Taufik Al Mubarak

Nasi Briyani dan Kisah AC di Neraka

Ketika dua kawan lama bertemu, hal-hal konyol sering tersaji. Maka tercetuslah program membuat AC di Neraka. Geuthat na teuh!

Rabu (6/6/2018) sore para alumni sebuah koran lokal berkumpul di sebuah rumah di kawasan Darussalam. Rumah permanen dua lantai itu dikelilingi sejumlah kost mahasiswa. Empunya rumah adalah pemilik sejumlah rumah kost itu dan beberapa ruko di sekitarnya. Ia memang mendapatkan banyak bainah dari leluhurnya, berupa tanah yang tersebar di beberapa lokasi, dan hampir semuanya dibangun rumah sewa untuk para mahasiswa yang kuliah di kopelma Darussalam.

Untuk menghindari bullying yang tidak perlu, aku harus menyamarkan identitas para alumni yang berbuka puasa bersama di sana. Mereka yang diundang berbuka puasa bersama itu memang tidak ramai, hanya belasan orang saja. Mereka adalah para penulis dan pengelola sejumlah media online di Aceh. Dulunya mereka semua adalah para punggawa sebuah koran lokal yang kini sudah almarhum.


Aku tiba di rumah itu menjelang waktu berbuka tiba. Di sana, para tamu undangan sudah memenuhi sejumlah kursi yang diatur di teras. Kursi-kursi itu diatur berbentuk bundar agar mereka bisa saling memandang satu sama lain. Soalnya, meski dulu mereka semua adalah penghuni sebuah “kapal” media cetak di Aceh, kesibukan masing-masing membuat mereka jarang bertemu.

Karena lama tak bertemu, maka banyak obrolan konyol terlontar dari mulut mereka. Hanya sesekali saja topik pembicaraan beralih ke soal media. Dan, ketika soal ini disinggung, semua mereka larut dalam nostalgia yang tak berkesudahan. “Kalau Anda mau mendekam dalam penjara dua tahun saja, dan koran tak kita jual, mungkin sudah besar media kita,” kata empunya rumah menunjuk seseorang yang lebih tua dari kami.

Orang yang disentil pun tak mau kalah. Ia seorang politisi dan mantan pejabat. Tahun depan dia akan kembali menjajal dunia politik yang lebih 10 tahun dia tinggalkan. “Tidak ada masalah dengan saya. Seharusnya, koran memang tidak perlu dijual dan jalan terus seperti biasa,” katanya kemudian. Pembicaraan pun jadi panjang dan masing-masing menyesali kesalahannya di masa lalu.

Tak lama kemudian, kami semua dipersilahkan masuk ke dalam rumah saat waktu berbuka tinggal beberapa menit lagi. Menu berbuka termasuk biasa-biasa saja: ada risol, serabi berkuah dan soup buah. Begitu tanda berbuka terdengar kami pun mengambil makanan yang terhidang itu dan menikmati dengan lahapnya. Ada satu lagi menu, dan ini termasuk spesial: nasi briyani! Kami menyantapnya seusai salat magrib.


Kami semua memilih salat magrib di masjid Fathun Qarib yang berada di seberang jalan. Masjid yang dulunya dibangun oleh Soeharto melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, itu kini tampak lebih besar setelah direhab, sehingga tak lagi menyerupai model masjid yang tersebar di seluruh Indonesia.

Bagiku, masjid itu tergolong istimewa, dan bisa kembali menunaikan salat di situ mengulang pengalaman beberapa tahun silam. Biasanya, seusai dhuhur rektor yang ditembak saat konflik, Prof Safwan Idris, memberi ceramah kepada kami, para mahasiswa. Bahkan, setelah PKM digrebek, aku menjadikan masjid itu sebagai tempat berlindung untuk sementara waktu.

Seusai salat kami menikmati nasi briyani dengan lahapnya. Ini adalah nasi briyani kedua kalinya aku nikmati dalam rentang waktu 3 bulan. Terakhir kali aku menikmati nasi ini ketika berada di Malaysia, sepulang dari traveling ke Kamboja dan Vietnam. Rasanya memang tak persis sama, tapi aku menikmatinya.

Nah, seusai menikmati nasi briyani, kami semua kembali mencari udara di teras rumah, bersantai di kursi yang sebelum waktu berbuka kami duduki. Lalu, obrolan ngalor-ngidul berseliweran tak karuan: ada yang lucu, menggelitik dan sensitif. Dari situlah kisah membuat AC di neraka bermula dan mengemuka.

Ide ini muncul setelah si empunya rumah merasa yakin dirinya tidak bakal masuk surga. “Biarlah saya dimasukkan ke neraka bersama orang Jepang atau Korea,” katanya. “Biar kalian saja yang ke surga,” sambungnya kemudian. Kami semua kaget dengan apa yang barusan kami dengar.

Di kalangan kami, beliau memang agak sedikit liberal dalam soal keyakinan. Ini bisa jadi dipengaruhi oleh banyak bacaan termasuk sumber ajaran dari agama lain, terutama Hindu dan Budha. Beliau pun mendalami bidang sains, di mana pengetahuan teknologi beliau jauh di atas kami. Pernah suatu kali seorang pendeta membujuknya untuk memeluk agama Kristen. Setelah diskusi panjang lebar, justru si pendeta itu menjadi tak yakin lagi dengan ajaran agamanya.

Pun begitu, dia mendidik anak-anaknya dengan ajaran agama dan berharap mereka menjadi pribadi yang baik. Istrinya pun seorang yang taat beragama. Ketika sang istri berhalangan mengajari anaknya mengaji Al Quran, maka tugas itu diambil alih olehnya dengan sangat baik.

Soal membuat AC di neraka memang benar-benar disampaikannya dengan lugas. Kami menangkap ide itu hanya gurauan semata. “Tidak apa-apa saya dilempar ke neraka. Nanti bersama orang Jepang dan Korea, saya akan membuat AC agar neraka menjadi dingin, lebih dingin dari di surga,” katanya. “Tapi, kalian nanti jangan coba-cona berkunjung ke neraka, ya?” tambahnya kemudian. Kami pun terpaksa geleng-geleng kepala.


Benar-benar acara buka puasa bersama yang aneh, aku kira. Kuharap kalian tidak memandang serius ocehan beliau. Meski tema yang dibicarakan sangat sensitif, tapi dia berusaha menjadi tuan rumah yang baik: minimal dia menjaga agar dirinya tetap dianggap liberal. Ada-ada saja.


1 thought on “Nasi Briyani dan Kisah AC di Neraka”

Leave a Comment