Segala yang bernyawa akan mengalami mati!
Itu sebab, segala yang berpikir akan mengalami suntuk. Maka, saat Fara mengajakku ngopi dengan standard waktu dan tempat yang belum tertentu, aku langsung sepakat. Meski secara empiris, cuma Ihan Sunrise-lah Steemiawati yang belum pernah mengecewakan soal janji ngopi. FYI: Ihan Sunrise baru sekali mengajakku ngopi. Reputasinya masih 100% wokeh hingga laporan ini kutulis.
Saat langkah keduaku memasuki ambang rolling-door Warkop Leuser , seorang lelaki bertampang pegawai Kandepag menyebut namaku, “Diyuuusss…” ujarnya dengan nada mengambang. Scanner otakku mendeteksi, ini lelaki belum pernah kujumpa. Tapi caranya menegur selirih gadis yang mengucap nama jejaka pujaan. Aku terhenyak, mengulurkan tangan, dan bertanya, “Ini siapa?”
“Yaisar…” jawabnya. Nama yang baru pertama kudengar langsung diucap pemiliknya meski telah berulang kubaca. Nama yang berima dengan Kaisar, Czar, Cesar dan Tsar. Menggaungkan kuasa. Suatu saat, aku akan menanyakan kisah di balik namanya. Segelas single-espresso telah terhidang di meja yang mengangkang pasrah di hadapnya. Meski berpenampilan rapi-jali-dendy, gesturnya tak demikian. Sepenuhnya menunjukkan pelepasan bosan. Kaki kirinya sedang nangkring di lengan kiri kursi rotan yang didudukinya. Jenis gestur yang menunjukkan betapa meletihkan hari yang baru ia lewati.
Kami mencairkan keadaan karena ini situasi yang cukup canggung bagiku. Memulai obrolan berdua dengan seorang lelaki tanpa pernah memiliki cerita di masa lalu. Tidak sebagai kawan, tidak sebagai apapun. Ngobrol berdua sungguh berat. Salah-Salah, malah jadi curhat. ‘Kan nggak enak. Cinta pada pandangan pertama itu biasa, mengingat manusia adalah makhluk yang gampang terpesona, tapi curhat pada pandangan pertama, dengan lelaki pula, itu sungguh celaka!
Sejumlah nama yang beririsan dalam pergaulan steemian muncul sebagai bahasan mukadimah, Kems, Ihan dan sidang Jama’ah Steemian Nanggroe Meutuwah.
Lalu muncullah Mira Mayra, Fara dan Ihan… mereka tak hadir bersamaan. Inisiasi sosok di grup WA dan Steemit (atau sebaliknya) cukup membantu. Tak perlu banyak menyetarakan frekwensi, sebab saling berolok di grup telah membuat kami terhubung untuk memahami standar canda.”Eh… ada Bang Anu…” ujar Fara. Lakab itu mulai merebak di lingkup pergaulan usai aku menuangkan celoteh berjudul Mengurai Anu. Akupun jadi merasa anu saat itu.
Leuser Café yang terkesan clandestine itu menjadi loudspeaker bagi interaksi kami di alam elektris. Baur sudah suasana dengan pertukaran senyum dan serobotan momen bicara. Seorang calon Arsitek-Aceh masa depan yang kulupa namanya juga turut meramaikan suasana dengan senyum-parkinsonnya; jenis senyum milik mahasiswa smester akhir yang terintimidasi tenggat waktu. Seorang lagi, sepertinya Andhya RusianOrcheva; Satu dari segelintir orang Russia yang memilih nonton bareng Piala Dunia 2018 di Aceh ketimbang di negaranya sendiri.
***
Sebubarnya permufakatan caffeine kami, aku bingung hendak menuliskan apa. Terlalu banyak serotonin hadir dari lingkar percakapan kami. Sebab, semuanya baru bertatap muka hari itu. Eh… nggak. Aku salah. Jum’at lalu aku bersama Ihan ngopi di Bin Ahmed. Kami ehm… cuma berdua saat itu. Sebuah kebanggaan bertemumuka dengan perempuan yang kerap kubaca karya dan kayuh-dorong-tuntunnya. Sungguh aneh kalau kutulis sepak-terjang, sebab setahuku Ihan penyuka aktivitas bersepeda. Bukan atlet Systema, Kalarippayattu, Okichitaw, Vovinam, Lerdrit, Dambe, Eskrima, Sambo maupun Krav Maga.
