. Kendaraan milik UNAMET dan militer Indonesia berseliweran di jalan-jalan dan di tempat-tempat yang jadi lokasi pemungutan suara.

United Nations Mission East Timor (UNAMET) atau Misi PBB untuk Timor Timur ditunjuk sebagai badan yang menggelar jajak pendapat. Sementara untuk pengamanan masih di bawah kendali militer Indonesia.

Anato bangun lebih cepat dari biasanya. Sebelum pukul 7 pagi, dia sudah selesai mandi dan berpakaian. Penampilannya sangat rapi. Bercelana jeans dan kemeja lengan pendek. Anato akan ke tempat pemungutan suara.

Tepat pukul 7 pagi, UNAMET menggelar jajak pendapat atau referendum. Anato tahu, suara dia dan suara masyarakat Timor Timur lainnya pada hari itu sangat menentukan. Tak hanya bagi Timor Leste, melainkan juga bagi Indonesia.

Selesai memberikan suaranya, Nato kembali ke rumah. Menonton televisi (TV) sambil tidur-tiduran.

“Saya memantau perkembangan Jajak Pendapat di tempat lain di Timor Timur melalui TV.”

Penghitungan dan pengumuman hasil jajak pendapat rencananya dilakukan pada 8 September 1999. Namun, UNAMET memajukan empat hari dari tanggal yang direncanakan.

“Pengumuman dimajukan menjadi 4 September, saya tidak tahu apa alasan mereka,” ujarnya.

Sabtu, 4 September 1999. Seperti masyarakat lainnya, Nato tak sabar menunggu hasil jajak pendapat itu.

“Saya buka channel RCTI.”

Hampir semua TV nasional, kata dia, menyiarkan prosesi penghitungan dan pengumuman hasil jajak pendapat.

Nato sama sekali tak gelisah. Dia bersikap biasa-biasa saja. Detik-detik penghitungan dimulai. Nato ingin segera tahu apa hasilnya.

“Apapun hasilnya, itulah yang terbaik untuk masyarakat Timor-Timur.” Hanya saja, Nato berharap tak ada pertumpahan darah di Dili.

Mendengar penjelasan Nato, saya mengurungkan niat bertanya soal opsi yang dipilih saat referendum itu. Saya takut dia tersinggung. Mungkin suatu saat saya akan bertanya soal ini.

Mata Nato tak pernah lepas dari layar TV. Sesekali dia menarik nafas panjang.

Jam menunjukkan tepat pukul 09.00 WITA. Kepala UNAMET, Ian Martin, saat itu berada di Hotel Timor, muncul di hampir semua siaran TV Indonesia. Dia yang bertindak mengumumkan hasilnya.

Nato terdiam begitu hasil itu diumumkan. Dia tak menduga, kelompok pro otonomi kalah. Sebanyak 79 persen masyarakat Timor Timur lebih memilih berpisah dari Indonesia, sisanya 21 persen memilih otonomi.

Sejak pengumuman tersebut, Nato tak pernah keluar rumah. Dia mengurung diri di kamar. Aktivitasnya di rumah hanya memantau siaran TV.

Pasca pengumuman hasil jajak pendapat tersebut, kota Dili mencekam. Pembakaran terjadi di mana-mana.

“Saya lihat bagaimana kekejaman para milisi.”

Pada 10 September, Nato baru keluar rumah. Dia tak menyangka, bahwa itulah hari terakhir dia berada di kota Dili. Dia terpaksa mengungsi ke tempat lain.

“Saya tidak akan mengungsi jika tidak dipaksa dan Dili tidak kacau,” katanya sembari mengaku tak ada pikiran mau mengungsi.

Pihak milisi kecewa pro otonomi kalah. Mereka tak menerima hasil jajak pendapat. Para milisi ini kemudian memaksa masyarakat Timor Timur keluar kota Dili. Mereka beralasan ingin membakar rumah dan membumihanguskan kota Dili.

“Saya masih ingat milisi yang memaksa saya mengungsi, namanya Besi Merah Putih. Milisi ini mengancam dan menyuruh saya keluar.”

Namun, kata Nato, tak semua yang mengungsi karena dipaksa. Ada sebagian yang mengungsi karena kesadaran sendiri dan takut.

Secara kasar, jelas Nato, ada 250.000 orang keluar dari Timor-Timur pasca jajak pendapat. Sisanya lari ke hutan, karena tidak sempat mengungsi lagi. Mereka kebanyakan pro kemerdekaan.

