Qaid Arkana

Rindu Perih Maria Goretti

Judul yang indah, untuk sebuah kisah yang tidak indah.

Film seperti apa yang menurutmu bagus? Ketika ia mampu mengaduk-aduk pikiran, lantas membuat kita terpekur lama usai menontonnya. Sementara frame demi frame terus berkelebat di batok kepala. Surat Cinta Kepada Sang Prada membuktikannya.

Film produksi bersama Justice, Peace and Integrity of Creation Jakarta dan Engange Media ini baru usai pengambilan gambar akhir November 2011. Launching di Merauke, pada peringatan hari HAM, 10 Desember 2011.

“Kaka…….ini semacam batu yang keluar dari hati saya…” kata Eti, panggilan Maria Goreti Mekiw begitu filmnya diputar, seperti dituturkan Wenda Tokomonowir, sang sutradara pada Kamis 15 Desember, di kantor Yayasan Pantau.

Berdurasi tak lebih 7 menit, bersahaja, liris dan tanpa airmata. Tak ada musik dan narasi, selain suara Eti yang membacakan suratnya untuk Prada Samsul Bakri Baharudin.

Eti, 21 tahun, berparas manis dengan rambut keriting diatas bahu. Sambil terus mendekap Anita Mariani, 3 tahun, ia berkisah tentang desanya sepeninggal Samsul.

“Kampung masih seperti dulu. Udara masih segar, tapi listik belum masuk….”

Lantas gambaran kebun, gemericik air di danau dan bulir-bulir embun runtuh di atas daun. Kamera terus bergerak mengikuti Eti berjalan ke sungai, melipat baju dan selimut peninggalan Samsul, memasak nasi di tungku, menulis surat, sambil terus menggendong Yani.

Eti berkisah tentang bapaknya yang menua dan mulai sulit mencari uang. Tentang Yani yang bertambah besar dan ingin sekolah. Tentang rindu dan harapan pada Samsul yang masih menjulang.

“Setelah kaka pergi tinggalkan Eti, hidup sangat susah. Masyarakat terus tanyakan siapa bapak Yani. Bagi yang tahu yang dikandung Eti anak prajurit tentara, mereka sebut anak kolong….”

“Tak jarang Yani rewel dan menangis.  Kalau Yani nangis bapak dan mama Eti sering marah. Makanya kau punya bapak asal buat saja, tapi tak tahu bertanggungjawab…”

Kisah Eti menyeruak dari belantara hutan sagu di Kampung Bupul, wilayah administrasi dari Distrik Elikobel, Kabupatem Merauke, Papua. Berada di kawasan perbatasan Papua dan negara Papua New Guinea.

Dia masih kelas 2 SMK Negeri Elikobel ketika berkenalan dengan Samsul. Sekolah Eti berada di distrik Elikobel, beberapa puluh kilometer dari kampungnya. Eti pun mondok di asrama.

Suatu hari Samsul bertandang ke rumahnya, sopan dan ramah, dengan menenteng sekaleng susu, energen dan biscuit ransum. Samsul lembut dan perhatian, hati remaja Eti pun tertawan. Mereka pacaran. Samsul tiap hari datung ke rumah, dan merayu-rayu. Kadang juga mengancam, “Kaka akan tinggalkan Eti jika Eti tak mau tidur dengan kaka…”

Eti hamil. Samsul masih baik dan perhatian. Eti bermimpi mereka akan menikah. Harapan itu memudar ketika akhirnya Samsul pindah ke Bandung

“Jaga anak kita baik-baik anak kita, aku akan kembali….”  Janji Samsul.

Selimut, baju dan kasur ditinggalkan untuk Eti dan anaknya. Eti menangis. Ia menunggu sambil terus memelihara harapan. Dua kali sudah ia kirim surat. Samsul tak pernah memberi kabar.  Ia hilang bak ditelan bumi.

Berada di perbatasan yang sejak tahun 1980-an banyak terjadi aksi OPM, menjadi alasan kampung Bupul dijaga ketat. Seperti dituturkan Wenda, kampung yang dihuni 70 KK itu dijaga tak kurang 400 tentara.

Wensislaus Fatubun, peneliti MSC Indonesia yang malam itu hadir dalam diskusi menjelaskan, ada 30 pos TNI dari satuan Kostrad TNI-AD PamTas di wilayah perbatasan Kabupaten Merauke. Penjagaan ketat itu membuat situasi begitu mencekam bagi warga. Tentara sangat berkuasa di kampung. Mereka bebas memetik buah-buahan dan hasil kebun penduduk. Tak jarang, mereka memacari anaknya dengan mengancam orangtua.

“Pernah suatu hari, ada tentara ambil rambutan di kampung kami, saya ingatkan, saya langsung dicap separatis,” kata Wensianus.

Kisah Eti adalah satu dari puluhan kisah getir yang terselip di balik hutan perbatasan Merauke. Wenda sudah lama melakukan riset tentang kekerasan terhadap perempuan di Merauke. Tahun lalu dia melakukan riset bersama Komnas Perempuan.

Ia mencatat 19 perempuan korban kekerasan seksual TNI-AD PanTas di kampung Bupul. Mereka dipacari, dihamili hingga melahirkan anak dan ditinggal begitu saja. Para perempuan ini menanggung luka menganga. Mereka yang pernah dipacari tentara dituduh mata-mata. Para pemuda pun memandang mereka sebelah mata, lantaran dituding ‘bekas tentara’. Akhirnya, mereka memilih pergi keluar kampung atau melajang selamanya.

Kisah Helen lebih mengenaskan, tiga kali ia diperkosa, bahkan salah satunya, di lakukan di bilik gereja. Sekarang Helen aktif membuat kelompok korban, ia rajin mengunjungi korban-korban kekerasan seksual termasuk Eti.

Kesatuan tentara sengaja menutup rapat-rapat cerita ini. Tak jarang perempuan ini diberi uang 50 ribu sebagai jaminan agar mereka  tak menuntut. Ini pula yang terjadi pada Helen.

“Saya sedih waktu pertama kali pengambilan gambar. Melihat raut muka Eti membaca surat saya sedih, tapi teman saya ingatkan agar saya tak larut…..” tutur Wenda.

Apa alasan Wenda membuat film ini?

“Eti sangat berharap Samsul membalas suratnya. Saya ingin wujudkan harapan Eti…” kata Wenda, kendati ia tahu, harapan itu bak kabut yang kian menipis.

Menurutnya, Eti terbilang tegar. Ia gigih berjuang untuk menghidupi anaknya, kendati ia mengaku sangat sulit mencari uang, karena harus terus menerus menggendong Yani. Eti mengikuti proses pembuatan film sampai akhir, termasuk ketika diputar di Merauke.

“Jika kaka kembali Eti akan terima kaka dengan iklas dan sepenuh hati. Eti akan terus tunggu kaka Samsul. Terserah orang bilang apa…” pamungkas surat Eti.

Sepanjang perjalanan pulang, getar suara Eti terus bertalu-talu. Juga mata polos dan lengking tangis Yani, anaknya, yang sepantaran dengan anak saya. [Lilik HS]