Aceh Pungo

Harlan

Saya adalah Aceh?!

Oleh Mariska Lubis

Terpana menatap sebuah foto tua dengan gambar seorang pria yang sangat tampan. Sorot matanya lembut namun sangat tajam, tampak jelas intelektualitasnya. Setelah tahu, siapa yang ada di dalam foto itu, hati ini pun semakin terpesona. Jarang sekali ada pria tampan yang jenius seperti beliau. Biarpun disisihkan dan dibuang meski dielukan juga. Tidak mudah untuk mengerti mereka yang berpikiran jauh ke depan.

Tadinya saya pikir beliau adalah ayah dari salah seorang sahabat saya karena wajahnya sangat mirip. Aura dan rona dari wajah dan penampilannya pun serupa. Saya benar-benar terpana menatapnya. Barangkali, jika beliau masih ada dan muda seperti nampak di dalam foto itu, saya bisa jatuh cinta padanya.

Ketika saya diberitahu siapa yang ada di dalam foto itu, saya semakin jatuh cinta saja. Dia memang seorang pria yang sangat jenius dan luar biasa kemampuan intelektualitasnya. Sayangnya, bahkan mereka yang mengelu-elukannya pun barangkali tidak bisa merasakan dan menangkap dengan lebih jauh arti dan makna dari setiap kata yang diuraikannya. Beliau malah disia-siakan dan disingkirkan begitu saja. Hanya dijadikan simbol semata.

Yah, nasib orang yang memiliki pemikiran modern. Terlalu banyak mereka yang mengaku modern tetapi sesungguhnya sangat terbelakang di dalam pemikiran. Penampilannya saja yang kelihatan hebat, tetapi untuk membaca pun hanya mampu sekedar aksara semata. Mata hati itu sudah tertutup dengan kesombongan dan berbagai kepentingan pribadi serta kelompok hingga lupa diri dan besar kepala.

Saya pernah menulis artikel tentang bagaimana untuk bisa mengerti apa yang beliau maksudkan. Tentunya tidak semudah membaca aksara begitu saja, dibutuhkan pemikiran yang sangat dalam serta wawasan yang sangat luas sekali. Harus tahu bagaimana sejarah tentang apa yang mempengaruhi pemikiran-pemikirannya tersebut. Jika tidak, maka akan sangat sulit untuk mampu menerjemahkannya.

Bisa jadi, saya yang memang sok tahu atau tidak waras. Saya melihat beliau dari sudut pandang saya sendiri yang tentunya merupakan keegoisan dari diri saya sendiri juga. Yang lebih banyak tahu seharusnya mereka yang memang menjadikan beliau panutan dan mengelu-elukannya, kan?!  Begitu juga dengan mereka yang menganggapnya sampah dan mengucilkannya. Saya tahu apa, sih?!

Jadi teringat dengan kata-kata seorang teman di BBM yang dia bagikan juga di Tweet, dia mengatakan bahwa di daerahnya, sejarah adalah untuk diingat lewat ucapan dan bukan melalui catatan atau tulisan. Saya tentunya sangat terkejut sekali, mengingat dia berasal dari daerah yang kaya sekali akan catatan sejarah. Kata-kata yang terurai dari orang-orang di sana terkenal sangat indah dan penuh makna pada waktu yang lalu. Pantas saja bila sekarang banyak yang berubah. Entah ini disengaja atau tidak, disadari atau tidak disadari, diakui tidak diakui.

Wajar jugalah bila kemudian daerah ini terus diliputi konflik yang berkepanjangan. Bagaimana mungkin sebuah wilayah bila mendapatkan perdamaiannya bila sudah kehilangan jati dirinya? Bagaimana juga bisa menjadi hebat bila sudah melupakan sejarah yang pernah membuatnya luar biasa?! Bagaimana sebuah wilayah bisa bertahan dan mempertahankan diri bila tidak memiliki kekuatan yang berasal dari dalam dirinya sendiri?! Yakin dan percaya dengan diri sendiri pun tidak.

Jika memang benar memiliki jati diri, tentunya tidak akan mudah digoyah dan mampu mempertahankan diri menggunakan kehebatannya. Tidak mudah untuk “menyerang” dan “melumpuhkan” bila memang sudah kuat pondasinya. Dinding bisa saja roboh tetapi pondasi yang kuat akan terus bisa mempertahankannya. Pohon yang kuat pun bisa saja tumbang dahan dan gugur daunnya, tetapi tidak akarnya.

Jika pun memang benar menghormati sejarah dan semua perjuangan yang telah dilakukan di masa lampau, tentunya pria tampan berotak jenius itu pun tidak akan diremehkan begitu saja. Tidak hanya dijadikan simbol semata tetapi benar dipelajari dan dirasakan. Keindahan seseorang yang telah memberikan yang terbaik, kok, bisa terhapus begitu saja oleh “kepentingan” pribadi dan kelompok?! Bagaimana dengan cita-cita dan seluruh perjuangannya itu?! Rasa hormat dan penghargaan bukan hanya sekedar di mulut tetapi diperlukan kesungguhan dan ketulusan hati!

Yang paling membuat saya terbengong-bengong adalah bila selalu saja ada tuduhan dan tudingan yang mengarahkan kepada yang lainnya. Malu atau takut, ya, kalau bercermin?! Tidak juga memiliki nyali untuk mengakui semua kesalahan yang telah dibuat oleh diri?! Padahal, selalu saja mengumbar kata “Tuhan” dan mengagungkan segala moral dan aturan yang dibuat-Nya. Kenapa, dong, yang paling mendasar pun tidak dilakukan?! Untuk apa semua aturan itu dibuat bila hanya untuk sekedar penampilan dan untuk mendapatkan “nilai”?!