“Yang mengungsi ke Timor Barat (Atambua) tidak semuanya pro otonomi, ada juga pro kemerdekaan,” jelasnya.

Kondisi kota Dili makin tak menentu. Milisi mulai bertindak anarkis. Mereka memaksa masyarakat mengungsi dan membakar apa saja. Tapi, tidak semua bangunan dibakar, terutama bangunan vital seperti Telkom, PLN atau kantor pemerintahan.

“Kebanyakan yang dibakar adalah toko dan rumah penduduk. Yang bakar itu bukan TNI, tapi para milisi.”

Para milisi ini, kata Nato, digunakan oleh TNI sebagai alat. Pihak TNI sendiri seperti membiarkan ulah para milisi membumihanguskan kota Dili. Pihak UNIMET pun mulai kewalahan mengendalikan Timor Timur pasca Jajak Pendapat.

Untuk mengendalikan keadaan Timor Timur yang tak menentu, misi UNIMET kemudian digantikan oleh UNTAET atau United Nations Transition Administration East Timor. UNTAET ini diperkuat oleh tentara penjaga perdamaian, seperti dari Australia, Thailand dan Malaysia.

***

NATO bercerita, meninggalkan kota Dili adalah saat yang menyedihkan dalam hidupnya. Dia dipaksa meninggalkan kota yang sudah memberinya kehidupan. Nato keluar rumah hanya memakai pakaian seadanya.

“Saya bawa pakaian, dokumen, ijazah, surat permandian (surat baptis), dan sertifikat yang berkaitan dengan sekolah dan administrasi. Saya meninggalkan rumah di Dili, tidak membawa satu perabot pun.”

Menurut Nato, di rumah dinas pamannya itu, terdapat kursi sofa, video kaset, pesawat TV, perabotan dapur, lemari pakaian, tempat tidur lengkap, kursi, meja-meja makan dan alat-alat di garasi mobil. Satu unit mobil milik pamannya sudah duluan dibawa ke Maliana, saat sang paman berkampanye otonomi.

“Barang-barang di rumah punya kita semua, pemerintah hanya menyiapkan rumah.”

Nato tak sedikit pun menyesal meninggalkan semua itu. Hanya yang membuatnya sedih, dia meninggalkan dua ekor anjing kesayangan. Satu jantan bernama Rambo, yang satunya betina.

”Yang betina namanya saya….ah saya lupa. Lupa. Lupa.” Kata Nato sambil memegang kepala.

Kedua anjing itu tak sempat dibawa serta. Ketika berangkat, Nato tak tahu keberadaan kedua anjingnya. Lagi pula, Nato lebih memikirkan keselamatan dirinya, ketimbang anjing-anjing itu.

Dari rumah, Nato berjalan kaki. Pasca pengumuman hasil jajak pendapat sulit mendapatkan kendaraan tujuan Timor Barat. Setelah cukup lama jalan kaki, Nato akhirnya bisa mendapatkan tumpangan.

“Saya naik mobil kijang pick-up milik orang China.”

Mobil itu, cerita Nato, distop di sebuah pos polisi. Selain sopir, di dalam mobil itu sudah ada dua orang penumpang. Namun, tak seorang pun dikenalnya. Nato hanya berharap, segera bisa keluar dari Dili. Tujuannya ke Atapupu, Atambua.

“Saya punya nenek di Atapupu yang mengungsi tahun 1975, saat invasi pertama kali terjadi.” Setelah invasi itu, cerita Nato, neneknya tak mau kembali lagi ke Timor Timur.

Ketika mobil yang ditumpanginya tiba di Atapupu, Nato kebingungan. Dia tak tahu letak rumah neneknya. Beruntung, sang bibi sempat melihat dia menumpang mobil China. Menurut Nato, paman, bibi dan kedua anaknya sudah duluan mengungsi. Mereka mengungsi dari Maliana.

“Begitu melihat saya, bibi berteriak memanggil.”

Setelah itu, semuanya memanggil secara bersama-sama. Karena teriakan tersebut, mobil yang ditumpangi Nato pun berhenti. Mobil itu berhenti sekitar 500 meter dari lokasi rumah.

“Setelah bertemu, kami pun saling berpelukan,” kata Nato yang mengaku cukup senang bisa berkumpul dengan kerabatnya.

Saat itu, Nato masih belum tahu kabar kedua orang tua dan saudaranya. Apakah mereka sempat mengungsi atau terjebak dalam kerusuhan.

