Edi Miswar Mustafa

Pemerintah Kita Seperti Tahi Buah (Bagian Satu)

Saya bukan seorang punker dan saya tidak punya masalah apa-apa dengan pemerintah manakala menyampaikan sesuatu untuk yang punya kursi di sana. Saya warga negara yang bersikap ashabiyah sebagaimana diistilahkan Ibnu Khaldun pada abad ke-14, yang peduli, dan berusaha sebaik mungkin mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi bersama. Setidak-tidaknya dengan menghargai waktu kita sejenak dan membicarakannya dengan teman-teman dekat di warung kopi langganan.

Bentuk kepedulian seorang warga negara bisa macam-macam tentunya. Orang yang tidak membuang sampah sembarangan ke dalam selokan sehingga selokan-selokan di sekujur badan Kota Banda Aceh yang telah menghabiskan sekian trilyunan rupiah agar tidak cepat tersumbat yang kemudian menjadikan kota uzur ini kembali menjadi langganan banjir apabila musim hujan tiba, itu pun bentuk warga yang peduli.

Sebagai orangtua, mendisiplinkan anak untuk menyeimbangkan waktu belajar dan bermain karena pemerintah/sekolah membutuhkan kerja sama orangtua/masyarakat, minimal upaya memenej waktu si anak merupakan bentuk kerja sama lainnya guna meningkatkan mutu pendidikan (ironisnya, banyak orangtua yang punya persepsi keliru mengenai sekolah: seolah-olah anak sudah diantar ke sekolah, maka sudah kewajiban gurulah mencerdaskan anak-anak kita. Ini pemahaman orangtua yang tidak benar sehingga pemerintah/sekolah dan orang tua/masyarakat tidak bekerjasama dengan mesra).

Kembali ke soal di atas, dalam upaya kita mendekati titik kontra dan pro mengenai langkah pemerintah memanusiakan para punkers, membicarakannya juga bagian dari bentuk kepedulian. Saya kira, benar-salahnya satu persoalan sosial tidak berwujud dalam bentuk warna putih dan hitam yang harfiah. Di samping itu, sudah terlalu banyak di antara kita yang memutuskan diam bila berhadapan dengan dosa-dosa orang yang dikenal atau golongan mayoritas atas golongan minoritas.

Perdebatan, mengutip Freud, adalah usaha lain menemukan kebenaran seluruhnya dari kesalahan yang dilakukan seseorang atau sebagian orang atas sebagian lainnya. Ini pencerdasan warga negara agar terbiasa dan kita harapkan ke depan menjadi kultur Aceh yang “bahagia”; bagaimana pemerintah dan masyarakatnya memecahkan persoalan yang timbul ke permukaan.

Saya tahu, sangat hiperbolais memang penyematan kata bahagia karena kesedihan orang lain. Tapi saya juga yakin bahwa saya bisa berdalih panjang lebar mengapa harus kata bahagia. Bahagia, sebagaimana kata-kata lainnya yang dalam pelajaran Bahasa Indonesia dimasukkan dalam kelas kata sifat, bisa jadi akan bermakna berbeda pada setiap orang: bisa amelioratif, bisa piyoratif. Demikian pula dengan nilai rasa yang dimiliki setiap kita pada satu kata atau satu golongan yang baru hadir ke tengah-tengah kita, dalam konteks pembicaraan kita sekarang, yang pernah sekali-dua bersua dengan Komunitas Punk.

Lantas, benarkah bagi pikiran kita bahwa yang awalnya asing harus selalu disikapi dengan kecurigaan dan harus dimanusiakan lebih dulu sesuai dengan istilah kosong dan agak sok ilmiah yaitu kearifan lokal Xenophobia atau kebencian dan ketakutan pada sesuatu yang berbau asing, baik cara berpakaian, makanan dan cara makan, serta cara berpikir dan memperoleh pengetahuan, menurut saya proses dinamisasi yang terjadi pada semua kebudayaan di seluruh dunia dan bagaimana pun harus diterima dengan baik oleh semua orang.

