Kali ini saya akan bercerita tentang sosok Hasballah, S.Ag. Saya sudah lama mengenalnya, kira-kira hampir 15 tahun lamanya. Kebetulan dia satu almmater dengan saya, sama-sama alumni IAIN (kini UIN) Ar Raniry. Hanya saja, dia lebih duluan menjadi mahasiswa di salah satu kampus jantong hate rakyat Aceh itu.
Karena faktor usia dan angkatan kuliah, saya menyapa namanya dengan Pak Bal, dan entah untuk menghormati atau bagaimana, dia pun memanggil saya dengan panggilan Pak Fik. Namun, dari teman-temannya yang sama-sama dari Aceh Besar, saya sering mendengar mereka memanggil Pak Bal dengan sapaan Cut Apa. Saya tidak tahu bagaimana ceritanya teman saya ini dipanggil Cut Apa. Suatu kali, saya sempat membaca alamat emailnya, dan nama akunnya juga menggunakan kata Cut Apa.
Karena pernah bersama-sama aktif dalam sebuah organisasi yang sama, kami menjadi akrab. Sering bertemu dan kerap terlibat obrolan dengan topik yang selalu berkaitan: soal nasib Aceh. Bahkan ketika itu kami begitu yakin hanya soal waktu Aceh akan menjadi sebuah negara merdeka. Lalu, ketika kesepakatan damai dalam bentuk CoHA atau Cessations of Hostilities Agreement diteken antara Pemerintah RI dan GAM, kami menjadi lebih sering bertemu dan bersama.
Selama CoHA, saya beberapa kali diajak ke rumahnya di Lampanah, Aceh Besar. Apalagi saat itu saya memang sering datang ke Meurue, salah satu basis GAM di Aceh Besar. Kami terbiasa keluar masuk dari satu kampung ke kampung lainnya di Aceh Besar kala itu. Misalnya, kalau malam Senin di Kampung Baet di Sibreh, maka malam Selasa kami sudah Dilieb, Montasik. Dan kami sering tidur di meunasah yang berada di kompleks makam Teungku Syik Di Tiro yang berada di Meureue.
Pernah ada kejadian yang menegangkan. Suatu malam, saat kami datang ke Kampung Nya di Sibreh atas undangan masyarakat untuk memberikan penerangan tentang CoHA di sana, suasana di sana sedang mencekam. Rupanya, pada sore hari para serdadu baru saja menyambangi kawasan di sekitar kampung itu untuk mencari gerilyawan GAM. Seusai salat magrib, kami berdiskusi dengan anggota GAM di sana, dan akhirnya diputuskan tidak ada ceramah malam itu. Meski berstatus CoHA, kondisi di lapangan sedang tegang. Masing-masing pihak saling tuding tidak komit dengan kesepakatan damai.
“Malam nyoe leubeh get bek ta peugot ceramah dilei,” kata Abu Nek, panglima GAM Aceh Rayeuk yang kini almarhum.
“Kamoe ikot kiban peuneutoh yang jroh dari ureueng droeneuh,” jawab kami.
“Tapi ureueng droeneuh bek neubalek dilei u Meureue, neu-eh di sinoe mantong.”
Abu Nek beralasan, pulang malam-malam keu Meureue sangat tidak aman. Apalagi ketika itu kami menggunakan mobil Taft dan kami ada empat orang. Meski tidak ada jam malam, bepergian di malam hari sangat tidak aman. Kalau tiba-tiba terpergok razia aparat, urusannya bisa gawat. Kami lalu diarahkan agar tidur di rumah masyarakat yang tidak jauh dari Meunasah. “Bah kamoe yang berjaga-jaga malam nyoe,” kata Abu Nek kemudian.
Seusai menyantap makanan dan ungkot paya, kami berempat pamit untuk tidur. Sementara Abu Nek dan pasukannya memilih bergadang dan berjaga-jaga di balai meunasah. Kami tidak bisa tidur nyenyak malam itu.
Menjelang bubarnya CoHA, Pak Bal mengikuti pelatihan tentang HAM di Medan yang digelar sebuah organisasi HAM berpengaruh di Indonesia. Karena keburu DM Pak Bal tidak diizinkan pulang ke Aceh oleh mereka. Lalu, Pak Bal dievakuasi ke Jakarta setelah Pangdam Iskandar Muda mengancam akan menyikat habis aktivis organisasi yang berafiliasi atau mendukung GAM. Darurat Militer (DM) memang membuat kami berpencar.
Singkat cerita, setelah menghabiskan masa savety house di Jawa Tengah selama sebulan setengah, saya dan Pak Bal bertemu lagi di Jakarta. Bahkan kami tinggal dalam satu rumah kost di kawasan Ciputat.
Rupanya, sebagian aktivis memilih tinggal di rumah kost yang berada di kawasan kampus UIN Ciputat. Berada di kawasan kampus sedikit lebih aman. Hampir dua tahun lebih kami tinggal di sana.
Di rumah kost ini, hampir semua penghuninya mengganti nama panggilan, dan berbohong soal nama kepada ibu kost. Banyak cerita dan kisah yang layak ditulis jadi buku.
Pak Bal kini sudah sukses di dunia bisnis, mengelola beberapa warung kopi dan gerai yang tersebar di Aceh dan luar Aceh. Namun, dunia politik tidak dia tinggalkan. Pada pemilu legislatif 2009, Pak Bal mencalonkan diri sebagai anggota DPRA dari Dapil 1 melalui Partai Aceh, dan meraih suara terbanyak keempat dari partai bentukan kombatan itu. Dia berpeluang duduk di kursi dewan setelah PA mem-PW Darmuda, hanya saja Darmuda menempuh jalur hukum memprotes kebijakan PAW terhadapnya.
Pada Pilkada 2017, Pak Bal menjadi ketua tim pemenangan Saifuddin Yahya (Pak Cek) untuk Bupati Aceh Besar. Namun, pasangan merah ini secara mengejutkan dikalahkan oleh Mawardi-Husaini atau pasangan putih.
Kini, di Pemilu legislatif 2019, Pak Bal kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRA dari Partai Aceh. Dia mengusung hashtag #2019RebutDPRA sebagai tagline kampanye. Setiap hari dia bekerja mengumpulkan 68 orang sebagai calon pemilih, dan dia terus bekerja sampai hari pencoblosan.
Sebagai seorang teman, saya punya kewajiban membantu apapun untuk memuluskan langkahnya merebut kursi DPRA yang pernah hilang dari genggamannya. Selamat berjuang, dan rebut DPRA demi menuntaskan janji mensejahterakan masyarakat Aceh Besar, Banda Aceh dan Sabang.