Pertanyaan itu seolah berulang, menjelma sulur tanaman yang mengejar arah cahaya mentari. Berapa lamakah lama? Tak ada yang mampu menggambarkannya secara jelas sebelum penunjuk waktu ditemukan; entah itu jam lilin, jam pasir, sundial (jam matahari) hingga arloji yang diakui dunia sebagai temuan Peter Henlein…
Bahkan, para fisikawan masih mempertanyakan waktu sebagai wujud satuan yang berada di luar atau di dalam ranah fisika. Sebab, jika waktu adalah materi, ia akan bisa dibagi dan menempati ruang. Faktanya, tak ada alat takar selain arloji dan para pendahulunya yang dapat menghitung waktu. Ia tak menempati ruang dan tak memiliki masa-jenis untuk ditimbang. Hal itulah yang kemudian memperpanjang durasi diskusi mengenai berapa lamakah lama?
Bentuk waktu sepertinya lebih baik dipahami sebagai sesuatu yang melintasi periode kehidupan semesta. Ia tak boleh bergantung pada umur (era hidup) atau eksistensi sebuah benda, sesosok manusia dengan kualitas ketokohan sehebat Temujin sekalipun!
Berapa lamakah lama? Bastian Tito menjawabnya memakai style bentuk waktu dengan pembanding aktivitas tertentu, seperti; sepenanakan nasi, sepeminuman teh, sepenghisapan rokok maupun sepemakanan sirih. Sepadan dengan upaya Asmaraman S (Kho Ping Hoo) menggantikan jarak dengan pembanding ukuran tombak, terjajar 5 depa, atau terhempas 3 tombak.
Berapa lamakah lama? Inilah pertanyaan yang mempertanyakan subjektivitas kata sifat yang terwakili dalam bentuk waktu. Bagi para pecinta, tak ada waktu yang terlalu lama, bagi para penanti janji, setiap detik sungguh menyiksa, bagi seorang sasaran penembak jitu, setiap milidetik adalah jaminan hadirnya ‘selamat’ atau ‘sekarat’; bahkan dengan kelindan probabilitas elevasi bidikan, tiupan angin, humiditas, suhu, laju putaran proyektil, intensitas cahaya matahari hingga efek Coriolis (putaran Bumi). Tak percaya?! Tanyakan saja pada Bob Lee Swagger. Hehehehehehehe…
Berapa lamakah lama? Subjektivitasnya dapat kita umpamakan dengan para ruh yang tengah menanti hari penghakiman di alam barzah; itupun masih relatif pula bagi ruh dengan amal baik -yang katanya merasakan sensasi penantian pengantin baru terhadap hadirnya pagi- dengan ruh beramal buruk yang merasakan tipuan ilusif Sang Waktu -akibat tiap detik terasa bagai setahun karena selalu mengalami deraan siksa. Atau mungkin boleh kuumpamakan dengan fans sepakbola di kubu pemenang yang tak sabar menanti waktu akhir pertandingan, sementara fans di pihak yang kalah sungguh merasa bahwa detik maju terlalu laju sebelum mereka dapat mengimbangi kekalahan.
Saat engkau, Wahai Para Lelaki… menanti kekasih yang tengah berdandan untuk memenuhi janji berkencan menonton film di bioskop dengan tiket catutan, adakah waktu terasa waktu yang sesungguhnya lama dan membosankan?! Jikapun membosankan, saat itu akan termaklumi sebagai sebuah lobby politik mutakhir! Sebentuk tindak pemakluman terhadap obsesi kecantikan perempuan oleh perempuan dan untuk perempuan sendiri. Meski standard kecantikan sesungguhnya dibangun oleh kaum kita, untuk membelenggu kaum Mamak kita dalam sebuah penjara yang mengurung mereka dalam pupur bedak dan gincu. Sungguh tak pelik nian untuk memahami betapa kita juga menjadi korban atas standard kecantikan yang di bangun oleh para pendahulu kita (para lelaki penguasa nilai di masa lalu), lantas menjadikan kita sebagai korban!
HAHAHAHAHAHA…
Lantas, konstelasi nilai dan konspirasi semesta mendukung sepasang pecinta memasuki jenjang selanjutnya, pernikahan. Kaum lelaki akan merespon aktivitas berdandan sebagai bagian dari penantian yang paling membosankan secara vulgar, sebuah komplain terbuka yang manifest, muncul ke permukaan. Ia menjelma komplain, “Sayang… kenapa kamu lama ‘kali dandannya?!” ujar seorang suami yang menanti istri berdandan sebelum pergi sebuah resepsi perkawinan atau sunatan.
Bentuk waktu yang paling membekas dalam benak yang berasal dari kitab suciku adalah ‘sepenggalah’, muncul untuk menggambarkan waktu Dhuha dalam surat bernama sama. Begitu krusial peran waktu hingga berkali Tuhan bersumpah atas namanya. Tuhan membandingkan ketinggian mentari (satu di antara beragam penunjuk waktu alami) dengan galah, agar manusia tak gagal paham. Meski ukuran galah juga tak valid-valid amat, setidaknya ada gambaran ilustrasi penanda waktu yang tak terlalu imajiner. Tuhan mencoba berbicara dalam terminologi manusia dengan alat yang lekat dalam keseharian. Tuhan tak bercakap memakai bahasa surgawi dalam berfirman.
***
Ketika menulis, pembaca akan bertanya mengenai, Berapa lamakah lama?” yang engkau maksud selaku penggores kisah. Sebab lama bernaung dalam ranah kata sifat, meski bergantung pada zat, penerjemahannya membutuhkan validasi sebagai pembanding, yang membutuhkan ilustrasi pendukung penjelasan; sepenggalah, sepenanakan nasi, sepemakanan sirih, sepenghisapan rokok, 1 jam, 1 menit, 10 detik…
Ilustrasi yang akan mengajak pembaca untuk ‘meng-alam-i’ kelindan peristiwa dalam lingkup waktu. Menjebak pembaca dalam perangkap alur pikir kita, untuk sepaham agar tak ada beragam tafsir atas pengungkapannya. Meski Einstein pernah mengungkap sebuah ‘kelakar’ matematis;
Tak semua yang dapat dihitung dapat diperhitungkan, tak semua yang dapat diperhitungkan dapat dihitung…
Setidaknya Bastian Tito dan Asmaraman S. Kho Ping Hoo telah membuktikan bahwa mereka telah mengkonversi bentuk waktu ke dalam aktivitas peristiwa; sepenanakan nasi, sepeminuman teh, sepemakanan sirih etcera… etcetera…
Image Source: