Saya beruntung diberi kesempatan bertemu dengan teman-teman di sebuah organisasi kepenulisan dan pengkaderan penulis-penulis muda di Aceh. Saya mendapat banyak ilmu yang tak hanya ilmu menulis. Saya mendapat pencerahan tentang kebaikan, persahabatan, dan sebuah ikatan kekeluargaan yang tak saya dapatkan di tempat lain. Terutama jika mengingat sosok perempuan yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini. Meski ada banyak pihak yang telah memberikan banyak andil terhadap perubahan hidup saya, tapi ijinkan saya untuk menuliskan beberapa paragraf tentang dia tanpa mengabaikan pihak lainnya.
Pada suatu kesempatan, saya mengikuti sebuah pelatihan menulis yang diadakan oleh sebuah organisasi kepenulisan. Oh, acara itu lebih tepatnya sebagai sarana perekrutan kader-kader baru dan diharapkan ada dari kader-kader itu yang kelak menjadi penulis. Dan hari itu pula saya bertemu dengan dia. Sosoknya yang bersahaja dengan tuturnya yang lemah lembut pada pertemuan hari itu, membuat kami, para peserta pelatihan ingin mengenal dia lebih jauh. Saya agak ketinggalan berita saat itu. Saya baru tahu kalau ternyata dia adalah penulis beberapa buku. Panitia memperlihatkan beberapa bukunya kepada kami dan memberitahu kami bahwa perempuan berjilbab abu-abu dengan kacamata besar di depan kami itu adalah penulis beberapa buku yang diperlihatkan kepada kami tadi. Oh, jadi dia penulis? Hebat sekali. Begitu batin saya. Dulu, dalam pikiran lugu saya, penulis itu tentulah seorang public figure. Bukunya dibicarakan di mana-mana, namanya apalagi. Pokoknya terkenal-lah. Tapi kenapa kok saya tidak mengenal dia, ya? Di kemudian hari saya tahu, bahwa menulis baginya adalah ibadah, bukan karena ingin terkenal.
Tidak ada rasa minder karena kami masih pemula sementara dia sudah mempunyai beberapa buku –kumpulan cerpen, novel dan antologi bersama. Dia bercerita tentang awal terjun ke dunia menulis dan kami bertanya banyak hal tentang proses kreatifnya.
“Sejak kecil saya suka mengarang cerita. Beberapa kali mengirim tapi baru dimuat waktu saya duduk di kelas I MAN.”
Katanya, meski cerpen pertamanya itu dimuat di harian lokal di Aceh, tapi hal itulah yang kemudian menjadi pemicu semangatnya untuk terus mengarang cerita. Dia kemudian mencoba mengirimkan cerita-ceritanya ke media nasional.
“Saya rasa cerpen saya ditolak. Soalnya saya selalu membeli majalah itu dan cerpen saya tidak pernah dimuat. Saya kirim lagi. Ditolak lagi. Barulah empat tahun kemudian cerpen yang saya tulis dalam bahasa Inggris dimuat untuk pertama kalinya di majalah itu. Sejak itulah saya semakin sering mengirim cerpen dan semakin sering pula dimuat.”
Oh, empat tahun? Bisa dibayangkan berapa lama penantiannya? Barangkali jika dia tidak memiliki tekad yang kuat, dia akan putus asa dan berhenti sampai di situ. Berhenti berkarya apalah lagi untuk mengirimkannya. Tapi tidaklah demikian dengan dia. Selama kurun waktu itu dia terus menulis cerita tanpa henti-henti.
Hubungan saya dengan dia kemudian menjadi lebih dekat setelah dia dipilih oleh panitia yang membuat acara tersebut untuk membimbing saya. Dari acara tersebut memang diharapkan ada follow up untuk peserta. Tak sekadar diskusi lalu berhenti sampai di situ. Beruntung saya ‘diserahkan’ ke dia karena ternyata saya cukup ‘masuk’ dengannya. Maksud saya, saya dengan dia adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Dia, jika bertutur sangat halus dan berhati-hati, lembut, tidak meledak-meledak dan cenderung tidak banyak omong. Sementara saya adalah kebalikan dari semua saya yang tuliskan tentang dia.
