Pan Amroe

20 Menit di Ujong Seurangga, Terasa Kurang

Alhamdulillah, itu kata syukur rasanya tak berlebihan saya ucapkan atas kesempatan saya berkunjung ke Pelabuhan Susoh, Ujong Seurangga. Kedatangan saya ke Aceh Barat Daya pada hari Sabtu, 21 Juli 2018 ini ditemani langsung oleh putra daerah setempat, Rizki alias altha15, begitu kawan-kawan memanggilnya. Untuk itu, terimakasih saya ucapkan atas layanan yang diberikan, sebentar tapi semua cukup berkesan.

Sekelumit sejarah tentang Pelabuhan Susoh pun diterangkan oleh tuan rumah pada saya, katanya, ini pelabuhan pada abad 17 hingga 18 termasuk dalam daftar pelabuhan yang sibuk. Banyak kapal dagang asing yang berlabuh untuk membeli hasil hasil bumi, seperti lada. Bahkan katanya, kisah-kisah kejayaan pelabuhan ini pun dicatat rapi oleh angkatan laut asing, terutama mereka yang pernah berkunjung ke tanah ini.

Dari literatur berbeda, dan jauh sebelum pelabuhan ini maju pesat. Susoh, Ujong Seurangga adalah lokasi awal di mana seorang murid Tengku Dianjong Peulanggahan berlabuh untuk menyebarkan agama Islam. Kedatangan Tuanku Djakfar sebagai pensyiar agama Islam ke daerah ini atas perintah langsung dari gurunya.

Konon, ia termasuk sosok yang pertama kali membuka pemukiman dan membangun pearadaban di kawasan Ujong Seurangga. Setelah Ujong Seurangga mulai tumbuh dan mulai ramai dihuni masyarakat, kemudian beliau hijrah dan membangun kerajaan Singkil. Juga seperti sebelumnya, saat Singkil sudah tumbuh, beliau melanjutkan pengembaraan ke Trumon, dan membangun kerajaan Trumon.

Kembali ke Pelabuhan Susoh sekarang, sore jelang magrib itu, langit di ufuk barat mulai jingga, pertanda sebentar lagi gelap akan menyelimuti negeri Pade Sigupai ini. Di bawah jingga langitnya, saya melihat banyak perahu nelayan bertengger di laut dangkal. Sebagian mereka sudah pulang dari melaut, dan sudah membongkar hasil tangkapannya, semua langsung dilelang di tempat.

Cemara laut yang tumbuh jarang-jarang, dan tidak begitu rapi pun punya keindahan tersendiri jika diperhatikan. Tampak juga tanggul batu gajah dan jalan tanah yang sengaja dibangun untuk menahan abrasi. Dari tempatku berdiri, bangunan sebagai lokasi pelelangan ikan bisa nampak jelas. Di sanalah semua ikan hasil tangkapan diuangkan.

“Alangkah makmur rakyat yang hidup di bawah langit negeri ini,” pikirku.

Selain kesibukan para nelayan, banyak juga warga sekitar yang sengaja menghabiskan sore dengan menikmati pesona laut lepas. Sebagian hanya duduk di atas motor, sebagian lagi duduk manis dengan pasangan dan sahabat di gubuk-gubuk yang sengaja dibangun untuk mereka yang ingin santai sore. Kata tuan rumah, saban sore pemandangan seperti yang kulihat sore itu, tidak banyak yang berbeda.

“Ada banyak sampah aqua gelas di sini,” spontan kataku pada tuan rumah. Ini sedikit mengganggu pemandangan yang sedari tadi sudah terasa nyaman.

“Ya sudahlah, di banyak tempat, laut memang selalu dijadikan penampung sampah. Tapi sampai kapan perilaku tidak pantas ini terus dipelihara?,” tanyaku tanpa suara.

Gemuruh laut terdengar rendah, ombaknya pun terlihat damai. Sore itu benar-benar tenang berada di sana usai rangkaian aktivitas di keramaian kota Blang Pidie. Sayangnya, hanya dua puluh menit saja yang bisa kami nikmati, selebihnya, kami harus kembali ke titik awal. InsyaAllah, jika ada umur dan kesempatan, saya akan berkunjung lagi.[]


Leave a Comment