Protein Ilegal bagi Si Miskin, Sajian Lezat bagi Si Kaya

Harlan

Bajo Xingu (IPS) – “BANYAK orang berbohong” mengenai praktik lazim perburuan kura-kura untuk dimakan atau dijual, ujar seorang pria yang terkenal berkat kemampuannya sebagai nelayan. Dia tinggal di tepi sungai Xingu, utara kawasan hutan Amazon di Brazil.

Dia bisa jadi contoh apa risikonya jika terlibat dalam penangkapan kura-kura ilegal. Dia pernah didenda 45.000 real (sekira Rp 200 juta), jumlah yang sangat besar bagi penduduk lokal, oleh otoritas lingkungan.

Pada peristiwa terakhir, dia didenda karena menangkap delapan kura-kura raksasa (Podocnemis expansa) di sungai Amazon. “Hanya [mengambil] lima dari mereka. Saya melepaskan dua ekor yang kecil dan makan tiga ekor, tapi mereka mendenda saya untuk delapan ekor,” katanya, mengeluh.

Untuk membayar denda tinggi itu, nelayan tersebut, yang menginginkan namanya tetap anonim, harus mengandalkan pendapatan dari mengekstraksi lateks, yang dipakai guna bikin karet alam, dari pohon karet (Havea brasiliensis) yang tumbuh melimpah di hutan Bajo Xingu.

UU Brazil melarang penangkapan kura-kura dan telurnya; kecuali oleh masyarakat adat di dalam wilayah mereka. Tapi UU itu kurang menyadari kebutuhan hidup masyarakat tradisional di tepi sungai dan keturunan budak-budak Afrika yang berburu untuk penghidupan (subsisten). Para pelanggar dijerat denda berat dan sesekali bahkan ditangkap.

Ini tak rasional dan tak adil, ujar ahli biologi Juarez Pezzuti, profesor di Federal University of Pará, utara wilayah hutanAmazon.

Masyarakat tepi sungai yang miskin menghadapi hukuman kejam untuk kegiatan subsisten tradisional mereka, yang tak begitu mengancam kelangsungan kura-kura bila dibandingkan perburuan komersial, ujarnya. Dia menambahkan, pada saat yang sama penangkapan spesies yang benar-benar terancam punah ditoleransi.

Malahan, sejak 1992, budidaya dua spesies kura-kura yang paling sering dikonsumsi manusia, yakni kura-kura raksasa Amazon dan tracajá atau kura-kura sungai berbintik-bintik kuning (Podocnemis unifilis) didorong untuk memasok restoran yang punya izin untuk menawarkan daging kura-kura kepada pelanggan.

Melalui Proyek Kura-kura Amazon, otoritas lingkungan nasional Brazil, IBAMA, mengumpulkan dan melindungi jutaan tukik (anak kura-kura) di minggu pertama mereka lahir sebelum melepaskan mereka ke sungai. Gunanya mencegah pengrusakan dan pencurian di pantai saat mereka menetas.

Namun proyek itu justru menyumbang hingga 10 persen dari tukik ke peternak kura-kura yang diakui secara resmi. Dalam kasus kura-kura tracajásampai 20 persen tukik akan berpindahtangan.

Ratusan pembudidayaan kura-kura bermunculan tanpa mengurangi perburuan dan perdagangan ilegal. Dari fakta-fakta yang diketahui menunjukkan bahwa sedikit atau tak ada sama sekali yang dicapai dari tujuan itu: pemulihan tingkat reproduksi dan penurunan risiko kepunahan.

Pembudidayaan kura-kura untuk bisnis restoran harus dilarang karena menyerahkannya ke sektor swasta. Padahal konstitusi menetapkan fauna liar itu sebagai milik umum yang tak dapat diambil tanpa izin, kata Pezzuti.

Para peternak kura-kura swasta harus diperlakukan berbeda dari penduduk tepi sungai Amazon, yang memiliki perbedaan kelas secara nyata. Kura-kura budidaya disajikan sebagai hidangan langka nan lezat bagi para pelanggan restoran mewah, sementara hukum menindak keras para pemburu kecil-kecilan.