Jadi, tolonglah sepakat denganku sekali iniii… saja, bahwa penggambaran paling tepat tentang kegemaran Ihan adalah kayuh-dorong-tuntun, bukan sepak-terjang. Sebab, cuma 3 kata itu yang tak berdusta tentang keintimannya dengan sepeda. Aku yakin, jika sepeda itu lelaki, kalian pasti tahu siapa yang akan hamil… Zenja wajib cemburu dengan keberuntungan sepeda itu. Zenja mesti berjuang keras mengubah janji Broery-Dewi Yull, “Jangan ada dusta di antara kita”, menjadi, “Jangan ada s’peda di antara kita”.
Aku tak paham cara paling klop menggambarkan mula pertemuan ini. Apakah dari steemit, dunia tulis atau probabilitas teori chaos. Sukar juga kalau mesti menyeret-nyeret nama Ian Malcolm ke aktivitas ngopi yang sesyahdu malam itu; ternikmati susah, terpahamipun tidak. Maka, kualirkan saja ia dengan sesiram canda. Sayangnya, aku lupa. Celakanya lagi, aku lupa karena terlalu banyak bicara. Ini bencana ingatan, kawan. Sungguh, ungkapan paling tepat untuk tiap bencana adalah Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun… Semua berasal dari akan kembali kepada-Nya. Termasuk memori.
Semoga Mira Mayra bersedia menutup aibku, saudara-sesasama-muslimnya dengan sebuah testimoni yang meuketham dengan mengungkap hal-hal yang kulupa, yang katanya bikin ia sebal itu.
Semogaaa… teng… teng… toneng… teng… toneng… teng… toneng… teng…
Teng… teng… toneng… teng… toneng… teng… toneng… teng… (Lagu Semoga KLA Project dalam mode fade away…)
Ia yang paling kesal malam itu. Katanya, aku mampu membantah semua hal yang telah terlanjur ia pahami sebagai kebenaran. Padahal aku bercanda-sungguh menanggapinya sambil-lalu saja. Toh ini perjamuan ngopi, bukan simposium, muktamar ataupun seminar. Niat dan kesan kebercandaan itu kutangkap dari tawa yang keluar dari para hadirin, tiap kali aku menangkis premis yang diajukan oleh Mira. Padahal, bisa saja mereka tertawa karena memang ada yang lucu, bukan karena sepakat denganku, ‘kan?
Ia selalu menunjukkan tampang manyun-manja yang bersambut gelegar tawa hadirin dan hadirat semeja. Jadi jelas, ‘kan… mana mungkin sesuatu yang serius tampak sebercanda itu?! Atau, jangan-jangan kebercandaan memang seserius itu?! Jika kebercandaan butuh keseriusan, lantas di mana letak enaknya?! Juga sebaliknya, jika keseriusan terungkap dalam canda, siapa yang pernah melamar anak gadis orang dengan paras cengengesan?!
Andai saja ia tau betapa aku merasa serba-salah saat di matanya aku tampak serba-benar…
“Kenapa Bang Diyus dari tadi selalu betul terus, sih…?!” ungkapan yang sungguh sentimentil nan melankolis plus merengek. Sudah pakai ‘dari tadi’, ‘selalu’ dan ‘terus’. Ungkapan yang sungguh asertif, bahkan intimidatif bagi lelaki berjiwa lemah sepertiku ini. Jilbabnya memberi impresi tambahan mengenai warna hitam. Untunglah aku ingat bahwa Ka’bah berwarna hitam. Jika tidak, mungkin aku akan… ah… sudahlah…
Aku panik dengan paduan pertanyaan, ekspresi dan gesturnya. Ia tampak geregetan dan ingin mencubitku, mungkin di pinggang… mungkin juga di mana saja bisa ia daratkan jepitan jemarinya melampias dendam. Makin kuperhatikan, makin cemaslah aku sebab geregetannya sudah pada taraf ingin menggigit. Aku tak pernah menyangka, ada perempuan yang memandangku dengan tatapan segeregetan itu. Padahal posturku terancam kerempeng, tak ada chubby-chubby-nya.
