New York (IPS) – “KETTLYNE”, seorang yatim Haiti berusia 18 tahun, tinggal di kamp Croix Deprez yang dipenuhi puing-puing berserakan –salah satu kota-tenda (tent-cities) yang tersisa dan didiami para pengungsi akibat gempa bumi 12 Januari tahun silam. Dia tak mampu lagi memberi makan putrinya yang berusia tiga tahun.
Dia kelaparan dan sendirian. Dia bilang terpaksa menjajakan seks untuk makanan, menjual tubuhnya kepada pria lebih tua yang suka memukul dan menyiksanya, seringkali menolak pakai kondom, dan terkadang tak mau membayar.
Namun Kettlyne masih bermimpi bisa kembali ke sekolah dan menabung untuk biaya pendidikan putrinya. “Jika bayi saya menangis karena lapar, saya akan melakukan apapun,” ujarnya, pasrah
Kettlyne salah satu dari ratusan narasumber yang diwawancarai dalam sebuah laporan bersama yang dirilis Kamis lalu oleh MADRE, Commission of Women Victims for Victims (KOFAVIV), Klinik International Women’s Human Rights (IHRW) di Fakultas Hukum City University of New York (CUNY), Global Justice Clinik (GJC) di Fakultas Hukum NYU (GJC), dan Center for Gender & Refugee Studies di UC Hastings College of the Law (CGRS).
Bertepatan dengan peringatan dua tahun bencana yang menyebabkan lebih dari sejuta warga Haiti kehilangan tempat tinggal dan memaksa kamp-kamp pengungsian yang padat di negeri itu masuk ke dalam periode gelap pelanggaran hukum, laporan itu muncul di tengah gelombang keluar para pekerja kemanusiaan, lembaga nonpemerintah, dan pengamat internasional dari kepulauan tersebut. Pesannya: meski waktu telah berlalu, krisis bagi perempuan dan gadis Haiti tetap berlanjut.
Sementara wabah perampokan yang menyapu kamp-kamp itu setelah gempa telah terdokumentasikan dengan baik, krisis kedua yang tak kalah mengerikan tetap tersembunyi, ujar para aktivis HAM.
“Para pengungsi perempuan dan gadis dipaksa oleh keadaan untuk menjajakan seks demi bertahan hidup,” ujar Marie Eramithe Delva, salah satu pendiri KOFAVIV. “Ini mewabah tapi mendapat sedikit perhatian dari pemerintah Haiti atau komunitas internasional.”
Sekira 300.000 perempuan dan gadis merana di tempat penampungan sementara di dalam dan sekitar ibukota Port au Prince. Di kota ini, semua struktur sosial, dari keluarga dan rumah hingga sekolah dan fasilitas kesehatan, sudah rusak akibat kemiskinan parah, keputusasaan, dan kelaparan, menyisakan catatan yang sensitif dan memprihatinkan.
“Dengan keluarnya organisasi-organisasi internasional, yang menyediakan beberapa layanan sementara yang tersedia setelah gempa, gadis-gadis berusia 13 tahunan menjajakan seks untuk mendapatkan sesuatu yang setara dengan setengah sandwich, beberapa dolar AS, atau akses terhadap pendidikan,” ujar Lisa Davis, direktur advokasi HAM MADRE sekaligus salah satu penulis laporan tersebut, kepada IPS.
Setelah melakukan serangkaian wawancara mendalam dengan para perempuan dan gadis dengan rentang usia 18 hingga 32 tahun yang tinggal di kamp pengungsian Champ de Mars, Christ Roi, dan Croix Deprez, dan di lingkungan Carrefour, laporan itu menyimpulkan bahwa tak seorang pun dari mereka ambil bagian dalam temuan baru mengenai “ekonomi untuk bertahan hidup” (economy of survival) yang menjelaskan mereka sebagai pekerja seks komersial. Sebaliknya, tindakan mereka merupakan “mekanisme penanganan” (coping mechanism) dalam menghadapi penderitaan berat.
Kebanyakan transaksi seksual terjadi antara gadis-gadis dan lelaki yang punya posisi kuat di kamp: pengelola dana untuk program kerja, manajer persediaan makanan, dan terutama lelaki yang bertanggung jawab atas program-program pendidikan.
Menurut laporan UNICEF tahun 2012, infrastruktur pendidikan di Haiti sudah berantakan sebelum 2010. Namun, gempa bumi merusak lebih dari 4.000 lembaga pendidikan, mengambil hak sekira 2,5 juta siswa –separuh lebih dari empat juta remaja Haiti yang berusia di bawah 18 tahun– dari kesempatan memperoleh pendidikan. Kurangnya fasilitas kesehatan yang parah memperburuk masalah.