Dan ada jenis diskriminasi lainnya. Daging kura-kura yang diproduksi dengan teknik budidaya peternakan, di mana kura-kura diambil dari habitatnya dan digemukkan di penangkaran dalam kolam buatan, diberi status legal –tidak seperti kura-kura yang diburu di alam liar– atau meningkatkan jumlah kura-kura di habitat alami mereka.

Mengubah UU, yang gagal mengakui perburuan kura-kura secara subsisten sehingga memungkinkan mereka mendapatkan makanan secara berkelanjutan, akan menjadi langkah penting menuju konservasi yang jauh lebih efektif terhadap kura-kura dan satwa liar lain, ujar Pezzuti.

Dia juga berkata penegakan hukum telah gagal, karena mustahil mengerahkan cukup pengawas di wilayah Amazon yang luas. Dia menunjuk contoh sukses manajemen partisipatif di Kosta Rika dan Ekuador, yang memanfaatkan telur kura-kura dari sarang yang terinjak betina lain, menghadapi risiko luapan air sungai.

Larangan perburuan kura-kura menghalangi pengumpulan data statistik terpercaya, menempatkan penduduk lokal pada posisi berhadap-hadapan dengan otoritas lingkungan, dan menghambat integrasi antara pengetahuan tradisional dan akademik sehingga merusak manajemen yang efektif, ujar profesor biologi itu.

Untuk melindungi dan bahkan meningkatkan populasi kura-kura di hutan Amazon, Pezzuti mengusulkan agar melibatkan masyarakat tepi sungai sebagai partisipan dalam manajemen mereka. Ada inisiatif masyarakat yang berhasil memulihkan populasi spesies ini. Tapi bila penduduk dilarang menikmati hasilnya secara legal, kohesi dan manajemen jangka panjang pun melemah, katanya.

Sebagian besar telur kura-kura yang diletakkan di pantai-pantai di area seperti Tabuleiro do Embaubal, terbentang lebih dari 100 pulau yang berakhir di sungai Xingu, tak pernah menetas akibat banjir, suhu berlebihan, dan penyebab lainnya.

Pengumpulan selektif yang terkontrol atas telur kura-kura dari sarang yang paling rentang takkan mempengaruhi reproduksi kura-kura, kata Pezzuti.

Kura-kura adalah hewan peternak produktif, meletakkan telur lebih dari 100 ekor di sarangnya, sebuah strategi reproduksi untuk menjamin kelangsungan spesies ini dalam menghadapi kematian massal dari faktor dan musuh alami seperti burung camar, burung bangkai, reptil lainnya, dan ikan.

Cuma sebagian kecil tukik yang mencapai usia dewasa. Tapi situasi ini dapat mendukung manajemen: mengambil beberapa langkah hati-hati untuk menghindari kerugian akibat pembinasaan dan memastikan reproduksi cepat dari spesies itu.

Selama tiga dekade terakhir, Proyek Kura-kura Amazon IBAMA telah menunjukkan keberhasilan praktik ini dengan melindungi sarang kura-kura serta mengumpulkan dan membesarkan tukik, yang membantu mereka bertahan hidup hingga dilepaskan ke alam liar. Pembinasaan di pantai telah berkurang dan populasi kura-kura kembali sudah di sebagian besar hutan hujan.

Bagi penduduk miskin di tepi sungai, daging dan telur kura-kura Amazon merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan.

Sebuah survey tahun 2007 oleh Maria de Jesus Rodrigues, profesor di Federal Rural University of Amazonia, dan Luciane de Moura, insinyur perikanan, menemukan daging kura-kura liar mengandung protein sangat tinggi: 79 persen dari berat kering, jauh lebih tinggi ketimbang daging sapi atau kura-kura hasil budidaya.

Namun mengubah hukum juga sulit. Mereka yang mendukung reformasi tersebar dan tak terorganisasi, berbeda dari gelombang-pasang aktivis lingkungan yang takkan ragu menentang pengendoran larangan. Dan hukum kejahatan lingungan, yang memperberat hukuman, relatif baru diberlakukan, pada 1998. [Mario Osava]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di AcehCorner.Com atas izin Yayasan Pantau.