NOVEMBER merupakan salah satu bulan yang dianggap berkah oleh umat Budhha di Thailand. Pada bulan ini, khususnya menjelang malam bulan purnama, masyarakat Thailand merayakan Loy Khratong Festival. Loy Khatrong berasal dari dua kata; “loy” berarti menghanyutkan dan “khatrong” berarti sebuah wadah berbentuk teratai yang dapat mengapung di atas air.
Secara harfiah, Loy Khatrong merupakan sebuah perayaan yang dilakukan umat Buddha Thailand untuk menghormati dewa air dengan cara menghanyutkan wadah yang berbentuk teratai ke sungai. Wadah ini biasanya terbuat dari daun pisang yang disusun sedemikian rupa hingga menyerupai bunga teratai.
‘Teratai’ daun pisang ini mengingatkan saya akan daun sirih bersusun indah dari Aceh yang sering dipakai sebagai pelengkap hantaran saat acara meminang atau pesta perkawinan. Bedanya, ‘teratai’ daun pisang ini tidak diletakkan dalam puan sebagaimana halnya di Aceh, tetapi dirangkai pada potongan batang pisang atau batang tumbuhan apa saja yang tidak berat dan bisa mengapung di sungai. Dalam lekukan ‘bunga teratai’ ini, disusun juga beragam bunga berwarna-warni, makanan, buah pinang, hio (dupa), uang, dan lilin.
Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang menggunakan penanggalan kalender China. Penanggalan Masehi hanya digunakan untuk keperluan akademik misalnya untuk mahasiswa internasional (mahasiswa Thai tetap menggunakan tahun China) atau urusan keimigrasian, dan keperluan administrasi lainnya. Kalender China menggunakan referensi peredaran bulan terhadap bumi, di mana tanggal 1 jatuh pada bulan mati dan tanggal 15 pada bulan purnama penuh, seperti halnya kalender Hijriah. Berdasarkan penanggalan tersebut, perayaan Loy Khatrong jatuh pada bulan November menurut tahun Masehi. Festival akan dirayakan pada saat malam purnama pertama. Tahun ini, malam purnama pertama bertepatan pada tanggal 11 November.
MasyarakatThailand memercayai dewa selain Buddha. Salah satunya adalah dewa air. Sejarah Loy Khatrong sendiri berasal dari pemujaan terhadap dewa air yang dianggap telah mensejahterakan bumi dengan adanya air. Sebagai bentuk terima kasih terhadap dewa mereka, maka setahun sekali mereka mengadakan upacara Loy Khatrong ini. Upacara Loy Khatrong saat ini telah menjadi salah satu objek wisata yang sangat ditunggu-tunggu oleh turis maupun pelajar asing seperti saya. Kegiatan ini telah dimodifikasi sedemikian rupa hingga menarik untuk diikuti sejak sore hingga tengah malam.
Sebagai mahasiswa di tahun pertama, tentulah saya juga tidak ingin melewatkan kegiatan yang dirayakan oleh semua umat Buddha di Thailand. Sejak sore, saya sudah bersiap dengan kamera dan menunggu rombongan arak-arakan pawai Festival Loy Khatrong. Saya berbaur dengan orang-orang yang sama seperti saya; pendatang dengan menenteng kamera dan siap jeprat-jepret. Tidak ingin melewatkan setiap kesempatan.
Rombongan pawai yang saya maksud, tak lain dan tak bukan adalah semua mahasiswa, staf dan dosen Prince of Songla University (PSU), kecuali mahasiswa muslim. Setiap tahun, PSU selalu melaksanakan festival ini. Arak-arakan pawai ini berjalan beriringan sesuai fakultas masing-masing dengan membawa papan nama fakultas tersebut. Papan nama tersebut diusung oleh sepasang muda mudi mengenakan pakaian tradisional Thai. Selama pawai, setiap fakultas akan menampilkan berbagai aksi; tarian tradisioanal Thai, bernyanyi atau atraksi boneka. Yang menarik, pada setiap rombongan perwakilan fakultas, mereka membawa replika bunga teratai dan perahu yang besar, membawa tandu bunga teratai raksasa dan di dalamnya duduk dengan manis seorang perempuan cantik yang hari itu didaulat menjadi seorang putri. Tidak ada sejarah yang pasti tentang keberadaan ‘putri’ bunga teratai ini pada perayaan Loy Khatrong di waktu lampau. Beberapa orang Thai mengatakan pada saya, ini adalah salah satu bentuk modifikasi supaya festival terlihat lebih menarik. Putri-putri cantik ini ditandu oleh beberapa laki-laki (yang juga mahasiswa Thai PSU) sepanjang perjalanan pawai.
Semua rombongan pawai masing-masing fakultas berjalan di sepanjang jalan utama PSU menuju Pumpkin Building (Gedung Labu). Gedung ini memang berbentuk labu sehingga disebut gedung labu. Di samping gedung tersebut, terdapat sungai kecil buatan dan di situlah perayaan puncak akan dilaksanakan. Di sepanjang ruas jalan hingga menuju gedung labu, banyak penjual Khatrong dengan berbagai modifikasi. Meski dimodifikasi, Khatrong tetap dengan bentuk dasar, yaitu teratai dari daun pisang. Satu paket Khatrong dihargai sekitar 30-50 Baht (1 Baht kalikan ± Rp. 300) tergantung besar kecilnya dan ragam variasi isi di dalamnya. Masyarakat Thailand percaya, dengan menghanyutkan sebuah Khatrong, berarti keberkahan dari air sebagai sumber kehidupan telah didapatkan.
Pada malam hari, sebelum penghanyutan Khatrong, mereka berdoa terlebih dahulu di depan foto raja Thailand, Raja Bhumibol Adulyadej dengan membakar hio. Lalu, semua pernak-pernik Khatrong yang telah saya sebut di atas, dihanyutkan ke sungai, setelah setiap lilin yang berada dalam setiap Khatrong dinyalakan. Pada malam hari, pemandangan ini terlihat sangat menarik. Sungai menjadi penuh dengan banyak Khatrong (karena hampir setiap orang menghanyutkan satu Khatrong) dan memantulkan cahaya indah dari lilin yang menyala dalam Khatrong.
Fardelyn Hacky Irawani adalah seorang penulis dan sedang menempuh studi Master of Psychiatric Nursing, di Prince of Songkla University, Thailand.