Dalam waktu bersamaan Mira suka kebenaran, tapi ia kesal saat kebenaran baru oti membantah sesuatu yang telah lama dianggapnya benar. Itu yang terucap, dalam hati siapan tau… Tapi aku lebih khawatir jika ia kesal sebab kebenaran itu datang dari lawan bicara. Padahal lawan bicaranya cuma insan biasa yang sungguh berlumur dosa. Aku semakin cemas dan grogi. Beberapa belahan detik terlintas sebuah jawab dalam benak, “Mir… kenapa kesal dengan kebenaran? Banyak orang yang mencari dan memperjuangkannya; tak ada hasil hingga hari ini. Lha… Mira cuma tinggal terima aja, kenapa malah kesal?”
Coba bayangkan, Wahai Sodari-Sodara setanah-air. Saking terintimidasinya, aku cuma berani bertanya untuk menanggapi ekspresi kesalnya. Mengajukan pertanyaan, Waaakkk…. bukan mengungkap pernyataan. Bukannya senang, ia malah melengos sewot ke arahku. Aduhay Ibu Pertiwi… apa yang mesti kulakukan untuk meletakkan pemahaman di kalbunya, bahwa tadi aku sungguh cuma bercanda. Apalah arti seorang yang memilih menyelesaikan kuliah dalam rentang waktu 11 tahun jika dibandingkan dengan perempuan berjilbab-purna dan berparas Honors Convocation di hadapanku ini?
Apakah kebenaran yang tak berasal dari diri sendiri mesti ditanggapi dengan segumpal sebal? Tapi, sungguh aku tak tau sebabnya. Aku malah mengaguminya. Aura open-minded itu yang sungguh kentara terasa. Sekesal-kesalnya Mira, ia mendeklarasikan pada para hadirin-hadirat bahwa aku benar, padahal aku sedang bercanda. Ia tak mampu menghidarkan diri dari sentuhan keterbukaan Bavaria yang pernah hadir dalam hidupnya. Bukan dalam wujud lelaki, melainkan pendidikan. Ingin kuungkap terimakasih pada Jerman semendayu testimoni para pasien Klinik Tong Fang…
“Terimakasih, Jermaaannn…”
Mungkin menerima kebenaran dari luar diri seperti menerima luka, akan terindukan saat ia hendak pergi. Gatal yang tersisa dari sekoreng luka yang sungguh nikmat dielus. Dan… saat ia berlalu, kita cuma bisa mengenang kebersamaan yang ternyatan ngangenin itu. Tolong, jangan teralih perhatian kalian. Aku sedang mengagumi aura open-minded Mira Mayra, sebanding dengan frekwensi yang meradiasiku saat duduk berjeda-jarak 2 meter dengan Ihan pada… ehm… pertemuan pertama kami Jum’at lalu.
Berikutnya adalah seorang perempuan dengan sosok yang begitu sejahtera-nyaman-sentosa; Fara. Aura keanggunan sudah terinderai saat menyebut namanya. Nama berakhir huruf vokal, terucap dengan mulut setengah terbuka, menyisakan gema ‘a’ yang begitu ningrat, Kawan…
Mengucapkan huruf ‘f’ sebagai awal kata dan mengakhiri dengan ‘a’ yang begitu lepas tak terpenjara, benar-benar menghadirkan nuansa Renaisance usai Zaman Kegelapan Eropa. Selain sensasi segar dan ringan, mengucapkan namanya terasa meningkatkan kecerdasan. Sebab, huruf ‘f’ tak memiliki tempat di bibir sebagian besar warga Nusantara. Kesannya… meu-Eropa meunan…
Siapa yang mau bantah, akan berhadapan dengan pemiliknya. Jangan libatkan aku, sebab, masalah hidupku sudah lebih dari banyak.
