Oleh Azwir Nazar
Mengenali calon pemilih berikut karakternya secara sosial maupun budaya sangat penting dalam sebuah pesta demokrasi. Ini akan berguna bagi para kandidat untuk menang. Selanjutnya menjadi salah satu basis acuan ilmiah merumuskan strategi pemenangan seorang kandidat atau partai. Berikut pola pendekatan apa yang cocok untuk digunakan.
Dengan demikian, kita akan mengetahui apa yang menjadi faktor atau latar belakang seseorang atau sebuah masyarakat memilih ‘jagoan’-nya dalam pemilu. Dalam sistem demokrasi semua yang memenuhi syarat memiliki hak memilih dan dipilih. Tentu, yang dipilih adalah yang layak dalam pandangan pemilih tersebut. Prilaku pemilih seseorang dipengaruhi oleh dua hal penting. Pertama nilai (values) yang dianut dan kedua adalah informasi yang diperoleh. Informasi menambah pengetahuan khalayak lalu membentuk prilaku.
Voting bahavior
Dalam komunikasi politik, studi yang mempelajari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya dalam sebuah pemilihan umum itu disebut ‘voting behavior’. Prilaku memilih ini tidak saja menjadi berguna bagi kaum politisi. Tapi, juga menjadi kajian dalam ranah ilmu komunikasi, psikologi dan juga sosiologi. Bagi para ilmuan, studi mengenai prilaku ini menjadi ‘exercise’ untuk menemukan hal-hal baru.
Dalam dunia modern media memainkan peran penting untuk merubah prilaku pemilih. Meski dalam studi prilaku pemilih komunikasi media hanya mempengaruhi persepsi, bukan prilaku. Namun, bila sebuah informasi yang disajikan terus menerus dan berulang-ulang, lambat laun akan juga mempengaruhi prilaku. Ianya akan menempel di kepala khalayak. Makanya, seorang perencana komunikasi berusaha keras merancang sebuah komunikasi sehingga “message” yang disampaikan seolah menjadi sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Seolah menempatkan adanya power relations dalam komunikasi. Jadi, ada identitas tertentu yang ditempelkan pada seseorang untuk menciptakan atau membentuk pesan sehingga diperhatikan oleh masyarakat.
Tiga pendekatan
Kita bisa melihat prilaku pemilih ini melalui tiga pendekatan. Pertama, pendekatan sosiologis, umumnya yang menentukan pilihan adalah kelompok sosial yang mempengaruhi individu untuk memilih. Baik besar maupun kecil. Misalnya agama dan asal usul kandidat. Di Amerika saja, Negara yang demokrasi-nya sudah maju, berdasarkan sejumlah penelitian, masih ada prilaku pemilih yang mendasarkan pada warna kulit, ras, atau agama. Kelompok sosial cenderung mempengaruhi aggotanya untuk memilih calon tertentu.
Memang, prilaku politik itu kadang sangat aneh. Karena pilihan politik itu abstrak. Beda dengan prilaku konsumen. Kalau prilaku konsumen seseorang akan langsung mengetahui manfaat tatkala dia memilih sesuatu produk. Dan itu menyangkut kebutuhan sehari-harinya.
Kedua, pendekatan psikologis. Yakni cara memilih sebuah partai/kandidat oleh faktor psikologis karena pengaruh luar, bukan dari dirinya. Pendekatan ini memilih dalam pemilu berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ditentukan oleh faktor psikologis.
Wllliam Liddle dan Saiful Mujani mengklasifikasi pada tiga faktor. Pertama, Party Identification (Party ID), yaitu kecenderungan pemilih karena memiliki kedekatan psikologis dengan partai tertentu. Seseorang merasa dekat kerena pergaulan sosial. Biasanya pertama dibentuk oleh keluarga. Disini fungsi keluarga sebagai agent of socialization sangat mumpuni. Semakin orang tua menjadi idola, maka semakin kuatlah pengaruh orang tua tersebut terhadap dirinya. Dia yakin dan percaya karena berkembang dalam keluarganya bahwa partai tertentu itu baik atau layak dipilih. Jadi, dia tidak perlu lagi mendapatkan atau mencari informasi tentang partai tersebut.
Kedua, orientasi isu. Kedekatan seseorang oleh isu tertentu. Seseorang tidak mengerti betul dengan isu tersebut. Tapi dia menarik. Misalnya, isu neo-liberalisme, mereka langsung tidak setuju dan menolak. Walau bila ditanya seseorang itu tidak mengerti benar apa isu itu. Karena tidak diketahui berdasarkan informasi yang dia peroleh.
Ketiga, orientasi calon. Orang memilih bukan karena karya atau prestasi seorang calon. Tapi lebih karena kharisma. Orientasi calon ini lebih melihat siapa dia, atau anak siapa. Tidak mendalami atau perlu tahu bagaimana prestasi dan ‘track record’-nya selama ini. Anehnya, malah ada yang memilih bukan karena sosok kandidat, tapi karena orang tuanya. Seperti orang yang memilih Megawati, karena ayahnya Soekarno, bukan dirinya.
Pendekatan ketiga adalah pendekatan rasional (rational choice). Yaitu cara memilih berdasarkan informasi tentang apa dan siapa partai atau kandidat tersebut. Jadi, ada keingintahuan pemilih apakah sang kandidat itu sesuai atau tidak dengan keinginannya. Demokrasi mengharapkan orang memilih secara rasional. Supaya yang dipilih itu benar-benar layak. Layak disini adalah mampu. Dalam arti punya kemampuan memimpin dan mengelola pemerintahan menurut pandangan pemilih. Demokrasi mengharapkan rakyatlah yang menyeleksi siapa calon yang berhak dipilih.
Dan obsesi demokrasi mengharapkan para pemilih mengetahui informasi tentang partai atau kandidat.
Pendekatan rasional ini sangat mahal dan sulit. Tapi, itulah yang ideal dalam kacamata demokrasi. Kalau bisa berjalan dan berlaku, maka kualitas orang yang dipilih akan lebih bagus. Bisa kita katakan semacam fit and propertes¬-lah. Dan rakyatlah sebagai electorate yang menentukan sebuah partai atau kandidat untuk menang.
Memang tekanan sosial maupun psikologis sangat mempengaruhi dalam pemilu. Maka, pemilu yang ada belum mampu menghasilkan pejabat yang berkualitas. Ditengah kondisi masyarakat yang sangat butuh akan pemimpin yang capable untuk berbuat dan memikirkan kepentingan rakyat yang makin kompleks.
Disinilah peran dan fungsi kampanye dalam komunikasi politik. Tapi, perlu diingat tujuan komunikasi hakikatnya adalah merubah prilaku secara persuasif. Persuasif dipahami sebagai rayuan atau himbaun. Karena hubungan komunikan dengan komunitor adalah hubungan yang setara.
Makanya, menurut Prof Maswadi Rauf, dua hal yang akan menghambat atau mementahkan teori voting Behavior ini adalah paksaan memilih dan money politik. Keduanya adalah tindakan tercela. Selain mengingkari satu dasar dari demokrasi yaitu hak individu yang bebas, juga akan berdampak pada kualitas pemimpin yang dihasilkan dalam sebuah pemilu atau pilkada.
Azwir Nazar adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI, Pengurus DPP KNPI Periode 2011-2013