Jakarta – Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menarik gugatan soal sengketa kewenangan terhadap KIP Aceh ke MK, Kamis (15/12) mendapat perhatian dari mantan Ketua Pansus Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Ferry Mursyidan Baldan. Langkah tersebut, kata Ferry, menunjukkan kematangan politik parlemen Aceh.
“Langkah tersebut harus diapresiasi dan dihormati, karena mencerminkan kematangan politik DPRA, sekaligus sebagai komitmen DPRA untuk mengawal Aceh damai melalui Otonomi Khusus,” kata Ferry Mursyidan Baldan dalam pertanyaan yang diterima AcehCorner.Com, Jumat (16/12).
Menurut Ferry, upaya DPRA tersebut agar potensi kontraksi antara Aceh-Pusat tidak semakin berkembang dan berlanjut, terlebih setelah adanya putusan MK yang dimaknai sebagai sebuah peristiwa menang-kalah.
“Peringatan MK yang tertuang dalam konsideran pada putusan sela pada perkara yang diajukan TA Khalid, harusnya menjadi renungan. Dalam pertimbangan tersebut, MK menyatakan bahwa telah terjadi ‘ketidak pastian hukum’ dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh,” jelas politisi nasional kelahiran Aceh ini.
Sebagai pelaksana Pilkada Aceh, lanjut Ferry, KIP harus memiliki kesadaran tentang kekhususan, jangan sekedar dan melulu menegaskan sebagai bagian dari KPU Pusat. Menurutnya, hal itu hanya bisa dilakukan oleh KIP untuk pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, sebagaimana di atur dalam UU.
“Sementara dalam konteks Pilkada, KIP semestinya berpedoman pada UUPA, yakni bahwa dalam pelaksanaan Pilkada tetaplah berdasarkan Qanun, sebagaimana diamanatkan oleh UUPA,” jelasnya.
Apalagi, kata Ferry, Qanun berisi penjabaran lebih lanjut pengaturan Pilkada berdasarkan kekhususan, dan pemuatan norma yang tidak tercantum dalam UUPA, sepanjang tidak bertentangan dengan substansi UUPA.
“Mengapa UUPA memuat penegasan tentang Qanun sebagai dasar pelaksanaan Pilkada di Aceh? Hal ini dikarenakan agar pelaksanaan Pilkada tetap sebagai bagian dalam rangka rekonsiliasi dan re-integrasi masyarakat Aceh, karena pelaksanaan Pilkada di Aceh mengacu pada satu aturan main. Ini penting, supaya pelaksanaan Pilkada di Aceh melahirkan kontradiksi pasal UU, karena masing-masing pihak menggunakan pasal UU yang membenarkan pendapatnya dan Pilkada di Aceh bukan ajang yang masing-masing pihak bebas sebebas-bebasnya mengutip pasal UU,” jelas Ferry.
Itulah mengapa, katanya, Pilkada di Aceh harus dilaksanakan berdasar Qanun (baru), agar semua ketentuan dalam UUPA atau UU lain yang tidak bertentangan dapat dimuat dalam satu ketentuan hukum pelaksanaan Pilkada, yakni Qanun.
“Dengan adanya satu ketentuan tersebut, maka pelaksanaan Pilkada di Aceh dapat berlangsung sebagai bagian dari penguatan perdamaian di Aceh yang baru berlangsung 5 tahun,” tambahnya lagi.
KIP Aceh Harus Jaga Semangat Rekonsiliasi
Mengenai KIP Aceh, Ferry mengatakan, KIP di Aceh harus memiliki semangat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap lembaga penyelenggara Pemilihan di Aceh, khususnya dalam Pilkada. Dengan adanya pengaturan kekhususan tersebut, maka sangat jelas tentang peran KIP dalam konteks pelaksanaan Pilkada sebagai instrumen yang harus menjaga semangat rekonsiliasi di Aceh.
Lanjutnya, setelah langkah kedewasaan politik diambil oleh DPRA, maka sebagai pelaksana Pilkada di Aceh, hendaknya KIP mempunyai kesadaran, bahwa pelaksanaan Pilkada mutlak memerlukan pengaturan dalam Qanun (baru).
“Hal ini sekaligus menegaskan, konsistensi terhadap UUPA, karena jika pelaksanaan Pilkada diselenggarakan dengan kutip sana kutip sini pasal UU, maka potensi ‘konflik regulasi’ semakin mengemuka dan akan membuktikan bahwa UUPA yang memberi kekhususan, toh tidak juga jadi acuan dalam penyelenggaraan Pilkada di Aceh. Dan, terkesan KIP Aceh hanya merujuk UUPA karena mengatur jumlah yang lebih saja dibanding KPU Provinsi lain,” paparnya.
Kata Fery, UUPA memang belumlah sempurna dan bisa direvisi kapanpun. “Namun, sepanjang UUPA belum direvisi, maka pengabaian terhadap UUPA hanya akan mendatangkan penerapan kebijakan yang mereduksi kekhususan secara perlahan dan pasti,” demikian Ferry Mursyidan Baldan.[]