Oleh Samiya As-Salsabilla
Bermula dari cerita tentang cita cita dan masa depan. Opi, panggilan akrab dari Syafria Novian Noor dan sahabatnya Iriani Damayanti akhirnya terbentuklah sebuah komunitas yang mereka beri nama Write For Charitis atau Menulis Untuk Amal.
“Idenya udah setahun, namun baru beberapa bulan ini kepikiran untuk serius,” Ujar Iriani Damayanti ketika saya menemuinya di kampus bulan lalu.
“Pas Duduk makan-makan bersama, kepikiran bagaimana caranya bisa membantu, memberikan sesuatu yang lebih namun masih dalam batas kemampuan kita,” tambah gadis hitam manis berkacamata ini.
Saat itu juga dua mahasiswi Fakultas Hukum kelas Hukum Internasional ini melihat seorang anak kecil yang sedang membantu ayahnya berjualan. Sejenak keduanya larut dalam pembicaraan; kenapa anak sekecil itu tidak menempuh pendidikan dasar dan harus membantu orang tuanya.
Padahal sudah banyak subsidi pendidikan yang diberikan oleh pemerintah. Dari itu mereka mulai merancang sebuah komunitas yang nanti dalam perkembangannya dapat memberikan kontribusi walaupun sedikit kepada anak-anak yang putus sekolah.
“Kalau saya sendiri memang ada cita-cita membuat semacam yayasan atau rumah singgah katakanlah, namun dalam kondisi yang seperti sekarang masih berada di bawah tanggungan orang tua itu nggak mungkin,” Kisah Opi tersenyum.
Akhirnya komunitas ini terbentuk empat orang anggota yaitu Syafria Novian Noor, Iriani Damayanti, Yusri Mirza Latif dan Rahmad Kurniawan yang semuanya adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.
Tekat mereka sekarang adalah mencari donatur untuk menjalankan misinya, ada yang memandang sebelah mata, mendukung sampai menganggap mereka kurang kerjaan.
“Kita ini sadar tidak sadar hidup dari dana yang terus di subsidi oleh pemerintah. Jadi kenapa nggak kalau kita bantu sesama walaupun sedikit,” kata Iriani Damayanti.
“Memang kita sempat berpikir bahwa di Indonesia terlebih di Aceh sulit sekali untuk komunitas seperti ini berjalan tapi kalau di luar negeri banyak perusahaan dan lembaga yang mau membantu, tapi kita tetap berusaha kok,” Lanjut Opi lagi bersemangat.
Untuk sekarang mereka sudah mulai aktif berkampanye melalu media sosial facebook dan sudah mempunyai akun untuk memulai publikasi. Proyek mereka yang pertama sebenarnya untuk menggalang barang-barang yang bermanfaat seperti buku yang nantinya akan disumbangkan kepada lembaga yang peduli dengan pendidikan anak anak di Afrika.
“Awalnya kita pernah mencoba mencari link untuk membantu saudara kita yang jauh dan sempat menghubungi sebuah lembaga namanya CCREAD yang bermarkas di Kamerun, bergerak dibidang pemberantasan kemiskinan di sana,” Cerita Opi kepada saya.
“Namun rencana itu gagal dan harus kita tunda dulu, karena susah mengirim bantuan ke sana, jauh dan rasanya masih ada saudara kita di sini yang masih membutuhkan,” lanjutnya lagi. Namun ketika menonton acara Kick Andy MetroTV, Episode Indonesia Mengajar mereka menemukan ide baru dan mulai mencari informasi apakah tim ini ada yang di tempatkan ke Aceh.
“Setelah cari-cari rupanya ada relawan Indonesia Mengajar yang di tempatkan di Aceh Utara, akhirnya kita memulai lagi mengumpulkan buku pelajaran yang nanti akan dikirimkan ke sana,” timpal Iriani tentang proyek baru mereka.
“Kita punya motto kalau berbagi itu indah, sedikit berbagi lebih mulia. Kalau menunggu kaya, kapan beramalnya kan? Siapa tahu dianggap tidak bermanfaat bagi diri kita, bisa bermanfaat untuk orang lain seperti buku bekas misalnya,” papar Irian penuh harap.
“Kita juga mengajak siapa saja yang mau berbagi kebaikan sesama atau khususnya yang mau menulis buku, hasilnya disumbangkan untuk amal bersama sama dengan Write For Charitis, jadi ikut ya,” Ajak Opi sambil berlalu.
Namun berbicara tentang berbagi buku Write For Charitis bukan yang pertama saya temui saat ini. Ada anak muda kreatif bernama Muhadzdzier M Salda dengan beberapa temannya ketika bulan Ramadhan 2011 lalu mengkampanyekan program One Man One Book.
“Waktu itukan bulan Ramadhan kita jadikan momentum untuk menggalang buku,” kisah kader PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Aceh ini. “Akhirnya terkumpul dalam beberapa hari itu ada 322 buku memang bukan jumlah yang banyak tapi sangat bermanfaat,” tambahnya lagi.
Kala itu Muhadzdzier dengan beberapa teman dari FLP (Forum Lingkar Pena) Aceh Cuma mempublikasikan proyek mereka di situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter, SMS sampai kabar dari mulut ke mulut itu beredar. Buku-buku itu akan disumbangkan kepada sebuah sekolah alternatif di desa Lambirah, Sibreh, Aceh Besar. Taman Pemberdayaan Masyarakat (TPM) TANYOE yang digagas oleh Husnul Khatimah Adnan, seorang Mahasiswi IAIN Ar-Ranirry. Husnul adalah warga desa Lambirah.
“Ketika mereka menerima buku awalnya anak-anak Lambirah asyik melihat gambar dan bolak-balik halaman buku yang kami sumbangkan, bahagia rasanya melihat mereka,” kenang Muhadzdzier yang saya temui di sebuah warung kopi di Ulee Kareng. “Bagi kita yang tinggal di kota mungkin buku bukanlah barang asing tapi tidak begitu bagi mereka yang tinggal di desa-desa,” tambahnya lagi.
Sebenarnya di Banda Aceh menurut pemuda yang mengaku dirinya sebagai aktifis laki-laki ini, banyak gerakan anak muda yang mandiri namun banyak yang putus ditengah jalan karena masalah dana ketika mereka ingin bertindak.
“Memang masalah itu klasik sekali ya, tapi jangan berharap banyak sama pemerintah untuk urusan yang begini, pemerintah kita ngak mau, ngak ada untung buat mereka (pemerintah). Harapan saya ada lembaga atau perusahaan di Aceh mau terlibat hal kecil semacam ini, kita siap memfasilitasi untuk disalurkan kepada taman bacaan masyarakat yang membutuhkan,” Saran Muhadzdzier di akhir wawancara dengan saya.[]
*Samiya As-Salsabilla (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala)