Pengunjung Museum Tsunami Keluhkan Retribusi Parkir

Maimun Saleh

Banda Aceh – Pengunjung museum tsunami Aceh keluhkan mahalnya bea parkir yang melonjak 100 % dari ketentuan Pemerintah Kota Banda Aceh. Pengelola parkir mengutip Rp 2.000/sepeda motor. 

“Hah Rp 2.000 untuk sepeda motor. Mahal sekali, harusnya kan Rp 1.000 banyak sekali ya uang orang itu!” ketus seorang penjaga cafe, Rabu (21/12).

Namun menurutnya, area parkir persis depan papan nama museum, dikelola oleh pemuda setempat bukan pengelola museum. Dalam website Layanan Pengaduan Masyarakat (LPM) Kota Banda Aceh, disebutkan bea tarif parkir di badan jalan Rp 500/sepeda motor dan Rp 1.000/mobil.

Website yang dikelola Dinas Perhubungan, Infokom dan PDE Kota Banda Aceh itu menyebutkan bea parkir di plataran Rp 1.000/sepeda motor dan Rp 2.000/kenderaan roda empat. Fery, salah seorang pengunjung, menduga aksi menaikan bea parkir itu ilegal. Ia mensinyalir meningkatnya jumlah pengunjung jelang peringatan tujuh tahun tsunami, menjadi alasan penaikan bea parkir.

“Parkir resmi pasti ada karcisnya, ini cuma dikasi kertas kotak rokok yang bertuliskan nomer parkir,” jelasnya.

Warga Kuta Alam ini, berharap pemerintah Kota Banda Aceh, menertipkan sistem parkir museum tsunami. Pasalnya, gedung tersebut menjadi salah satu tujuan wisata Banda Aceh.

“Jangan gara-gara pengelolaan parkir amburadul, citra Banda Aceh jadi buruk,” jelasnya.

Rahmani, salah seorang pelajar, mengaku sempat mengeluh pada penjaga parkir. Ia bahkan menyebutkan dirinya pelajar agar bisa diturunkan bea. Namun penjaga parkir bersikeras.

“Untung kawan saya masih ada uang sisa jajan, jadi kami bisa masuk museum,” sebutnya.

Askhalani, Koordinator Gerak Aceh, berharap pemerintah Kota Banda Aceh segera memperbaiki manajemen parkir. Menurutnya, parkir harus dikelola Unit Palayanan Terpadu Daerah (UPTD). Alasannya, museum menghabiskan biaya bulanan dan tahunan sehingga membutuhkan dana tetap.

“Pendapatan dari retribusi parkir harusnya menjadi kas, yang kemudian dimanfaatkan untuk pengeluaran tetap museum sendiri misalnya kebersihan dan perawatan gedung,” katanya. “Kalau parkir dikelola preman, uangnya dibawa kemana tidak ada yang tahu.”[]