SK KIP Aceh Diskriminatif

Harlan

Banda Aceh – Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (18/11) kembali akan menyidangkan perkara gugatan TA Khalid dan Fadhlullah (Pemohon) terhadap SK KIP tentang tahapan Pemilukada yang dinilai ilegal. Pihak pengacara pemohon, Mukhlis Mukhtar, SH dan Safaruddin, SH sudah menyiapkan konklusi (kesimpulan) yang menyebutkan tahapan Pemilukada melanggar Undang-undang serta diskriminatif.

Pengacara pemohon menyebutkan berdasarkan keterangan para saksi termasuk dari Pemerintah Aceh, KPU dan Kemendagri terbukti telah terjadi konflik regulasi, karena sampai saat ini belum adanya payung hukum pelaksanaan Pemilukada di Aceh. Qanun baru belum tuntas pembahasannya di tingkat eksekutif dan legislatif.

“Sementara qanun lama (No.7/2006) sudah tidak up to date lagi karena telah terjadi dua kali perubahan, dan perubahannya telah melebihi 50 persen substansi,” kata Safaruddin, SH dalam pernyataan yang diterima The Aceh Corner, Rabu (16/11).

Bukti-bukti yang diajukan pihaknya, kata dia, menunjukkan KIP sudah melanggar UUPA. SK KIP, misalnya, tidak berdasarkan UUPA Pasal 66 ayat (3) b, karena dimulainya tahapan Pemilukada Aceh bukan berdasarkan pemberitahuan DPRA (tanggal 18 Agustus 2011). “Tahapan Pemilukada Aceh telah dimulai sejak tanggal 12 Mei 2011, sesuai SK KIP No 1 tahun 2011 tanggal 12 Mei 2011 Jo Surat KPU Nomor 235/KPU/V/2011 tanggal 2 Mei 2011,” beber advokat dari Mukhlis Mukhtar, Safaruddin & Partner.

Selain itu, lanjut Safar, SK KIP tidak berpedoman pada UUPA pasal 66 ayat (6), tidak berpedoman kepada Qanun, melainkan berpedoman kepada SK KPU dan Undang-Undang umum lainnya yang dicampur aduk oleh termohon.

“Jadi jelas tahapan dan jadwal Pemilukada di Aceh ilegal. Qanun Pemilukada Aceh belum disepakati antara DPRA dan Gubernur Aceh,” simpul Safar.

Tak hanya itu, kata Mukhlis, selain melanggar undang-undang, SK KIP juga  sangat diskriminatif dan tidak logis. Mukhlis mencontohkan alokasi waktu 50 hari untuk calon Gubernur/Wakil Gubernur dari independen mendapatkan dukungan 3% dari jumlah penduduk sebagaimana perintah UUPA tidak mungkin dilakukan.

“Dengan jumlah 4.953.262 jumlah penduduk Aceh berarti seorang pasangan calon harus mengumpulkan 148.598 foto copy KTP, jadi keputusan KIP itu mustahil dilaksanakan,” jelas pengacara yang ikut menggolkan Calon Independen untuk Aceh.

Kondisi serupa juga terjadi pada alokasi waktu untuk Calon Independen dari partai Politik untuk mundur dari Partai. Ketentuan tersebut juga tidak logis.

“Karena menurut ketentuan pasal 33 ayat (1) C Qanun No 7 tahun 2006 Jo UUPA pasal 73, pendaftaran menurut SK KIP No 1 tahun 2011 adalah pada tanggal 30 Juli s/d 5 Agustus 2011, bila dikurang 3 bulan jatuh pada tanggal 30 April s/d 5 Mei 2011). Sedangkan SK KIP No 1 tahun 2011 diterbitkan pada tanggal 12 Mei 2011 dan diumumkan lewat media Serambi Indonesia tanggal 19 Mei 2011. Jelas tidak ada ruang waktu bagi calon Independen untuk mundur dari Partainya,” terangnya yang mengaku sangat yakin MK akan mengabulkan permohonan mereka. []