Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, Rabu (24/11) memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk melanjutkan tahapan Pilkada sesuai jadwal yang telah dibuat. Menurut MK, calon perseorangan tidak bertentangan Undang-Undang Dasar 1945 dan MoU Helsinki.
Pendapat MK soal calon perseorangan dan Pilkada Aceh mengutip MoU Helsinki.
….dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUUV/2007 bertanggal 23 Juli 2007, pada tahun 2008 diundangkan UU 12/2008 yang diantara materi yang diaturnya mengimplementasikan Putusan Mahkamah a quo mengenai calon perseorangan; Meskipun UU 11/2006 maupun Qanun 7/2006 membatasi calon perseorangan hanya untuk pemilihan kepala daerah tahun 2006 saja, hal demikian tidaklah berarti bahwa rakyat Aceh hanya berhak satu kali saja untuk mencalonkan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah.
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 bertanggal 30 Desember 2010, calon perseorangan yang semula diperbolehkan hanya satu kali saja, yaitu pada pemilihan kepala daerah tahun 2006, menjadi diberlakukan untuk pemilihan pemilihan kepala daerah setelahnya; Mahkamah berpendapat bahwa Putusan a quo tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat Aceh sebagaimana telah dituangkan dalam Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement (Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 (selanjutnya disebut MoU Helsinki).
Mou Helsinki justru memperkuat 34 kehendak masyarakat Aceh, karena MoU Helsinki menyatakan bahwa, ”The parties commit themselves to creating conditions within which the government of the Acehnese people can manifested through a fair and democratic process within the unitary state and constitution of the Republic of Indonesia (Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia)”. (vide alinea ke-2 MoU);
Bahkan secara jelas dinyatakan dalam angka 1.2.2 MoU Helsinki tentang Political Participation, yaitu ”Upon the signature of this MoU, the people of Aceh will have the right to nominate candidates for the position of all elected officials to contest the elections in Aceh in April 2006 and thereafter (Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan setelahnya)”.
Dengan demikian, diperbolehkannya calon perseorangan tidak bertentangan sama sekali dengan isi MoU Helsinki, bahkan memperkuat isi MoU tersebut dalam rangka demokratisasi; [3.9.3] Bahwa dengan demikian menurut Mahkamah adalah tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa menurut MoU Helsinki calon perseorangan untuk semua pemilihan kepala daerah di Aceh hanya berlaku satu kali, sebab dari dua butir kesepahaman MoU Helsinki tampak jelas bahwa calon perseorangan diperbolehkan.
Dengan demikian hak rakyat Aceh untuk memilih calon perseorangan diberikan untuk pemilihan bulan April 2006 dan setelahnya (thereafter), tidak hanya untuk satu kali saja. Dalam Penjelasan Umum UU 11/2006, antara lain, dinyatakan, “Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 menandakan kilas baru sejarah Provinsi Aceh dan kehidupan masyarakatnya menuju keadaan yang damai, adil, makmur sejahtera, dan bermartabat.
Hal yang patut dipahami bahwa Nota Kesepahaman adalah suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. … Undang-Undang ini mengatur dengan tegas bahwa Pemerintahan Aceh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan Undang-Undang ini merupakan subsistem dalam sistem 35 pemerintahan secara nasional.”
Dengan demikian, Mahkamah berpendapat pelaksanaan butir 1.2.2 MoU Helsinki yang memberikan hak kepada rakyat Aceh untuk mengajukan calon perseorangan adalah dalam rangka rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. Artinya, adanya calon perseorangan adalah merealisasi maksud MoU Helsinki dan tidak sedikit pun bertentangan dengannya.
Kenyataan bahwa UU 11/2006 dan Qanun 7/2006 yang memberikan kesempatan kepada rakyat Aceh untuk memilih calon perseorangan hanya pada pemilihan kepala daerah pada 2006, justru tidak memberikan hak kepada rakyat Aceh secara penuh sebagaimana dituangkan dalam MoU Helsinki. Calon perseorangan di Aceh tidak bertentangan dengan MoU Helsinki serta telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-VIII/2010 bertanggal 30 Desember 2010 tentang calon perseorangan pada Pemilukada di Aceh; []