JAKARTA – Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) Jajat Nurjaman mengatakan, terkait penambahan utang luar negeri dari Bank Dunia (World Bank) senilai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15 triliun (kurs 15.000)
seolah Jokowi telah menjilat ludahnya sendiri.
Sebelumnya dalam sidang Konfrensi Asia-Afrika (KAA) ke-60 di Bandung, Jokowi dengan lantang mengkritik tiga lembaga keuangan dunia diantaranya Bank Dunia, IMF dan ADB yang dianggap tidak membawa solusi bagi persoalan ekonomi global dan menyarankan tidak lagi bergantung kepada tiga lembaga tersebut serta menganggap hal itu sebagai kebiasaan buruk.
“Meskipun saat ini dana pinjaman dari bank dunia tersebut dengan dalih akan
digunakan atau fokuskan untuk membantu penanggulangan bencana Lombok dan Palu,” kata Jajat Nurjaman.
Pada dasarnya Jokowi dengan kapasitasnya sebagai kepala negara sudah tidak mempunyai harga diri sebagai seorang kepala negara, bagaimana bisa seorang kepala negara tidak mempunyai komitmen yang jelas. “Sekarang bilang A besok bilang B, saya kira ini sangat menggelikan seseorang yang berbicara mengatasnamakan negara dalam sebuah forum resmi setingkat pertemuan KAA ternyata hanya ingin mendapatkan sebatas tepuk tangan dari peserta meskipun pada kenyataanya sangat berbeda”, tegas Jajat
Jajat menambahkan, dalam berbagai kesempatan pemerintah selalu berdalih
utang digunakan untuk hal yang produktif salah satunya adalah pembiayaan
infrastruktur.
Secara kasat mata, katanya, mungkin ini merupakan suatu kemajuan, namun di sisi lain ini akan menjadi bom waktu karena beban cicilan pembayaran dan bunganya bagaimana cara membayarnya.
Jokowi pernah menganjurkan untuk segera menjual jalan tol yang sudah jadi, tapi tidak pernah disebutkan apakah hasil penjualan tersebut untuk membayar utang negara atau lainnya, jika terus seperti ini sampai kapan Indonesia bisa keluar dari jerat utang luar negeri yang terus menggunung.
Saat ini, sebut Jajat, kondisi ekonomi Indonesia tidak pernah lebih baik dari
era SBY, penambahan utang yang cukup signifikan dan kebijakan ekonomi
berjilid-jilid yang dikeluarkan pemerintah tidak mampu mengangkat
perekonomian nasional kearah lebih baik, diperparah dengan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang kian terpuruk.
“Jika pemerintah berdalih akibat pengaruh dari luar justru ini menunjukan titik kelemahannya karena pada dasarnya Indonesia saat ini tidak mempunyai fondasi ekonomi yang kuat sehingga kerap terpengaruh dari luar,” tutup Jajat. []