Banda Aceh – Perempuan Aceh harus memperkuat kapasitas pribadi maupun kolektif dalam menghadapi persaingan diera global, dan harus berani melakukan hal-hal besar, dengan membangun poros baru, seperti poros sosial, ekonomi, budaya, dan poros politik.
“Sewaktu konflik, perempuan-perempuan Aceh banyak menjadi aktivis kemanusiaan, aktivis Pergerakan, bahkan menggantikan peran suami sebagai tulang punggung keluarga, karena laki-laki lari menyelamatkan diri dan memanggul senjata di hutan,” kata Rahmatan, aktivis Liga Inong Aceh (LINA) dalam diskusi publik yang bertajuk “Melawan dengan Damai”, di warung kopi 3 ins 1 Coffe lantai 2, Lampineung, Banda Aceh, Rabu (14/12) sore .
“Cut Nur Asikin merupakan leader perempuan Aceh dalam pergerakan, seperti halnya Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati dan beberapa perempuan Aceh Masa silam, ini lah wanita Aceh kelas dunia yang bisa dicontoh”, sambung pemateri dari LINA itu.
Pemateri lain, Delfy Roni, mahasiswa doktoral program Resolusi konflik, Universitas Helsinky itu mengatakan, “dalam kondisi damai seperti saat ini, perempuan Aceh harus berani berbuat dan melakukan hal-hal yang besar, yaitu membangun poros baru, seperti poros sosial, ekonomi, budaya, dan poros politik. Perempuan Aceh juga harus memperkuat kapasitas pribadi maupun kolektif dalam menghadapi persaingan di era Global ini.
Ia mencontohkan, tiga wanita peraih Nobel Perdamaian 2011, yaitu Ellen Johnson Sirleaf, Presiden Liberia; Leymah Gbowee, aktivis perdamaian dari Liberia; dan Tawakkol Karman, aktivis pro-demokrasi dari Yaman. “Mereka melakukan gerakan perubahan yang Universal, dan berani dengan segala resiko,” tutupnya.
Puluhan Peserta hadir dalam acara yang diadakan LINA tersebut, sebagian besar adalah mahasiswi dan aktivis perempuan. []