Baru beberapa bulan kemudian, Nato bisa berkumpul bersama keluarga besarnya. Kedua orang tuanya kini menetap di Atambua. Bapaknya kembali bertugas sebagai anggota TNI di Koramil setempat.

“Untuk saat ini masih WNI,” jawab Nato saat saya tanyakan apakah semua keluarganya ingin kembali. Katanya, suatu saat besar kemungkinan mereka akan kembali ke Timor Leste.

Nato sendiri kini aktif di CIS Timor, lembaga yang masih eksis mengurusi para pengungsi Timor Leste di Timor Barat (Kupang dan Atambua). Nato bergabung dengan CIS sejak 2003, dan dipercayakan sebagai wakil koordinator untuk kantor CIS Atambua. Kantor pusatnya ada di Kupang.

Setelah merdeka, Nato sudah beberapa kali keluar masuk Dili. Seperti pendatang lainnya, untuk masuk ke Dili, Nato harus pakai paspor dan membayar visa 30 dollar. Timor Leste hingga kini belum punya mata uang.

Tahun 2002, cerita Nato, dirinya dua kali berkunjung ke Dili. Pertama kunjungan keluarga. Kedua, terkait program rekonsiliasi.

“Banyak keluarga saya masih berada di Timor Leste. Tak semuanya mengungsi,” kata Nato, sembari menyebutkan, mereka sudah sering mengajaknya pulang.

Sementara pada 2009, Nato diundang mewakili CIS Timor pada perayaan 10 tahun referendum. Terakhir, Nato pulang ke Timor tahun 2010.

“Saya memfasilitasi orang di Timor Barat pulang ke kampung halaman,” kata Nato yang terlibat dalam program repatriasi (kembali ke daerah asal) warga Timor Timur.

“Apakah Nato tidak ingin kembali?” Dalam hati, sebenarnya saya ingin tahu Nato memilih opsi apa dalam jajak pendapat dulunya. Nato seperti tahu maksud saya.

“Saat itu saya memilih otonomi. Alasan pertama, paman saya orang otonomi. Kedua, bapak saya seorang tentara. Itu saja alasannya.”

Meski memilih otonomi, kata Nato, dalam hati kecilnya dia ingin merdeka.

Nato mengaku tidak pernah menyesal dengan pilihan tersebut. Dan ketika Timor Timur merdeka, Nato tidak kecewa.

“Saya sudah siap dalam batin, kalau Tim-Tim akan merdeka.”

***

MINGGU, 17 Juli 2011. Pukul 03.00 Nato sudah bangun. Dia mondar-mandir, dari tempat jemuran ke kamar mandi. Dia cukup sibuk. Dia juga membereskan semua barang bawaannya.

“Koper jadi penuh dengan buku.” Nato terpaksa memindahkan baju-bajunya ke ransel. Alasan dia, baju tak begitu berat.

Selesai mandi, handuk yang masih basah dia keringkan di kipas angin. Saya perhatikan, Nato berdiri cukup lama sambil membentangkan handuk menghadap kipas angin.

Pagi ini, tak banyak waktu yang dimiliki aktivis CIS Timor itu. Pada tiket, tertera pukul 08.30 dia harus take off.

“Saya sama Denni berangkat bareng ke bandara, setelah sarapan tentunya,” ujarnya.

Deni yang dimaksudkan Denni Pinontoan, teman satu angkatan yang ikut jurnalisme sastrawi. Denni asli Minahasa. Dia seorang pendeta dan juga pejuang untuk Minahasa.

Setelah beberapa saat, Nato melipat handuk yang sudah dikeringkan. Handuk itu bergabung bersama barang-barang lain ke dalam koper. Koper itu kemudian ditarik ke luar kamar. Nato duduk di kursi sambil memakai sepatu. Setelah itu, dia masuk lagi mengambil ransel.

“Saya antar Nato sampai di depan.” Saya loncat dari tempat tidur dan meraih di gantungan pintu.

Kami pun keluar. Nato berjalan di depan sambil menarik koper. Saya mengikuti di belakang. Saya mengantar dia hingga di pintu pagar.

“Sampai  bertemu lagi ya…di dunia maya.”

Dia pun tertawa. Saya hanya menjawab singkat.

“Oke! Obrigado…”

Saya tak langsung masuk. Saya masih berdiri beberapa menit dan memperhatikan teman dari Timor Leste ini menyusuri gang Haji Omo ke arah kiri. Hingga bayangan dia menghilang. Saya pulang. Saat itu jam menunjukkan pukul 04.49 pagi.


Leave a Comment