Libya Mengarah ke Syariah

Harlan

Tripoli (IPS) – PENETAPAN hukum Islam yang diumumkan di Libya pasca-Qaddafi mendapat penolakan dari perempuan, kaum nonreligius, dan minoritas Amazigh.

“Syariah berarti hidup penuh harmoni dengan hukum Allah, dan itu merupakan hal paling dasar bagi seorang Muslim,” ujar Ibrahim Mashdoub, imam Masjid al-Garamaldi di kota tua Tripoli.

Namun dia ragu menjawab pertanyaan lebih spesifik: “Haruskah perempuan menutup rambutnya? Bolehkah mereka menyetir? Akankah pencuri dipotong tangannya?…”

“Itulah masalah utama ketika membahas syariah. Setiap orang punya pendapat namun tak seorang pun benar-benar paham apa yang mereka bicarakan,” keluh Wail Mohammed, berusia 23 tahun, di sebuah kedai kopi trendi yang berjarak 50 meter dari Masjid al-Garamaldi.

“Model syariah apa yang akan kami pilih? Model Pakistan kah? Indonesia? Atau mungkin Iran?” tanya Mohammed, seorang penerjemah bahasa Inggris yang kini menganggur.

Namun para pemimpin seperti Syekh Omar Mukhtar, komandan militer di Bani Walid, wilayah yang merupakan benteng utama Qaddafi, punya pilihan sendiri.

“Semua rakyat Libya menginginkan syariah seperti halnya di Qatar atau UEA. Itu akan memberi kita kohesi yang negara ini butuhkan setelah perang,” ujar pemimpin militer dan suku itu kepada IPS, menggaungkan pidato para pemimpin Dewan Transisi Nasional (NTC) beberapa pekan terakhir.

Tak diragukan lagi bahwa syariah di Qatar –di mana perempuan diperbolehkan menyetir dan alkohol ditoleransi sampai batas tertentu– tampaknya paling populer di kalangan rakyat Libya. Namun banyak juga yang menentang konstitusi Libya di masa depan berakar pada Alquran.

“NTC hampir mengkriminalisasikan kami yang tak religius,” ujar Abdullah Zlitani, seorang pengacara terkemuka, di kantornya di bilangan Gargaresh di baratdaya ibukota Libya. “Mereka mencoba meyakinkan rakyat bahwa konstitusi non-Islami akan menganggu praktik keagamaan dan meningkatkan prostitusi –ini sangat keterlaluan.”

Bukan cuma orang Libya yang ateis atau agnostik macam Zlitani yang menganjurkan pemisahan antara negara dan agama. Fathi Buzakhar merupakan seorang Muslim yang memimpin Amazigh Congress of Libya, sebuah organisasi yang didirikan untuk melindungi hak-hak minoritas terbesar di Libya– sekira 10 persen dari enam juta penduduk.

“Pemisahan antara politik dan agama sangat penting untuk membangun sebuah negara demokratis, namun pemerintahan sementara Libya yang baru tampaknya melupakannya,” ujar Buzakhar dari tempat tinggalnya di Tripoli. Draft konstitusi yang dirilis Agustus lalu tidak mengakui rakyat dan bahasanya, ujarnya. Kelompok minoritas adalah korban dari kebijakan asimilasi brutal Gaddafi.

“Bukan hanya kita bukanlah Arab. Secara historis, kita menganut cabang yang lebih moderat dalam Islam, Ibadisme. Hampir semua imam dieksekusi Gaddafi sehingga Ibadisme merupakan simbol lain dari identitas kami,” ujar Buzakhar.

Perempuan Libya tampaknya cemas terhadap ketidakjelasan dari syariah namun hampir tak dapat dielakkan. Mereka bertanya-tanya apakah mereka harus “berbagi suami” begitu muncul pernyataan kontroversial dari Ketua NTC Mustafa Abduljalil tentang pengesahan poligami.

“Abduljalil sering mengatakan bahwa Libya akan mengadopsi hukum syariah –terakhir kali dia mengucapkannya di depan perwakilan tinggi urusan kebijakan luar negeri dan keamanan Uni Eropa, Catherine Ashton, 12 November. Namun keputusan ini haruslah diambil rakyat secara demokratis,” kata Asma Hassan, aktivis hak-hak sipil asal Tripoli.

Ada banyak versi syariah karena ada bias dalam menafsirkan Alquran, ujarnya. “Apakah kitab suci secara harfiah menyebutkan bahwa Anda boleh menikahi dua, tiga, atau bahkan empat perempuan, tapi kemudian menambahkan bahwa ‘itu tak akan adil’. Tampaknya kebanyakan orang di sini memutuskan untuk tak mempertimbangkan baris kedua itu.”

“Allah, Muammar, dan Libya” merupakan slogan resmi favorit selama lebih dari 40 tahun Gaddafi berkuasa. Libya praktis menjadi sebuah negara Islam konservatif di mana Islam dipraktikkan secara ketat selama masa Gaddafi. Bukan kebetulan bila Gaddafi menyebut buku wajib bacanya Green Book.

Pemilu tanggal 23 Oktober di negara tetangga Tunisia bisa jadi termometer dan katalisator bagi pemilu Libya yang dijadwalkan Juni 2012. Dengan 40 persen suara, koalisi Islam moderat Ennahda menang telak di Tunisia pada pemilu putaran pertama setelah “musim semi Arab”.

“Untuk saat ini, Islam moderat mungkin merupakan satu-satunya pilihan bagi Libya untuk mengatasi kekacauan yang meningkat di negeri tersebut,” kata Santiago Alba Rico, penulis dan analis politik yang berbasis di Tunisia selama 12 tahun terakhir, kepada IPS.

“Meski punya kelemahan, demokrasi Islami di Libya tetap akan jauh lebih maju dibandingkan kediktatoran Gaddafi, juga pendekatan paling realistis terhadap bentrokan terus-menerus antarmilisi.”[Karlos Zurutuza]

Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di The Aceh Corner atas izin Yayasan Pantau.