Tahun lalu, Human Rights Watch (HRW) mempublikasikan temuannya, berdasarkan serangkaian wawancara, yang mengungkapkan bahwa beberapa perempuan punya akses ke perawatan kehamilan atau kebidanan.
Meski semua dari 128 perempuan yang diwawancara mengatakan bahwa mereka ingin melahirkan di rumahsakit, lebih dari setengahnya melahirkan di luar institusi medis, tanpa kehadiran perawat yang terampil, sementara banyak yang melahirkan anak-anak mereka di lantai tenda yang berlumpur atau dalam perjalanan menuju rumahsakit.
Meski tak ada data tepercaya yang telah dikumpulkan mengenai dampak transaksi seksual, Davis berspekulasi, “Saya hanya bisa membayangkan bahwa hal itu akan membuat para perempuan dan gadis lebih rentan terhadap HIV dan (penyakit menular seksual) lainnya. Sebelumnya, Haiti punya tingkat HIV terburuk di belahan bumi ini dalam hal jumlah.”
Kekurangan perawatan medis juga berarti lebih banyak aborsi ilegal dan lebih tingginya angka kematian ibu dan bayi. Sebelumnya, 3.000 perempuan dan gadis Haiti meninggal dunia tiap tahunnya akibat komplikasi kehamilan dan persalinan, sehingga kemungkinan penurunan dalam kesehatan ibu dan anak bisa berarti bencana bagi negeri kecil yang lagi berjuang ini.
Meski sangat penting untuk menjelaskan krisis langsung dan kebutuhan jangka pendek bagi penduduk yang terkena bencana, penyebab jangka panjang dan konsekuensi dari epidemi ini tetap jadi perhatian utama para ahli.
Keterbelakangan ekonomi yang sebagian besar disebabkan kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan Barat, bantuan asing yang salah arah dan salah urus, serta konstitusi yang telah lama mengabaikan tragedi kekerasan berbasis jender, terutama pada masa-masa ketidakstabilan politik, punya andil dalam krisis saat ini.
“Organisasi-organisasi akar rumput seperti KOFAVIV melakukan banyak hal untuk memerangi kekerasan berbasis jender, kekerasan seksual, dan transaksi seksual demi bertahan hidup; namun suara kami tak didengar,” ujar Mayla Villard-Appolon, salah satu pendiri KOFAVIV, kepada IPS. “Kami jarang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, dan lembaga-lembaga pemerintah yang punya sumberdaya untuk melakukan perubahan tak mendengar perspektif kami dan laporan dari bawah.”
“Perempuan tak mendapatkan perlakuan sama dalam posisi di pemerintahan,” ujarnya menambahkan. “Dari 17 menteri, cuma tiga yang perempuan.”
Villard-Appolon berulangkali menekankan perlunya kerangka kerja pendidikan yang lebih komprehensif dan inklusif bagi para gadis yang telah lama kehilangan haknya, bahkan di tingkat keluarga, tinggal di rumah, sementara saudara laki-laki mereka bersekolah.
“Meski Presiden (Michel) Martelly sudah menyatakan komitmennya untuk menegakkan hak konstitusional untuk pendidikan dasar gratis di Haiti, hal itu jauh dari kenyataan,” ujar Blaine Bookey, staf pengacara di CGRS dan salah seorang penulis laporan tersebut, kepada IPS. “Kami prihatin terhadap laporan dari kepala Komite Keuangan Senat (AS) bahwa jutaan dana yang terkumpul dari pajak untuk tujuan pendidikan belum dilaporkan.”
Dia juga membuat berbagai rekomendasi untuk melewati krisis, termasuk mengalokasikan lebih banyak sumberdaya untuk koalisi akar rumput, restrukturisasi pemerintah, dan sistem peradilan yang lebih baik untuk menangani kekerasan seksual dan beragam bentuk eksploitasi, serta pengawasan lebih ketat terhadap dana rekonstruksi agar bantuan itu tak hanya mengalir kembali ke kas LSM internasional serta kontraktor atau perusahaan swasta.
“Seks untuk bertahan hidup tak akan berakhir kecuali para perempuan dan gadis Haiti bisa mendapatkan akses atas segala keperluan hidup mereka,” ujar Margaret Satterthwaite, profesor Clinical Law for the GJC.
“Perempuan Haiti menginginkan kesempatan ekonomi dan kemampuan untuk mengakses sumber daya mendasar. Masyarakat internasional harus bekerjasama dengan pemerintah Haiti untuk menciptakan lapangan pekerjaan, memperluas kredit mikro untuk perempuan, dan memberikan pendidikan gratis bagi semua.”[Kanya D’Almeida]
Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di AcehCorner.Com atas izin Yayasan Pantau