“Langkah, rezeki, pertemuan, dan maut,” semua di tangan Tuhan. Kita sering mendengar fragmen empat hal tersebut semisal “Rezeki itu di tangan Tuhan.” Kalimat lugas dan tegas ini umumnya diucapkan oleh orang yang baru saja mendapatkan rezeki. Namun, tidak tertutup kemungkinan kalimat yang sama muncul dari mulut orang yang belum mendapatkan rezeki.
Ada penegasan bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh Sang Maha Pengatur. Akan tetapi, bukan berarti manusia hanya memasrahkan diri menunggu masa semua itu berpindah ke tangannya. Manusia sebagai hamba diharapkan berusaha untuk mendapatkan rezeki tersebut. Kendati semua itu di tangan Tuhan, manusia diberikan kebebasan mengambilnya, yakni dengan berusaha.
Dalam prakteknya, adakala manusia melemahkan posisinya sebagai ciptaan yang sempurna untuk berusaha. Kerap manusia mengedepankan kepasrahannya, semisal dengan kalimat “Bukankah semua sudah diatur Yang Mahakuasa?”. Manusia kategori ini terlalu pasrah, apa adanya.
Sikap itu tentu saja tidak boleh ditiru. Kendati rezeki di tangan Tuhan, Dia juga telah berjanji akan memberikan rezeki tersebut kepada yang meminta, yang berusaha mendapatkannya. “Memintalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-berikan!” ini janji Tuhan.
Kecuali rezeki, jodoh juga demikian. Kalimat yang kerap terdengar adalah “Jodoh itu di tangan Tuhan.” Artinya, jodoh juga harus diambil, kalau tidak, akan di tangan Tuhan selamanya. Tuhan memang pengatur segalanya, tapi ikhtiar adalah kewajiban bagi setiap manusia. Oleh karena itu, diperlukan usaha dan upaya mengambil jodoh itu agar tidak selamanya di tangan Tuhan.
Setiap orang punya cara dan gaya tersendiri dalam mengambil jodoh dari tangan Tuhan. Cara paling ekstrim antara lain dengan main dukun atau guna-guna. Berusaha mendapatkan jodoh dengan jalan guna-guna merupakan salah satu usaha. Namun, usaha ini tentu saja tidak dibenarkan dalam Islam.
Ada pula yang berupaya mengambil jodohnya dengan pemaksaan jalan lain, misal, ‘membelinya’ dengan uang (harta). Cara seperti ini kerap tidak mendatangkan bahagia, sebab kalaupun mereka berhasil menikah, satu di antaranya akan merasa tertekan. Biasanya, yang menjadi korban ketidakbahagiaan itu adalah perempuan. Manakala dalam pengarungan sebuah bahtera bernama ‘perahu keluarga’, salah satunya tidak bahagia, tentu tidak akan muncul harmonisasi dalam keluarga tersebut. Segala sesuatu seakan dipaksanakan untuk bahagia. Senyum pun diciptakan, bukan tercipta dengan sendirinya. Tuhan tidak menyukai perbuatan yang menyakitkan orang lain.
Cara paling sederhana dan mudah dalam upaya dan usaha mengambil jodoh dari tangan Tuhan itu adalah dengan memintanya dari Tuhan. Yang namanya meminta, haruslah pelan-pelan, dengan bahasa yang lembut, kalimat yang baik, yakni berisi pujian, merendahkan diri, membujuk, dan mengaku sangat membutuhkannya.
Surat al-Fatihah adalah contoh yang paling konkret dalam hal meminta. Surat itu dimulai dengan puji-pujian, pengakuan perendahan diri, baru kemudian meminta. Jelas sekali itu sebab al-Fatihah menjadi unsur global dari semua ayat-ayat Tuhan. Dari sana dijelaskan tatacara meminta yang paling baik dan benar. Oleh karena itu, mendapatkan rezeki dan jodoh dengan jalan meminta merupakan salah satu upaya dan usaha juga.
Meminta kepada Tuhan berarti berdoa. Doa dan usaha adalah komparasi sinergis. Ada pepatah mengatakan (saya lupa ungkapan siapa) “Berdoa tanpa berusaha sama saja bohong; berusaha tanpa berdoa sama dengan sombong.” Artinya, usaha dan doa merupakan dua hal saling berkaitan.
Saya contohkan begini: manakala Anda susah merasa yakin pada seseorang yang merupakan jodoh Anda, berusahalah untuk menjaga komunikasi dengan dia. Upaya menjaga komunikasi sama dengan usaha agar hubungan tetap baik. Berikutnya, jika seseorang itu memang harapan Anda, berdoalah kepada Tuhan agar ia dijaga oleh-Nya. Dalam dua hal ini—upaya menjaga komunikasi dan berdoa—dibutuhkan keyakinan: yakin bahwa ia pilihan Anda dan yakin bahwa Tuhan mengabulkan doa Anda.
Artinya, pasrah dengan segala keadaan, yang kerap berpegang pada ungkapan “Kalau jodoh takkan kemana; kalau ia jodohku, ia akan kembali padaku; kalau sudah tiba masanya nanti baru aku berkomunikasi,” bukanlah sebuah pilihan bijak. “Usaha” dan “doa” sesungguhnyalah pilihan terbaik.
Berikutnya, yang di tangan Tuhan adalah “kematian”. Ia menumbuhkan sesuatu, Ia menghidupkan sesuatu, Ia pula yang mematikan. Mati sangat dekat dengan setiap makhluk hidup bahkan lebih dekat dibanding kulit dengan ari. Oleh karena itu, mati bukan sesuatu yang harus diminta, kendati ia juga di tangan Tuhan. Mati bukanlah sebuah kebutuhan seumpama rezeki dan jodoh. Mati adalah sebuah kepastian, yang tidak seorang pun dapat mempercepat, pun tak sanggup memperlambat. Semua berada di tangan Tuhan! Kita berlindung kepada Tuhan.
Herman RN, pernah mengaji di Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Kecamatan Kluet Utara, Aceh Selatan. Tulisan ini saya dedikasikan untuk teman-teman yang pernah mengaji di LPTQ tersebut, yang saat ini sudah berpencar. Salam rindu buat teman-teman semua. Suatu kali, bersama “Bapak”, kita pernah berbincang tentang jodoh, bukan?