Sungguhlah konyol jika kearifan lokal dalam pemahaman kita adalah nilai-nilai yang seluruhnya lahir dari hati serta nurani moyang kita tulen yang hidup di tanah ini. Nilai-nilai yang dipahami sekarang telah mengalami sejumlah cara ramu dan olahan dengan nilai-nilai lainnya, terutama yang datang dari India, Cina, Persia, Arab dan berbagai bangsa lainnya.

Pada nama-nama orang Aceh, bentuk fisik, cara berpakaian, dan cara orang Aceh melakukan suatu ritual, jelas ada proses percampuran yang telah berlangsung lama antara kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah masuk ke Aceh. Taruhlah contoh nama Hermansyah. Anda boleh membuka sejumlah etimologi kata dan memastikan bahwa benar Herman adalah nama orang Barat kita baru melihat nama-nama ini digunakan oleh orang-orang Indonesia setelah kolonialisme lama bercokol di wilayah ini dan di Barat sendiri nama Hermann dikenal sebagai nama-nama orang Yahudi.

Kemudian “syah” pada nama-nama orang Aceh yang masih digunakan sampai sekarang, pun dulu pernah disematkan pada sejumlah raja-raja Aceh. Dalam bahasa Arab ’syah’ berarti kambing, tetapi dalam bahasa Parsi “syah” berarti raja atau orang yang mulia.  Sampai di sini, ini hanya misalkan ya, perlukah kita tertawa jika “Nurulsyah” diartikan dengan “cahaya kambing.” Selanjutnya, mari meluncur ke masa lalu, sangat tidak mungkin orang-orang Aceh dulu, yang para intelektualnya mahir berbahasa Arab setuju tatkala Yang Mulia mereka dibubuhkan gelar yang ber-kata ujung “kambing”.

Namun, atas nama Syariat Islam dan demi meraih simpati masyarakat menjelang pemilihan walkot dan wakil walkot/gubernur dan wakil gubernur, sang penguasa telah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Jika keberadaan mereka dianggap benalu bagi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, mengapa hanya keberadaan Komunitas Punkers saja yang digaruk agar orang-orang Aceh yang merasa diri sudah menjadi muslim sejati tidak ikut berkurap karena mereka.

Ini sama saja dengan pembenaran sebagian dari kita untuk menertibkan para perempuan supaya berpakaian ke-arab-arab-an. Pada  titik ini saya setuju bila perempuan harus berpakaian islamis, tetapi ketidaksetujuan saya adalah manakala penerapan Syariat Islam seolah-olah hanya untuk mengurusi cara berpakaian perempuan.  Sungguh ini suatu kekonyolan karena Nabi Muhammad swt. sendiri dengan lantang berkata bahwa tugas utama beliau diutus ke dunia ini untuk memperbaiki budi pekerti manusia.

Bagi saya, ketimbang merazia perempuan tak berpakaian islami di jalan-jalan, lebih baik menerbitkan aturan untuk tidak menjual pakaian-pakaian tak islamis dengan memberikan tenggat waktu enam bulan ataupun setahun dan bila kemudian setelah limit waktu habis masih ada toko-toko pakaian yang masih menjejerkan pakaian-pakaian tak islamis di toko-toko mereka, pemerintah berhak menertibkan toko-toko tersebut.

Bila konsep ini dianalogikan ke sebatang pohon, razia berpakaian di jalan sama halnya dengan memangkas reranting semata, tetapi memberikan waktu kepada sejumlah pengusaha pakaian dan kemudian menertibkannya, ini sama artinya dengan memotong cabang-cabangnya (bisa juga kita mengistilahkannya dengan menebang pohon sekaligus). Terus-terang, pikiran ini hadir karena saya juga sedih melihat bagaimana polisi syariat bak kucing yang diremehkan sejumlah tikus-tikus perempuan, terutama perempuan-perempuan muda yang setiap hari tanpa sadar telah direcoki  hati dan pikirannya  berbusana ala sinetron. [bersambung…]


1 thought on “Pemerintah Kita Seperti Tahi Buah (Bagian Satu)”

  1. Pingback: Pemerintah Kita Seperti Tahi Buah (Bagian Kedua)

Comments are closed.