DULU pernah beredar sebuah cerita tentang Pulau Aceh, entah cerita itu benar atau tidak saya tidak tahu. Boleh jadi, cerita itu hanya sebagai humor belaka untuk menggambarkan betapa misteriusnya pulau yang berada di ujung paling barat Aceh itu. Pulau yang berdekatan dengan Sabang, dulunya memang sangat maju dan makmur dengan melimpahnya tanaman ganja, seolah tak mau kalah dari Sabang yang pernah menjadi penghasil cengkeh terbaik di dunia.
Konon, setiap orang dari daratan Aceh yang menyeberang dan mengunjungi Pulau Aceh, akan dilayani dengan sangat baik. Disambut dan dijamu melebihi seorang raja. Seakan-akan sang tamu adalah orang penting dan berpengaruh, dan mereka akan merasa berdosa kalau tidak melayani dengan sebaik-baik pelayanan. Semenjak dari lokasi pendaratan boat atau kapal motor, tamu dari daratan Aceh diperlakukan dengan ramah, kemudian diantar ke warung-warung yang tak jauh dari lokasi berlabuh boat.
Si tamu akan disuguhi aneka makanan khas penduduk pesisir atau seafod dalam istilah milenial. Semua makanan itu sebagai tanda kemuliaan. Memuliakan tamu sudah menjadi adat dan tradisi yang dirawat dan dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat di sana. “Pemulia jamei adat geutanyoe,” demikian sebuah ‘ajaran’ yang dipegang dengan sangat erat oleh mereka.
Tamu tidak perlu takut untuk mencoba segala jenis hidangan itu, karena mereka tidak menuntut bayaran. Semua makanan itu gratis dan boleh dimakan, selama sang tamu sanggup memakannya. Kalau menu yang dihidang itu masih kurang, tamu dari daratan masih boleh meminta tambah. Tidak perlu malu dan sungkan. Sebagai tuan rumah, mereka berkewajiban melayani para tamu sebaik-baik pelayanan. Malah, mereka akan cukup senang kalau semua makanan yang dihidangkan itu membuat tamu senang.
Namun, jangan pernah berharap bahwa selesai makan kita akan diajak berkeliling di Pulau Aceh, mengunjungi areal perkebunan mereka atau melihat-lihat suasana di perkampungan. Tamu hanya boleh menikmati pemandangan yang berada di sekitar lokasi pendaratan boat saja. Setelah semua makanan itu dihabiskan, dan para tamu mulai kenyang, mereka akan senang hati mengantarkan tamunya kembali ke tempat di mana boat ditambatkan. Sudah saatnya tamu harus kembali pulang, ke tempat asalnya: daratan Aceh.
Bagi yang pertama sekali berkunjung ke Pulau Aceh, tak perlu merasa heran dengan perlakukan super-ramah dan sangat tidak biasa itu. Soalnya, dalam hal keramahan orang pesisir, tidak ada duanya. Sebagai tamu, tentu saja kita tetap heran, dan pasti bertanya-tanya dalam hati. Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan? Sampai-sampai kita tidak boleh mengunjungi perkampungan dan perkebunan mereka. Rupanya, itulah cara mereka menjaga rahasia besar dari kampung mereka.
Masyarakat di Pulau Aceh tidak mau orang dari Aceh daratan mengetahui aktivitas dan profesi mereka sebagai petani ganja. Ya, Pulau Aceh memang terkenal dengan pertanian ganja kualitas super, tidak mau kalah dengan masyarakat Sabang yang memiliki komoditas cengkeh. Sebagai informasi, semua makanan dan kebutuhan untuk menjamu para tamu berasal dari hasil penjualan ganja.
Itu cerita zaman, sebelum tsunami meluluh-lantakkan daratan Aceh. Cerita ini sengaja diproduksi untuk memberi gambaran betapa tertutup dan misteriusnya kawasan Pulau Aceh. Kita tak bisa memverifikasi kebenaran cerita ini karena minimnya sumber tertulis, dan lagi pula cerita ini hanya diceritakan dari mulut ke mulut, dan si pencerita pasti akan tertawa setelah membagikan cerita ini.
Selain Weh di Sabang, Pulau Aceh ibarat seberkas cahaya yang kilauannya tidak pernah sirna. Ada sebuah pepatah lama yang menggambarkan bagaimana posisi pulau di ujung paling barat itu bagi Aceh. ā€¯Munyoe intan han ek soe linteng, beuthat lam leubeung dibedoh cahya (Kalau intan tak bisa dihalang, walau di kubangan tetap bercahaya)”.
Saat Darurat Militer (DM) diberlakukan di Aceh, pulau Aceh pernah diwacanakan untuk disulap sebagai tempat tahanan untuk para mantan kombatan GAM. Soalnya, kawasan ini pernah menjadi salah satu basis gerilya pejuangan kemerdekaan itu. Atau setidaknya pernah menjadi sumber uang bagi para gerilyawan, tentunya dari tanaman ganja. Entah bagaimana kelanjutan rencana tempat tahanan itu, karena tidak ada informasinya lagi setelah itu.
Seperti intan, pesona pulau Aceh itu tak pernah pudar apalagi hilang. Belum lagi, pulau ini disebut-sebut memiliki kandungan emas yang melimpah, meski tidak sebesar Freeport di Papua, dan sempat diwacanakan untuk dijual atau setidaknya dijadikan kawasan wisata khusus dan lokasi judi untuk bule-bule, menyerupai Macau atau Las Vegas. Rencana itu tetaplah hanya tinggal sebagai rencana. Faktanya, pulau itu tetap indah mempesona, karena tsunami pada 26 Desember 2004 silam tak jua membenamkannya ke dasar lautan.
Hingga kini, kawasan yang memiliki dua pulau utama tersebut masih tetap tetap mempesona seperti semula. Nama yang disematkan untuk pulau ini pun saling berhubungan. Pulo Breuh (beras) dan Pulo Nasi. Tidak ada yang tahu bagaimana sejarah pemberian nama terhadap kedua pulau ini, tidak juga diketahui siapa orang yang pertama kali memberinya nama demikian.
Konon, warga setempat meyakini nama Pulo Breuh dan Pulo Nasi diberikan oleh orang yang datang dari daratan Aceh. Karena letak geografis, masyarakat dari daratan Aceh yang hendak berkebun (ganja) di sana, lebih memilih membawa beras alih-alih membawa nasi. Alasannya, kalau membawa nasi sebagai bekal, maka begitu tiba di kedua pulau itu, nasi bakal menjadi basi dan tidak bisa dimakan lagi. Makanya, mereka lebih memilih membawa beras, dan kemudian memasaknya di sana menjadi nasi. Maka jadilah, breuh (besar) dan nasi, sebagai nama pulau itu. Apakah cerita ini benar? Sekali lagi, ini hanyalah cerita yang beredar dari mulut ke mulut.
Yang pasti, kalau sekarang kalian pergi ke Pulau Aceh, kalian akan tetap diperlakukan dengan ramah, tapi tidak akan cepat-cepat diantar balik ke boat untuk segera pulang![]