Cinta pada Khilaf Pertama

Diyus

Begitulah… pertemuan seperti menjadi sihir bagi setiap orang yang sedang mencari gandengan. Sebaris duga, “Apakah dia?”

“Adakah ia?”

“Jangan-Jangan dialah orang yang kucari.”

Ketika…

Kemudian muncullah takhayul-takhayul internal berbumbu cocokologi berupa pembandingan zodiak, shio, nama dan kecocokan tanggal lahir. Ilusi pikiran yang bisa saja benar secara kebetulan, namun kadang cuma wujud pareidolia benak semata adanya. Segalanya begitu tergesa. Kita ingin bergegas, sebab kesendirian terasa mati meski tubuh masih mengandung hayat. Sebut saja gejala itu sebagai Adam Syndrome Complex; ilusi kesendirian Adam yang bahkan membuatnya kehilangan gairah pada segala nikmat surga sekalipun.

Kemudian…

Maka menjalarlah kompetisi jalan santai antara detik yang berjalan tertatih membentuk menit, menit meniti jembatan jam dan jam membentuk hari dengan sebuah prasangka baik tentang siapapun yang engkau temui; tapi waktu bergerak lamban.

Seperti sudah kita ketahui bersama, bahwa hukum pertemuan tak pernah berubah, masih selalu berbunyi, “Kesan pertama cuma ada pada pertemuan pertama!”

Lantas kitapun memberhalakan pertemuan pertama sebagai acuan. Padahal, banyak orang yang bertopeng pada pertemuan pertama untuk meninggalkan jejak (kesan) paling mendalam. Tujuan sudah jelas, untuk meninggalkan pesona dalam kenang siapapun yang menjadi sasaran. Lahirlah peristiwa klepek-klepek di alam khayali sasaran. Temu lanjutan menjadi menu hidup di antara mereka. Setelah bertukar alamat atau nomor telfon, keduanya kerap bertemu, kecanduan hingga memadu kasih.

Lantas…

Pada tahap inilah, topeng-topeng mulai terbuka satu persatu. Berapa lapispun jumlahnya. Ia akan lekang oleh waktu. Namanya juga topeng. Tak ada orang yang sanggup terlalu lama berpura-pura. Berpura-pura adalah pekerjaan paling berat, bahkan lebih berat oleh seluruh rindu Milea yang hak tanggungannya telah diwakilkan oleh Dilan sekalipun.

Fase inisiasi yang kerap disebut sebagai jadian, pacaran, tunangan, bahkan perkawinan sekalipun tak lebih dari sebuah wahana untuk saling mengenal lebih jauh. Celakanya, jarang ada yang siap menerima bahwa semakin dalam dan intim kita mengenal seseorang, semakin lengkap pula pengetahuan kita mengenai seluruh ‘nya’. Aroma kentutnya, bau napasnya di pagi hari hingga kebiasaannya mencongkel gigi dan menggarukkan jemari ke dalam isi celana seperti Joachim Loew. Ketika sisi-gelap pasangan mulai tersorot cahaya lampu kebersamaan.

Ternyata…

Masih belum paham juga? Begini… semakin intim engkau mengenal seseorang, semakin kerap juga akan engkau temukan kebiasaan buruk yang mungkin saja (sebelumnya) tak dapat engkau toleransi. Namun, perjalanan dan kisah yang kalian lalui akan menegaskan tentang betapa kuat kenang dan rindu. Kenang mengenai peristiwa dan rindu akan pengulangan peristiwa lebih indah. Jadi, matematika dan tabel MS-Excel akan sangat membantu ketika mempertimbangkan keburukan seperti apa yang bisa masuk dalam daftar toleransi, juga kesalahan macam apa yang mesti berhadapan dengan kenyataan perpisahan.

Demikianlah hukum sebuah hubungan berlaku. Berat rasanya memulai cerita baru dengan orang baru, meski kadang kebaruan memiliki keasyikannya sendiri, namun kenangan semestinya lebih kuat menjadi perekat. Memulai hubungan dengan orang baru memang tantangan tersendiri. Apakah masalalu sudah cukup tuntas termaklumi? Sudahkah engkau berdamai dengannya? Jika belum, pastikan dulu bahwa engkau tak ‘kan terlalu kerap menatap kaca spion (masalalu) saat berkendara menuju masadepan.

Kesan pertama pada pertemuan pertama itu akan menjelma sebagai berhala yang menyesatkan ketika akhirnya engkau menganggap hal tersebut sebagai acuan tunggal penilaian terhadap calon pasangan. Sela? Tentu. Sungguh memang ada 1 titik ketika engkau mesti mengakhiri manis-legit madu Cinta dengan sebuah kata, “Sepertinya aku tak bisa bersama lagi denganmu!”

“Hubungan kita cukup sampai di sini!”

Akhirnya…

Atau masih banyak lagi ungkapan yang serupa dengan gelegar petir atau hantaman godam di atas kepala. Boleh juga memilih ungkapan yang lebih lembut dan menyiksa semacam, “Kamu terlalu baik untuk aku…”

“Kita temenan aja, ya…”

Memberhalakan pameo, “Kesan pertama selalu hadir pada pertemuan pertama!” seringkali kerap berujung celaka. Sebab semua orang masih menggunakan ribuan lapis topeng untuk menyemir senyum, memoles artikulasi saat berbicara, hingga membedaki topik pembicaraan dengan trend masakini. Tidakkah pernah terlintas sekaliii saja, bahwa memberhalakan keterpesonaan pada pertemuan pertama –yang lantas– membuat engkau menyangka “Cinta pada pandangan pertama” bisa juga bermakna Jatuh Cinta pada khilaf pertama!

Sumber Ilustrasi:

  1. Gambar1
  2. Gambar2
  3. Gambar3
  4. Gambar4
  5. Gambar5

Leave a Comment