KontraS Prihatin Atas Meningkatnya Kekerasan di Indonesia

Boy Nashruddin Agus

Jakarta-Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) prihatin dengan menguatnya serangkaian kekerasan massal di tengah masyarakat diberbagai tempat akhir-akhir ini.

Haris Azhar

Tajamnya tensi kekerasan sosial, baik yang terjadi di Lampung, Bima, Papua dan beberapa wilayah lainnya, menunjukkan adanya upaya perlawanan dan sekaligus ekspresi kefrustrasian masyarakat atas meluasnya praktik ketidakadilan di Indonesia.

Pengabaian negara atas isu-isu kesejahteraan, jaminan rasa aman, intoleransi sosial, dan aspirasi politik masyarakat dikhawatirkan akan berdampak luas pada meningginya biaya sosial-politik yang harus dikeluarkan bangsa Indonesia.

“Fenomena kekerasan ini sesungguhnya amat kontraproduktif dengan banyak pernyataan politik yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY dan Istana kerap melontarkan wacana-wacana untuk menuntaskan beragam persoalan bangsa dengan pendekatan bermartabat. Namun ruang pembuktiannya masih teramat minimalis,” ungkap Koordinator KontraS Indonesia, Haris Azhar pada Aceh Corner.

KontraS meyakini, kekerasan massal yang terjadi di Lampung, Bima dan Papua tidak terjadi secara tiba-tiba (spontaneous violence).

“Ada akumulasi kekecewaan akibat ketidak-cocokan (Inkompatibilitas) antara harapan masyarakat Indonesia terhadap janji-janji pemerintah. Inkompatibilitas menimbulkan friksi sosial yang terjadi tidak hanya di perkotaan, namun nyaris di banyak belahan Republik ini,” tegasnya lagi.

Lampung, Bima dan Papua bisa menjadi contoh dari gagalnya negara dalam mengelola dinamika kepentingan di daerah. Isu politik lokal melalui Pilkada di Papua, isu pengelolaan sumber daya alam di Bima, hingga kekacauan dalam pengelolaan distribusi politik lokal sebagaimana yang terjadi di Lampung; menjadi ajang unjuk kekuatan dan kekuasaan kepentingan-kepentingan elite.

“Konflik dan kekerasan massal ini menjadi fakta dan sekaligus problem sosial-politik yang harus dihadapi masyarakat hari ke hari,” tambah Haris.

KontraS mencatat sepanjang 2011 ini, setidaknya terdapat 10 kasus kekerasan massal serius yang terjadi. Di mana intensitasnya terjadi pada bulan April-Juli 2011 dan September-Desember 2011. Katanya, eskalasi kekerasan masih berlanjut hingga Januari 2012.

Kekerasan massal ini umumnya terkait dengan sengketa pengelolaan sumber daya alam, sukses politik lokal, sampai friksi sosial kehidupan keseharian warga. Pola kekerasan melibatkan kelompok warga, aparat kepolisian dan kelompok korporasi bisnis di lokasi kejadian. Selain Lampung, Bima dan Papua, titik-titik kekerasan massal juga terjadi di Bali dan Ambon.

Corak ekspresi ini, menurut Haris merupakan wujud ketidakpuasan warga Indonesia akibat pilihan politik kebijakan diskriminatif pemerintahan pusat, khususnya dalam pendistribusian hak-hak ekonomi, sosial dan politik warga.

Lebih jauh, Haris mengatakan, hal ini  juga menunjukkan bahwa selama ini ada kemandekan kemampuan lembaga-lembaga negara dalam pelayanan public, baik itu Lembaga keamanan dan hukum tidak professional maupun lembaga politik seperti DPR yang hanya jadi pengimbang kebijakan pemerintah.

Kata Haris, kedua lembaga tersebut selalu mengamini pernyataan-pernyataan pemerintah diruang-ruang RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum). Secara ekonomis, ekspresi masyarakat dengan berbagai fenomena sosial menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebanyak 6 persen tidak menjamin hak-hak masyarakat miskin dan marjinal.

Karenanya, KontraS menghimbau kepada pemerintah dan seluruh aparat penegak hukum untuk tidak gegabah dalam merespons gesekan atau amuk sosial di tengah masyarakat. Keputusan untuk memobilisasi pasukan keamanan ketimbang mendahulukan upaya dialog konstruktif, berpotensi untuk memperluas lokus kekerasan.

Resolusi konflik dan kekerasan dapat ditempuh dengan mengembangkan modal sosial untuk menetralisir ketegangan sosial (social distrust) di tengah masyarakat. Modal sosial bisa dirintis dengan melakukan proses dialog partisipatif, mendengar persoalan dan masukan dari publik, diikuti dengan implementasi komitmen tinggi pemerintah untuk menyelesaikan persoalan bangsa.

DPR RI dapat berperan sebagai pihak yang melakukan kontrol kebijakan resolusi konflik dan kekerasan. Pelibatan Komnas HAM untuk mensosialisasikan nilai-nilai HAM dan perdamaian juga penting.

“Pemerintah juga bisa mendorong inisiatif-inisiatif perdamaian lokal, yang kontekstual dengan kondisi historis-sosiologis masyarakat berada,” pungkasnya.[]