Jakarta– Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin membantah tuduhan bahwa Kemenhukam telah menerima kucuran dana Rp1 triliun dari pemerintah Amerika Serikat sebagai konsesi untuk memeriksa narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas).
“Perlu kami sampaikan bahwasanya Ditjenpas Kemenkumham tidak pernah menerima kucuran dana sedikitpun dari Pemerintah Amerika Serikat sebagai konsesi bagi Pemerintah Amerika Serikat,” kata Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin melalui keterangan persnya di Jakarta, Rabu (15/2).
Menkumham Amir mengatakan Direktorat Jenderal Lapas (Ditjenpas) Kemenkumham tidak pernah menerima konsesi agar FBI bisa memeriksa para narapidana pada sejumlah lapas di Indonesia.
Bahkan Kemenkumham juga tidak pernah menyediakan ruang khusus bagi Pemerintah Amerika Serikat untuk membentuk biro interogasi di dalam lapas.
Amir menyatakan Ditjenpas Kemenkumham mengadakan kerja sama internasional dengan beberapa negara, yang salah satunya rencana menjalin kerja sama dengan “International Criminal Investigative Training Assintance” (ICITAP).
ICITAP merupakan lembaga di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat yang bergerak dalam bidang pengembangan kapasitas manajemen penanganan narapidana risiko tinggi.
Amir yang juga merupakan pengacara kawakan itu, menjelaskan kerja sama Ditjenpas dengan ICITAP mencakup penyusunan pedoman penanganan narapidana risiko tinggi, penyusunan modul pelatihan bagi petugas tentang penanganan risiko tinggi, pelatihan penanganan narapidana risiko tinggi dan pelatihan petugas dalam penanganan narapidana risiko tinggi.
Kerja sama itu, berawal dari pihak ICITAP yang mengundang 11 orang pejabat Ditjenpas ke beberapa negara bagian California, AS, 28 Oktober-10 November 2011.
ICITAP mengundang pejabat Ditjenpas dalam rangka studi tentang manajemen penanganan narapidana.
“Namun, pelaksanaan studi tersebut tidak pernah merencanakan dan tidak pernah pula melakukan kunjungan ke penjara Guantanamo,” ujar Amir.
Amir mengakui adanya pelatihan dalam bentuk wawancara (assessment) bagi narapidana di sejumlah lapas, namun dilakukan petugas pemasyarakatan yang tidak melibatkan pihak lain.
“Assesment dengan menggunakan instrument need and risk assessment dan Violent Extrimist Risk Assesment (VERA),” tutur Amir.
Pengembangan instrumen tersebut merupakan hasil kerja sama antara Ditjenpas dengan “Corrective Service New South Wales” (NSW) Australia.
Amir menyebutkan instrumen itu yang digunakan oleh petugas pemasyarakatan untuk melakukan wawancara atau konseling terhadap narapidana secara umum, dengan tujuan menyusun program pembinaan yang tepat bagi narapidana.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Amir membantah pemberitaan yang disampaikan Koordinator Indonesia Police Watch (ICW), Neta S. Pane (Indonesia Police Watch) terkait informasi pemerintah AS maupun FBI telah merusak lapas di Indonesia.[Ant]