Oleh Teuku Zulkhairi
Jihad ini bukan seperti aksi para teroris yang membunuh manusia-manusia yang tidak berdosa. Menghancurkan bangunan atau pepohonan yang padahal dalam situasi peperangan pun mestinya harus tetap dipelihara dan dijaga. Realitanya jihad memang seringkali hanya dipahami sebagai peperangan melawan musuh dalam aksi nyata semata. Berdarah-darah. Penuh dengan ratapan pilu dan tangisan orang-orang yang kehilangan anggota keluarga atau bagian tubuhnya.
Nyatanya, banyak yang memutuskan jalan pintas untuk melawan pihak yang dianggap musuh. Melakukan pemboman disana sini dengan membabi buta. Membunuh siapa saja. Bukan aksi seperti itu, tapi jihad ini adalah untuk mengusap ‘airmata’ ibu pertiwi kita yang sedang menangis, menanti para politisi yang siap menjadi ‘jihadis’. Melawan semua teroris bengis yang selalu membuat ibu pertiwi kita berlinang airmata oleh sebab ulah mereka yang meruntuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa kita disaat sebagian anak negeri lainnya sedang berusaha membangun negerinya.
Di sini penulis tidak bermaksud menambah daftar panjang interpretasi jihad. Namun, mengingat betapa minusnya politisi kita saat ini yang bermoral dan memiliki integritas, penulis hanya ingin meyakinkan bahwa seorang yang berjuang membawa negerinya ke arah yang lebih baik merupakan diantara kerja jihad yang hakiki. Ya, jihad sebagai perkerjaan paling mulia yang juga bisa dilakukan oleh para politisi di negeri kita. Jihad yang dalam Islam disebut sebagai amal yang paling mulia, buah dari kesadaran beragama yang paling tinggi. Jihad yang pelakunya akan terus hidup disisi Tuhannya. Jihad yang digambarkan sebagai pekerjaan yang akan diberikan balasan yang lebih besar kelak di hari akhirat. Jihad yang pelakunya akan mendapatkan kesenangan dan kebahagian abadi tak terperi kelak di syurga nanti, meski di dunia dia harus mengorbankan kepentingan pribadi atau golongannya, demi kepentingan sesuatu yang lebih besar, kebanaran.
Namun masalahnya, jika mereka yang disebut sebagai teroris begitu gencar ‘berjihad’ untuk satu tujuan mereka, kenapa para politisi kita tidak melakukan hal yang sama, berjihad membangun negerinya? Minimnya politisi kita siap menjadi jihadis ini membuat rakyat negeri ini seakan-akan menganggap kerja politik itu benar-benar hanyalah arena bagi mereka yang rakus saja. Hanyalah jalan untuk menipu. ‘Pintu rumah’ kebohongan.
Hatta Buya Syafi’i Ma’rif tempo hari berujar, “negeri kita surplus politisi, minus negarawan”, “bergelimang dalam noda dan dosa”. Kenapa disebut surplus?, karena jumlah mereka yang banyak namun ternyata tidak mampu membawa perubahan bagi rakyat. Mereka ada, tapi tidak dianggap keberadaannya. Mereka telah dipilih oleh rakyat, tapi suara rakyat tak pernah mereka dengar. Bahkan, saat ini kian banyak politisi yang melawan kehendak rakyat. Mereka menjadi politisi yang bagaikan parasit bagi rakyatnya. Keberadaanya sebagai wakil rakyat, mendiami rumah rakyat, pada akhirnya justru hanya menjadi benalu yang mematikan rakyat sebagai tuan rumah yang memberinya makan.
Kita lelah menyertai data-data yang faktual tentang kiprah mereka yang tak bermoral dalam tulisan-tulisan nurani kita. Terlalu banyak. Meski itu terus mereka tutup-tutupi. Mereka kemas berbuatan tak bermoral mereka dengan uang, sehingga perbuatan tak bermoral itu seakan merupakan sebuah kebenaran dan mereka adalah para pahlawan. Kita lelah menulis suara nurani kita tentang kasus Century yang hingga kini tak jelas penyelesaiannya. Kita lelah membicarakan indeks kasus korupsi yang kian meningkat dengan jumlah angka yang sangat fantastis.
