HUJAN mengguyur perut bumi disekitar Banda Aceh dengan lebatnya, Sabtu pagi 26 November 2011. Hawa dingin dan cuaca yang sedikit tak bersahabat itu, tak menciutkan sembilan puluh mahasiswa FKIP Unsyiah, Fakultas hukum, Fisipol unsyiah politeknik Aceh, IAIN Ar-Ranirry untuk memenuhi aula fakultas calon guru di Unsyiah, guna mengikuti pendidikan jurnalistik yang digelar oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah.
Jam sembilan lewat. Ada suara halus dari seorang cewek berkulit sawo matang dari mikrofon gedung. Namanya Mona. Dia Master of Ceremonies (MC) dalam acara tersebut. Acara pun berlangsung setelah Mona memberitahukan agenda acara.
Seremonial pembukaan acara yang diisi oleh tokoh-tokoh mahasiswa pun selesai. Tiba waktunya agenda utama, Pelatihan Jurnalistik. Murdani, salah seorang pewarta andalan dari surat kabar Harian Aceh dipercaya menjadi pemateri pembuka. Dasar-dasar Jurnalistik dan Tehnik Wawancara pun menjadi tanggung jawab pria berkulit sawo matang ini, untuk disampaikan pada peserta. Ada beberapa kutipan dari Kris Budiman dan Luwi Ishwara (2005) yang menjadi dasar pengenalan jurnalistik yang dibawakannya.
“Menurut Kris Budiman kegiatan jurnalistik dimulai dari penyiapan, penulisan, penyuntingan, dan penyampaian berita pada publik melalui saluran tertentu, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah atau sejenisnya dan media online,” jelas pria yang kerap di sapa Bang Mur oleh para mahasiswa itu.
Pengertian berita, jenis berita, nilai berita (News value), anatomi dan unsur-unsur berita menjadi bahasan awal pria bertubuh sedang itu. Selanjutnya dilanjutkan materi Wawancara. Seisi auditorium terlihat antusias mendengarkan bahasan materi hingga selesai.
Usai Murdani, giliran aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh yang menyampaikan materi. Ia adalah Wartawan Vivanews, media online yang berkantor di Jakarta. Namanya Muhammad Riza Nasser. Materi yang disampaikan mengenai ragam berita, tapi pria berkulit putih itu lebih memperdalam penjelasannya pada angle, sumber berita dan persiapan penulis menjadi jurnalis.
“Modal menjadi jurnalis adalah banyak membaca, melek informasi, perluas jaringan pertemanan, jangan mudah percayai narasumber dan selalu cek informasi, pelajari kode etik dan Undang-undang Pers (UU No, 40 tahun 1990)” jelasnya hingga jam 12.00 WIB.
Mentari mulai bergeser arah barat, kira-kira jam 14 lewat, ketua panitia bersama pria berkacamata dengan kemeja kotak-kotak pendek menuju ruangan lantai dua itu. Dia Maimun Saleh, Kepala Sekolah Menulis Muharram Jurnalis College (MJC). Rektor MJC itu terlihat membuka laptopnya, tak lama pria yang akrab disapa Pak Maimun itu, langsung menyapa peserta.
Kode etik jurnalistik yang menjadi materi pada siang itu. Maimun sering kocak dalam mencontohkan pelanggaran kode etik yang dilakukan wartawan Aceh selama ini, membuat peserta cair dan akrab dengan pemateri.
“Wartawan dalam membuat berita, wajib memperhatikan kode etik jurnalistik,” pesan maimun.
Setelah Maimun Saleh menyampaikan materi, salah seorang budayawan muda Aceh, Herman RN turut dipanggil untuk mengisi acara tersebut. Pria yang berprofesi sebagai Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unsyiah itu, dipercayakan memberi materi Feature pada peserta. Guna menyemangati peserta, Ia sering memperlihatkan beberapa tulisan featuresnya yang pernah dimuat di beberapa media.
“Menulis Feature hampir sama dengan menulis cerpen. Yang membedakan feature dengan cerpen hanya faktanya saja,” jelas Herman mejawab salah satu audiens yang bertanya. Tepat pukul 17.00 WIB, sang pemateri pun mengakhiri dialog dan diskusi mengenai tata cara penulisan feature seraya berkata, “Selamat Menulis”[]
Saiful Amri adalah Mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas Syiah Kuala.