Yerusalem Timur (IPS) – WARGA Palestina di Yerusalem Timur akhirnya bisa pergi menonton film. Bioskop Al Quds dibuka kembali pertengahan Februari ini setelah ditutup selama 25 tahun. Penyelenggara mengatakan bahwa ini menandakan kelahiran kembali seni dan budaya Palestina di kota itu.
“Kami sudah terputus dari seluruh dunia. Jadi saya kira ini adalah tempat sempurna bagi warga Palestina untuk datang,” kata Rima Essa, koordinator bioskop kepada IPS. “Saya berusaha membawa banyak film dari negara-negara yang tak pernah kami pikirkan sebelumnya, dari Iran, Suriah, Lebanon. Kami harap tempat ini akan memberi warga Palestina suatu pengalaman kultural yang berbeda.”
Bertempat di Pusat Kebudayaan Yabous di Yerusalem Timur, bioskop Al Quds merayakannya dengan menggelar festival film bertajuk “Pekan Film Kebebasan”. Hampir selusin film diputar, yang mengangkat tema revolusi di Tunisia hingga pelecehan seksual di Mesir dan kehidupan sehari-hari warga Palestina di Yerusalem Timur.
“Anda lihat, orang begitu lapar dengan jenis film ini. Mereka akhirnya datang dan berbincang dengan Anda dan makin banyak orang menonton setiap hari,” ujar Essa, yang juga kurator festival film itu.
“Ini menciptakan pusat kebudayaan yang spesifik dan sangat menarik bagi warga Palestina. Kami juga berharap dapat menjangkau warga biasa yang kebetulan lewat gedung bioskop dan ingin melihat apa yang terjadi.”
Dibangun pada 1950-an, bioskop Yerusalem Timur yang populer ini sekali waktu pernah menampung hingga 800 orang dan menayangkan aneka film komersial dari kawasan itu dan seluruh dunia hingga otoritas Israel menutupnya pada 1987, sekaligus dimulainya Intifadah pertama Palestina.
Banyak rol dan peralatan pemutar film ditemukan hancur akibat terpaan sinar matahari dan hujan selama bertahun-tahun. Sementara tabung film lawas, gulungan negatif, serta sebuah proyektor yang sudah diperbaiki kini dipamerkan di lobi gedung Pusat Kebudayaan Yabous.
Essa berkata, selagi menunggu pembangunan ruang pertunjukan tambahan dan studio pemutaran film, dia berharap bioskop Al Quds bisa mengisi kekosongan kultural yang ditimbulkan oleh pendudukan Israel.
“Secara ekonomi dan sosial-ekonomi, ini menjadi kerumitan besar bagi mereka. Kebanyakan bioskop di Yerusalem Barat, jika Anda ingin menonton film, Anda harus membayar 37 shekel (sekira Rp 90 ribu). Warga Palestina, karena situasi di mana mereka tinggal, tak mampu membayarnya, sehingga mereka tak mendapatkan kegiatan budaya dan membuka hal-hal yang terjadi di sekitar mereka.”
“Kami terus-menerus berada dalam pengepungan yang dipaksakan Israel terhadap warga Yerusalem (orang-orang Palestina). Jadi saya harap tempat ini benar-benar akan memberi warga Palestina, bukan hanya Yerusalem Timur tapi Palestina secara umum, kekuatan untuk datang dan menonton film.”
Kelompok-kelompok HAM di Palestina menaksir sejak Agustus 2001, otoritas Israel menutup hampir 30 organisasi yag melayani masyarakat Palestina di Yerusalem, termasuk Orient House, bekas kantor pusat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di kota itu, Dewan Dagang Yerusalem, dan Arab Studies Society.
Pada 2009, otoritas Israel juga melarang sejumlah kegiatan pendidikan dan kebudayaan Palestina yang sudah direncanakan untuk merayakan deklarasi Yerusalem sebagai “Pusat Kebudayaan Arab”
“Secara umum, Israel berusaha menutup semua yang berhubungan dengan warga Palestina, tak peduli organisasi, kebudayaan, atau lainnya. Ini menjadi salah satu tekanan yang mendorong warga Palestina untuk keluar, dan membuat warga Palestina merasa bahwa mereka tak punya ikatan dengan kota ini,” kata Ziad al-Hammouri, direktur Pusat Hak Asasi Ekonomi dan Sosial Yerusalem (JCSER).
Al-Hammouri berkata kepada IPS bahwa penutupan institusi-institusi Palestina di Yerusalem harus dilihat dalam konteks “Yudaisasi” kota ini oleh Israel, dan warga Israel berpendirian bahwa setiap warga Palestina yang berhubungan dengan Yerusalem merupakan ancaman demografis.
“Ini adalah masalah demografi. Mereka ingin pemukim (Yahudi-Israel) mengambil tempat rakyat Palestina. Bentuk tekanan terhadap warga Palestina adalah meminta mereka meninggalkan Yerusalem dan membuat mereka merasa takut. Dan ini terkait dengan tekanan lain, seperti perintah pembongkaran rumah dan penyitaan kartu identitas penduduk,” kata al-Hammouri.
Bagi Rima Essa, sutradara film yang dihormati, pembukaan kembali Al Quds bukan hanya sebuah cara melawan dampak pendudukan Israel, tapi juga dapat menjadi media penting untuk mendidik dan menginspirasi kaum muda.
“Anak-anak belum pernah pergi ke bioskop. Mereka tak punya kesempatan menonton film. Sekarang mereka bisa belajar menjadi intelektual dan penulis yang sebelumnya tak pernah mereka dengar. Ini jauh lebih menautkan dunia Arab dan dunia internasional,” kata Essa, menambahkan bahwa dia ingin mengadakan lokakarya pembuatan film bagi anak-anak muda dan mungkin membuka sekolah film.
“Sebagai seniman, saya memimpikannya. Bagi saya, yang penting adalah bioskop.” [Jillian Kestler-D’Amours]
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di AcehCorner.Com atas izin dari Yayasan Pantau.