Dia memiliki putra kembar balita dan sedang lucu-lucunya. Dan yang pasti, sedang aktif-aktifnya. Maksud saya, benar-benar aktif. Pada awal-awal pertemuan, kami masih memanfaatkan sebuah ruangan organisasi tersebut sebagai tempat pertemuan rutin. Tapi berhubung dia cukup direpotkan dengan ‘keaktifan’ putra kembarnya itu, kami pun berpindah tempat ke rumahnya. Kami sering menghabiskan waktu berdiskusi tentang apa saja. Tentang buku dan cerita-cerita yang harus saya tuliskan saat mendapat tugas darinya. Saya menulis cerita, lalu dia mengoreksinya. Tak jarang saat saya ke rumahnya untuk dibimbing dan meminta cerpen saya dikoreksi, saya harus bersabar terlebih dahulu. Si kembar merengek minta dibuatkan susu atau minta digendong. Saya tak keberatan menggendong mereka atau mengajak mereka bermain. Jika saya kembali mengajak Ummi mereka berbicara atau duduk manis di dekat saya, si kembar mulai buat ‘aksi’. Yang satu bergantung di leher umminya hingga membuat umminya nyaris tercekik, satunya lagi menarik-narik jilbab umminya. Lain waktu, yang satu tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke pangkuan umminya, satunya lagi tiba-tiba menangis. Saya juga tak kurang kena imbasnya. Puas menarik-narik jilbab umminya, lalu menarik-narik jilbab saya, atau mencoret-coret cerpen yang sudah saya ketik dengan cantik dan saya print di rental dengan susah payah, menumpahkan susu di rok saya, mengambil tas saya dan mengeluarkan semua isinya, dan sederetan tingkah polah anak-anak lainnya. Sepertinya putra kembarnya merasa cemburu jika si ibu lebih banyak berbicara dengan saya daripada dengan mereka. Saya yang kesal, dia tidak. Dia begitu sabar dan welas asih terhadap anak-anaknya. Tak pernah sekalipun saya dengar dia memarahi anaknya, mengatakan anaknya kenapa kok bandel lah atau menunjukkan raut kesal dan kelelahan.
Waktu bergulir seiring seringnya pertemuan kami. Saya ingat saya pernah diberi tugas menuliskan kembali cerita yang pernah dibuatnya tapi hilang entah ke mana. Katanya dia malas untuk menuliskan cerita itu lagi. Pada saya, dia berjanji akan memberi hadiah buku jika mampu menuliskan kembali cerita dari ide yang sama dengan cerita yang pernah dibuatnya tapi dengan versi berbeda. Maka saya pun mencoba membuat cerita yang dia inginkan. Butuh waktu lama bagi saya untuk menyelesaikannya. Ide yang sudah ada saja masih sulit saya tuliskan apalagi tugas tersebut, yang notabene bukan ide saya. Tapi entah kenapa akhirnya saya berhasil juga mengerjakan tugas darinya. Motivasi pertama, saya ingin mendapat buku gratis dan kedua saya ingin memperlihatkan padanya bahwa SAYA BISA. Dan saya mendapat hadiah sebuah buku karangan Hernowo (saya lupa judulnya karena buku itu sudah disapu tsunami).
Dia bercerita bahwa dia bukan seorang pengarang yang mampu menghasilkan cerita hebat dalam waktu singkat. Dia juga bukan pembaca cepat yang mampu ‘melahap’ beberapa buku dalam sebulan. Baginya tak ada aturan dia harus harus menyelesaikan sejumlah tulisan dalam waktu sebulan dua bulan atau harus selesai membaca beberapa buku dalam waktu singkat. Tak ada patokan waktu yang penting tetap terus menulis, menulis dan menulis, kecuali jika ada orderan dari penerbit yang meminta karya-karyanya segera dibukukan.
Barangkali karyanya tidak sehebat karya para penyair atau sastrawan yang selalu diperbincangkan atau diperdebatkan. Dia selalu berkata bahwa dia menulis untuk berdakwah. Untuk menyampaikan kebenaran. Seperti motto hidupnya “Dakwah bil Kalam”.
Dia adalah seorang istri, ibu rumah tangga dengan dua putra kembar, perempuan yang bersahaja dan sederhana, tidak pernah bersolek, tidak begitu terkenal layaknya pengarang cerita, tapi dia adalah wanita mulia. Dia hanya seorang perempuan sederhana dengan tulisan-tulisannya yang juga sederhana.
“Setelah kita mati, ada tiga hal yang akan terus mengalir. Doa anak yang saleh, ilmu yang bermanfaat dan amal jariah. Sebagai penulis, maka menulislah yang baik-baik, dan yang membuat orang ingin berbuat kebaikan setelah membaca tulisan kita. Maka itulah yang akan menjadi amal jariah kelak jika si penulis telah meninggalkan dunia ini.” Sungguh hal itu yang selalu diulang-ulangnya pada saya atau pada teman-teman lainnya dalam sebuah forum diskusi. Karyanya memang sarat dengan nuansa dakwah. Tentang nilai-nilai Islam, tentang hidayah dan pencerahan. Itu adalah pilihannya. Memilih akan meninggalkan jejak-jejak pena jika kelak dia meninggalkan dunia ini.
Dan kini, dia telah pergi. 26 Desember 2004, tsunami mengambilya dan putra kembarnya. Rumahnya termasuk kawasan yang hebat diterjang gelombang tsunami. Saya mendengar kabar itu dari jauh.
“Kak Diana Roswita telah tiada. Dia syahid bersama putra kembarnya.”
Saya, kawan saya, dan kita semua kehilangan seorang teman, kakak, adik dan juga guru. Dia telah pergi. Tapi dia selalu ada di hati saya, kawan saya dan kita semua. Selamat jalan kak Diana Roswita. []