Sekarang ini, di mana semua yang ada itu?! Kenapa berusaha keras untuk menjadi yang lain?! Kenapa tidak berusaha untuk menjadi diri sendiri?! Memang tidak mudah, tetapi jika memang benar ingin bahagia, damai, dan tentram, tentunya jati diri seharusnya menjadi prioritas utama. Untuk apa repot-repot menjadi “yang lain” bila apa yang ada di dalam diri sesungguhnya merupakan emas terindah dan paling berharga?! Tidakkah ada rasa cinta sedikit pun untuk diberikan?!

Terkadang saya suka capek sendiri jika harus melihat fakta dan kenyataan yang ada sekarang ini di daerah itu. Mengaku hebat tetapi justru sudah banyak terpengaruh. Budaya politiknya saja sudah sangat berubah, tidak lagi mampu untuk menggetarkan dunia. Sudah seperti katak saja. Yang ada di samping disingkirkan, sementara yang di bawah terus diinjak. Sementara mulut terus menganga menanti umpan yang lewat untuk dinikmati sendiri hingga kenyang. Menjulurkan lidah ke kiri kanan sepanjang-panjangnya untuk bisa menangkap santapan. Lupa dengan yang lainnya meski mengaku peduli dan berbuat untuk semua. Bagaimana mau memiliki masa depan dan kehidupan yang lebih baik?!

Lihat saja bagaimana mudahnya masyarakat digiring oleh opini yang dibuat oleh media-media “berbayar”. Subjektifitas dikedepankan dan objektifitas itu sudah tidak ada lagi. Sudah seperti bola yang ditendang ke sana ke mari tanpa pernah gol.  Yang paling parah bukanlah mereka yang berstatus sosial ekonomi rendah ataupun tak berpendidikan, tetapi justru mereka yang mengaku elite dan berpendidikan tinggi. Mereka yang mengaku pejuang dan pahlawan! Semakin jelas sudah bagaimana pembodohan dan kebodohan itu sudah menjadi sebuah kubangan lumpur yang terus menyeret ke dalam. Tak jelas apa karena sombong, takut, atau pura-pura tidak tahu.

Dusta itu sudah sedemikian luar biasanya hingga merusak diri sendiri. Pelecehan seksual, KDRT, dan berbagai masalah seks lainnya pun ditutupi seolah tak ada. Mereka yang jelas-jelas sudah melakukan perbuatan kriminal terhadap istri dan keluarganya sendiri pun bisa dipuja. Mereka yang sudah jelas-jelas melecehkan orang yang menjadi simbol daerah itu pun terus saja diangkat-angkat. Bagaimana orang yang benar-benar berjuang untuk masa depan dan kehidupan lebih baik tidak mati?! Baru bergerak sedikit saja sudah “dibunuh”! Apanya yang hebat?! Beranikah mengaku secara jujur dan terang-terangan kepada semua atas apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang sudah dilakukan?! Paling-paling juga mengirim orang suruhan yang mau saja dibodohi dengan berbagai alasannya untuk membuntuti, memata-matai, lalu ujung-ujungnya “melenyapkan”. Pemberanikah?!

Sudahlah! Percuma juga saya menuliskan semua ini. Tidak akan ada gunanya. Saya juga hanya “alien” yang sok tahu saja. “Kekinian” memang sudah menjadi budaya yang dianggap wajar, lumrah, dan benar sekarang ini. Masa depan itu seolah tak pernah ada dan kehidupan yang lebih baik hanyalah mimpi di siang bolong. Yang penting sekarang, nanti ya, bagaimana nanti! Begitu, kan, ya?!

Akhir kata, saya ingin menyampaikan saja bahwa pria yang sudah membuat saya terpesona dan jatuh cinta itu bernama Hasan Tiro. Semoga semua mau menghormati dan menghargainya terutama bagi mereka yang berani untuk mengaku dengan gagah berani sebagai “ureng aceh”. Kapankah ada yang  dengan bangganya mampu berkata dengan kesungguhan hati bahwa “Saya adalah Aceh”?!

Mariska Lubis adalah pengamat sosial dan politik, berdomisili di Bandung, Jawa Barat.


5 thoughts on “Saya adalah Aceh?!”

  1. ini soal selera sejarah. dimana yang paling keras ‘berteriak’. dialah yang bisa mempengaruhi selera itu.
    aceh atau bukan, itu perkara gak penting. sejarah memang bermula soal siapa yang sedang berkuasa.

    tulisan yang menarik lagi enak dibaca
    salam berselara

    Reply
  2. ”Sesuatu yang salah akan dianggap benar, bila kebanyakan orang mengatakan itu benar, sebaliknya kebenaran yang diketahui harus ditegakkan meskipun kita hanya seorang diri”. – Alm. DR. Hasan Tiro

    Reply
  3. Mbak, penulisan orang atau orang dalam bahasa Aceh “ureueng Aceh”.

    Maaf, informasi ini tidak untuk menggurui. Hanya berharap ada kelanjutan yang lebih benar untuk seterusnya.

    Reply
  4. Tulisannya sangat inspiratif dan motivatif. Dmoga spirit Hasan Ditiro carries on hati ureung Aceh 🙂

    Reply
  5. terlalu manis penulis membangkitkan selera pembaca. terus dan terus digiring untuk membaca. walaupun yang baca orang aceh atw pembaca laen yang sdah tau resepsi teks kmana. tpi tulisan ini bner2 mententuh skale jwaku krena aku anak aceh, yang…. hamper blum ada sdketpun memberikan kontribusi tuk aceh. thank’s tlah memanggil kmbali memoriku yg tlah berdebu ini. tpi loen beutoi2 bangga menjadi orang aceh. aceh adlah negeri plihan bgi merka yg tau knp aceh yg terpilih??????

    Reply

Leave a Comment