Pan Amroe

Numpang Keren dengan Kacamata Hitam Kakanda

Ada dua orang temanku. Seorang bertubuh besar, sebut saja namanya Si Ulung. Dan seorang lagi agak lebih kecil, panggil saja namanya Si Ulang. Banyak cerita beredar, si Ulang adalah anak didik Si Ulung. Itu artinya, sebagian besar isi kepala Si Ulung, pastinya sudah melekat di kepala Si Ulang. Hingga, Si Ulang pun tidak sadar kalau sebagian tindakannya adalah cermin dari Si Ulung, termasuk dalam cara menggunakan kacamata hitam.

Sebelum jauh aku berkisah tentang satu kacamata hitam yang dipakai bergantian oleh mereka untuk kemudian kupotret, baiknya aku sambungkan narasinya bagaimana aku kenal dengan Si Ulung dan Si Ulang. Kedua insan pers ini aku kenal di waktu berbeda, dengan rentang waktu lumayan jauh. Tapi kini kami sering bersama semeja, pastinya saat menikmati kopi.

Aku bertemu Si Ulung di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Dulu sekira tahun 2006. Saat itu demonstrasi mahasiswa di jalanan masih bisa dibanggakan. Itu saat aksi mahasiswa belum bisa dibeli, saat mahasiswa masih berada di garis depan membela rakyatnya. Dan tersebutlah Si Ulung sebagai seorang mahasiswa di dalam peserta demo. Selain orator handal, lagi pun didukung oleh suaranya yang lantang bak halilintar, Si Ulung pun seringkali maju ke depan dengan tangan tergepal. “Lawan!, lawan!,” itu kata yang akrab dari bibirnya.

Lain halnya dengan Si Ulang, ia masih berusia belia. Bayangkan saja, saat aku di semester satu, lelaki berkulit putih itu masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar (SD). Pantasnya, dan sudah semestinya kusebut dia dengan cucu leting. Dan dia harus memanggilku dengan kakek leting. Begitu jauh selisih waktu yang kami jalani, walau ujung-ujungnya kami diberi kesempatan oleh Tuhan untuk duduk semeja. Saling bercengkrama, bicara apa saja, tak ketinggalan menggosip orang lain dengan gaya intelektualnya.

Kembali ke topik semula tentang kacamata hitam yang Si Ulung dan Si Ulang pakai. Kacamata itu sebenarnya milik teman lain yang hari itu duduk di meja kopi yang sama. Sering mereka sebut dengan nama Kakanda. Sayangnya, disini kita tidak akan bicara banyak tentangnya. Maklum saja, pria itu bukan level rendahan untuk diulas tuntas. Tapi sekedar mengulas kacamata miliknya kurasa tidak akan berdampak buruk untuk pribadinya yang dikenal khalayak sangat berwibawa.
Siang jelang sore itu, kacamata Kakanda dibuka, lalu diletakkan di meja kopi.

Belum semenit, itu kacamata langsung disambar oleh Si Ulung. Sepertinya ia tidak sabar untuk memasang cermin mata itu. Dengan senyum khas, Si Ulung pun nyengir ke arah kamera, momen itu langsung kuabadikan. Menurutku ini penting dan pasti ada manfaatnya di kemudian hari. Setidaknya untuk kuulas dalam tulisan yang tidak terlalu berpengaruh ini.

Segera, sekejap kacamata diangkat dari wajah Si Ulung, Si Ulang pun tidak mau tinggal diam. Ia juga ingin nampak keren seperti gurunya, siapa lagi kalau bukan Si Ulung. Tanpa instruksi, ia pun setengah merampas kacamata dari tangan gurunya. Alhasil, kacamata pun berpindah wajah. Sama, ia pun ingin dipotret. Lagi-lagi, ini persis seperti tingkah gurunya. Si Ulang pun bergaya ala India. Ia terlihat senang dan puas sekarang.

Sayang, sedang asik-asik Si Ulang mencoba kacamata yang telah membuatnya merasa keren. Sanggah Kakanda ia harus segera berangkat, karena mendadak ada urusan lain yang harus ia selesaikan. Dan terlebih lagi, itu kacamata bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk melindungi mata Kakanda dari sinar mentari dan debu-debu jalanan. Maklum, kanda sering warawiri di tengah kota.

Ujung cerita, tinggallah Si Ulung dan Si Ulang tanpa kacamata hitam. Dan kini mereka tak bisa lagi menyembunyikan tatapan mata yang sedari tadi terus saja mereka tutupi. Mereka tidak lagi seperti intelijen yang sedang mengintai mangsa. Dan mereka tidak lagi seperti pasukan pengamanan presiden yang terlihat seram. Kini mereka biasa-biasa saja tanpa kacamata hitam. Sungguh kasihan Si Ulung dan Si Ulang.[]


Leave a Comment