Kita lelah berteriak menuntut penyelesaikan kasus-kasus korupsi para politisi kita di berbagai pos eksekutif maupun legislatif. Kita sedih melihat KPK yang kini hanya menjadi alat pencitraan politik bagi penguasa semata. KPK yang tidak berani menentang sang ‘nyonya’, meski berdasarkan data-data maka si nyonya ini sudah selayaknya masuk penjara. Faktanya, dalam isu besar lain seperti kasus Gayus, andai kasus ini benar-benar diusut kita yakin aktor-aktor pencuri dibelakang layar itu pasti akan bisa diadili oleh rakyat. Tapi tidak. Hanya Gayus yang dikorbankan. Padahal, Gayus saja bisa menyimpan uang hasil korupsi dengan jumlah yang milyaran, konon lagi sang majikannya. Entahlah wahai Ibu Pertiwi! Memang ada Susno Duadji yang semula mau bicara untuk kebaikan negeri ini. Tapi cepat-cepat diringkus ke dalam sel. Seolah ada yang berkata untuk Susno; “awas kau Susno, tutup mulutmu, atau kau akan kekal didalam penjara!”. Sebagai seorang manusia yang memiliki anak istri, sikap Susno untuk akhirnya diam ini pun untuk sejenak bisa kita pahami. Ini belum lagi tentang permainan sangat keji dalam kasus Antasari Azhar. Pimpinan KPK yang karena keberaniannya akhirnya harus menerima balasan pihak penguasa, ya balasan penjara baginya, karena jika Antasari Azhar terus dibiarkan memimpin KPK, maka akan banyak koruptor yang kebakaran jenggot.
Pun demikian dengan kasus Nazaruddin yang kini mulai meredup, tertutupi oleh isu-isu baru yang nampaknya memang sengaja direkayasa, atau diatur kapan akan dibuka. Dari kasus Nazaruddin, kasus di Kemenpora yang dikabarkan melibatkan beberapa politisi di parlemen, kemudian bergeser sejenak ke kasus korupsi Muhaimin Iskandar, kemudian terfokus ke banggar DPR. Sampai disini, nampaknya ada yang sengaja dikorbankan untuk tujuan pengalihan isu. Mirwan Amir yang disebut-sebut terlibat dalam kasus suap, tapi Tamsil Linrung saja yang ‘dihajar’. Disaat yang bersamaan, isu reshuffle kabinet pun digulirkan. Jika kita kaji, meski disatu sisi pergantian kabinet merupakan suatu kebutuhan, namun ternyata disana ada permainan politik juga, serta hanya untuk tujuan politis yang materialis semata. Bukan demi rakyat yang sedang merana. Intinya, mereka hanya sibuk gontok-gontokan sesamanya untuk memperebutkan harta dan tahta yang akan mereka gunakan untuk terus memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya. Pada akhirnya, kerja politik mereka bukan untuk menyelesaikan kompleksitas problematika rakyat yang kian nestapa.
Politisi bermoral harus berjihad
Dalam kondisi negeri ini yang disesaki oleh politisi tak bermoral seperti ini, saya menjadi berfikir bahwa bisa jadi menjadi politisi yang bermoral merupakan salah satu jihad yang paling utama di zaman sekarang ini serta paling mendapat penghargaan dari Allah Swt. mereka benar-benar bekerja membangun negerinya meskipun rakyat tidak mengenalnya. Mereka lebih mengutamakan rakyatnya daripada dirinya. Mereka serius membawa aspirasi rakyat. Mereka berpolitik untuk kepentingan rakyat, bukan mempolitisasi penderitaan rakyat untuk kepentingan mereka. Mungkin masih ada diantara para politisi kita yang bermoral, amanah dan memiliki integritas. Atau akan lahir beberapa saat lagi. Karena tidak mungkin semuanya telah dan akan menjadi jahat dan tak bermoral. Minimal mereka masih ada, satu atau dua orang. Entah darimana mereka berasal.
Dalam kondisi negeri kita seperti ini, sejatinya politisi seperti itu harus mendapat dukungan moral dari segenap rakyat. Tidak mudah nampaknya menjadi politisi bermoral. Tapi ketika kita sudah memutuskan bahwa demokrasi harus menjadi konsep negara kita, maka mau tidak mau kita harus memberikan dukungan bagi para politisi yang bermoral, politisi yang siap berjihad di ranah politik. Sembari itu, dukungan moral dan bahkan moril pun patut kita berikan dengan maksimal kepada mereka yang diluar lingkaran kerja politik untuk terus memantau kerja politik para politisi agar selalu diatas jalur. Sebuah dukungan dari kita bisa disebut sebagai ‘dukungan moral’ seandainya kita sendiri adalah seorang yang bermoral. Melihat sesuatu atas pertimbangan moral dan nurani. Tidak terjebak dengan kepentingan pribadi atau golongan kita. Meski itu lawan politik kita namun harus kita hargai dan kita berikan apresiasi ketika ia benar-benar mencoba berbuat untuk rakyat.
Sejenak kita coba berfikir positif, jika ada yang sedang berbuat baik. Ini juga bisa disebut usaha jihad kita sebagai rakyat di ranah politik. Jika kita sebagai rakyat tidak mau mendukung mereka yang baik, politisi yang bermoral serta menghukum mereka yang tidak amanah, tidak bermoral, maka sungguh kita pun telah turut menghancurkan negeri ini! Entahlah ya Tuhan. Entah cara apa lagi untuk membangun negeri ini.
Teuku Zulkhairi adalah Penulis Buku Esai-Esai Politik, Pendidikan dan Sosial Agama.