Seni Mengatur Hidangan untuk Raja Siuroe

Taufik Al Mubarak

Aku sudah menghadiri banyak sekali pesta atau kenduri, di kampung atau di kota. Macam-macam model cara menyajikan hidangan sudah kulihat. Namun, menurutku, hanya dua ala yang hingga kini sering digunakan, yaitu ala Baghdad dan ala Paris atau ala France. Ala yang satu aku dengar dari mulut penceramah dan ala satu lagi aku tahu karena sering kusaksikan dalam setiap pesta di kampung.

Ala Baghdad adalah salah satu cara menghidangkan makanan dengan mengatur posisi makanan sedemikian rupa. Lauk-pauk dari aneka jenis masakan ditempatkan di atas tabusi (baca: talam) dengan kombinasi daging masak merah dan putih, telur rebus yang dibelah dua, ikan, telur asin, kerupuk mulieng, dan udang goreng. Sementara nasi, air putih dan ie rah jaroe diletakkan di sisi terluar. Beberapa jenis buah-buahan pencuci mulut diatur secara bergantian di sela-sela hidangan.

Ala France lain lagi. Menu-menu itu diatur di atas meja dengan variasi masakan, masing-masing: daging ayam, ikan tongkol atau bandeng, pecal, mihun goreng, telur, dan daging sapi yang sudah ditaruh dalam piring kecil. Ikan dan lauk pauk lain disusun dengan kombinasi saling mencukupi. Nasi ditaruh dalam tempat khusus sejenis termos agar nasi selalu hangat. Sementara piring disusun bertingkat di dekat tempat nasi, dan di sisinya ditaruh sendok yang sudah dibungkus serbet di ujungnya.

Dari dua jenis ala ini, ala Baghdad dipandang lebih sesuai dengan kultur Aceh yang begitu memuliakan tamu, dan karenanya dianggap lebih islami. Sementara ala France lebih modern dan liberal, dan karenanya cocok untuk kultur barat. Dari segi penyajian, ala ini serba praktis dan instan. Cara mengatur menu makanan tidak perlu keahlian khusus, hanya cukup memahami filosofi hidangan: kalau sudah ada menu ayam goreng, tidak perlu lagi ada ayam masak kuah.

Dalam ala France, kebebasan dan pilihan seseorang begitu dihormati. Ia bebas memilih menu yang disukainya. Pun begitu, ia tak selamanya bebas. Soalnya, ada para pelayan para tamu yang berdiri berhadapan dengan mereka, dan ini biasanya membuat para tamu merasa tidak selamanya bebas memilih. Ada perasaan tertekan setiap kali hendak mengambil beberapa menu yang berada di depan mereka.

Dan, tempo hari aku begitu menikmati pertunjukan bagaimana suatu hidangan diatur dalam sebuah pesta memuliakan raja siuroe, lakab yang disematkan pada linto baro (mempelai pria). Aku sempat melihat bagaimana rumitnya hidangan-hidangan itu disusun agar semua jenis masakan memperoleh tempat yang layak. Space yang tersedia dimanfaatkan dengan sangat baik agar tidak ada ruang kosong atau celah yang membuat hidangan tidak sedap dipandang oleh mata.

Aku sudah pernah menjadi raja siuroe dan sempat berhadapan dengan aneka hidangan yang kalau dipikir-pikir terlalu berlebihan. Aku ingat, hanya beberapa jenis masakan saja yang pernah kucicipi, dan selebihnya hanya mampu kita tatap dengan pandangan pasrah. Namun, karena hidangan itu diperuntukkan bagi raja siuroe, orang-orang alpa memikirkan soal makanan yang bakal mubazir.

Satu hal yang patut dicatat, orang kita rupanya punya sentuhan seni tingkat dewa dalam menata hidangan. Semua jenis masakan tidak asal taruh, melainkan disesuaikan dengan urutan masakan mana yang lebih dulu dicicipi. Kalau diperhatikan, ada hidangan pembuka dan penutup. Setelah melihat bagaimana semua itu diatur, aku hanya mengerti satu hal: dalam menyusun hidangan pun kita butuh para seniman dan desainer.

Ya, butuh orang-orang sejeli desainer untuk menyusun sebuah hidangan. Keliru besar jika dalam sebuah talam terdapat jenis masakan yang sama. Kesalahan kecil itu tak boleh dilakukan, karena sama saja dengan mengakui bahwa kalian kehabisan ide!

Leave a Comment