Sudah… sudah… sudah…. cukup… jangan terbawa suasana sambil memonyong-monyongkan bibir melafalkan namanya. Itu nama memang berkelas untuk diucap. Digemakan dalam benak. Dan mungkin dijadikan obat tidur. Kupikir, lebih elok melafalkan ‘Fara’ jika susah tidur ketimbang menghitung kambing.
Mari ucap sekali lagi dengan penuh penghayatan. “1… 2… 3… Faaa… Raaa…”
Kalau diibaratkan dengan frekwensi suara, level antara katup dengan buka mulut kita saat mengucapkan namanya bisa disetarakan dengan istilah “sayup-sayup sampai”.
Enak, ‘kan?
Sepertiga beban hidupku terasa menguar pergi usai mengucapkan namanya. Ada sensasi melayang dan sedikit limbung. Sisa gema di akhir suara yang mengawali hening di sesudahnya. Dalam satu kata: Syahdu!
Cobalah… kalau engkau sedang kesal, sebutkan nama itu usai menarik-dalam napas dan mengelus dada. Semua kesal akan sirna. Cobalah…
Sepertinya asyik kalau kita coba sekali lagi bersama Pak Tarno. Kalian mau, ‘kan? “Mari kita ucapkan sekali lagi, ya… tolong dibantu, ya… Binsalabin jadi apa, prok… prok… prok…!”
“Ayo semuanya tolong dibantu, ya…!”
“1… 2… 3… Faaa… Raaa…”
Sensasinya serasa usai menghidu setusuk sejuk dari silinder Vicks Inhaler.
Ungkapan yang tak bisa kulupa darinya adalah, “Jangan banyak ngomong ke,” tulisnya untuk seorang lelaki anggota grup, “kutampar sekali, langsung ganteng nanti…” ujarnya usil. Sungguh berbeda dengan penampilannya yang anggun berbalut kerudung khas perempuan Iran di masa perlawanan terhadap Shah Reza Fahlevi.
Ungkapan serupa pernah kudengar dari mulut Ajie, lelaki yang bernama lengkap Teuku Muhammad Fadjrie, kawan seangkatan di kampus. Saat itu ia sedang kesal sebab berada dalam kloter terakhir angkatan kami yang tersisa di kampus. Belasan orang yang tersisa di masa ‘injury-time’ kalender akademik. Ia tampak kerap merenung sendiri. Saat ada yang mengusik, ia langsung membentak, “Jangan dekat-dekat, aku sedang suntok! Jangan macam-macamlah… kutampar sekali, sarjana pula kau nanti!” tawa kerumunan kami langsung menggelegar saat itu.
Malam itu, kutemukan lagi ungkapan itu diterapkan secara pas dalam konteks berbeda. Sungguh mengena. Mantap kali!
Namun, itu semua adalah gambaran umum saja terhadap 3 perempuan yang belum berbilang tahun kukenal. Itupun perpaduan antara komunikasi di grup messenger dengan secuplik temu di alam nyata. Aku mendeteksi keterhubungan yang tak kentara di antara ketiganya. Soal persinggungan dalam Diagram Venn, aku yakin wilayah arsiran mereka lebih dari 3.
Aku berupaya menemukan sesuatu yang tak mereka sadari. Sisi lain yang bisa kujadikan bukti bahwa malam itu, untuk mereka bertiga kucurah 60% perhatian secara merata. Sisanya untuk para lelaki yang (biar nggak ngetik banyak lagi) tak bersedia kusebut namanya. Sesuatu itulah yang menggemakan pekik Archimedes yang –entah bercelana atau tidak– melompat keluar dari bath-tub-nya. “Eureka! Eureka! Eureka!”
Tanpa sadar mereka membawa Merah dalam diri masing-masing. Fara yang baru mengaku mengenal merah atas nama Cinta dari sang kekasih, di foto profil WA-nya, ia mengenakan jilbab merah menyungkup sekujur tubuh. Ihan, dengan bingkai kacamata yang menyembunyikan tatapan deduktif Sherlock Holmes. Dan… eng… ing… eng… Mira yang menggunakan arloji berwarna merah sebagai peringatan keras atas berharganya waktu.
Merah di mata, merah di waktu dan merah di Cinta (dengan C kapital)!