Banda Aceh – Eksekutif dominasi kasus korupsi terbanyak dengan jumlah 59 dari 75 kasus korupsi, sementara untuk kasus korupsi dilihat dari sektor, infrastruktur menempati posisi puncak merugikan keuangan negara yang terjadi di Aceh di tahun 2011.
“Kasus korupsi di sektor infrastruktur mencapai 20 kasus, kemudian disusul sektor keuangan daerah sebanyak 15 kasus dan sector pendidikan 12 kasus,” ungkap Ass. Manager Program dan Evaluasi MaTA, Hafidh pada Aceh Corner, Senin (26/12).
Walaupun sektor infrastruktur mendominasi kasus korupsi di Aceh, berdasarkan penelusuran MaTA, sektor keuangan daerah merupakan penyumbang kerugian negara terbesar yaitu Rp286,4 milyar atau 87 persen dari total kerugian negara. Sektor infrastruktur sebanyak Rp10,9 milyar atau 3,34 persen dan menyusul sector pengadaan barang dengan kerugian negara sebesar Rp10,4 milyar atau 3,20 persen.
“Dari 75 kasus korupsi yang berhasil ditelusuri MaTA, kasus korupsi terbanyak terjadi yaitu di lembaga-lembaga eksekutif, sebanyak 59 kasus, lembaga swasta 6 kasus dan disusul Komisi Daerah sebanyak 5 kasus. Sedangkan sisanya di BUMN, BUMD, Yayasan dan juga legislative,” paparnya lagi.
Katanya, dengan koleksi 59 kasus tersebut, eksekutif berkontribusi paling besar terhadap kerugian negara dengan perhitungan sebesar 96,59 persen. Sedangkan sisanya disumbang oleh legislative, komisi daerah, BUMN, BUMD, Yayasan dan swasta yang rata-rata berada di bawah 1 persen.
Untuk pelaku korupsi terbanyak menurut jabatan selama tahun 2011, MaTA berhasil merilis direktur dan karyawan swasta sebagai peraih ranking pertama dengan jumlah 34 orang atau 21,12 persen dari total pelaku korupsi. Disusul kemudian oleh panitia tender, pimpro, PPK, PPTK, sebanyak 33 orang atau 20,50 persen.
Sedangkan di urutan ketiga, pelaku korupsi terbanyak menurut jabatan adalah kepala badan atau kepala dinas, dengan jumlah 25 orang atau 15,53 persen.
Sementara untuk kasus korupsi berdasarkan peta wilayah, Aceh Utara menempati posisi puncak sebagai daerah terkorup di Aceh dengan keruigian negara mencapai Rp221,7 milyar atau setara dengan 67,68 persen dari keseluruhan kasus. Disusul kabupaten Bireuen dengan besaran kerugian negara Rp 60,5 milyar serta Aceh Tamiang dengan jumlah Rp10,4 milyar.[rel]