Oleh Maimun, MA
Dahulu, kita pernah hidup di bawah rezim diktator dalam waktu yang tergolong lama. Hampir semua, dan bahkan seluruh sisi kehidupan kita dihegemoni penguasa saat itu. Betapa besar risiko dari pengaruh yang ditimbulkan oleh suasana yang non demokratis, contohnya saja dalam proses pendidikan.
Pendidikan seharusnya sebagai suatu proses pendewasaan telah berubah menjadi ajang “doktrinasi”. Pendidikan tidak berfungsi sebagai alat pembangunan dan pencapaian demokratisasi pada saat itu. Sehingga, tidak mengherankan apabila sistem yang dibangun telah menyebabkan bangsa ini terjebak dalam suasana yang sifatnya destruktif. Akhirnya kehancuran dan keterbelakangan tidak dapat dihindari sebagai sebuah risiko yang harus kita terima.
Sekarang, telah lebih dari 10 tahun kita berada pada masa reformasi. Reformasi seyogianya berfungsi sebagai media transisi menuju sistem yang good governance dan clean goverment. Secara filosofi, bahwa transisi sebagai suatu proses, butuh waktu dan pemikiran yang tidak sedikit. Bukan hanya sekedar itu, transisi juga membutuhkan konsistensi dan optimisme yang tinggi dari stakeholders. Dalam realitasnya, transisi yang terjadi tidak terkawal dengan baik, sehingga muncul berbagai disharmonisasi dalam hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat.
Dalam masyarakat yang multikultural, salah satu penyebab lahirnya disharmonisasi adalah sikap etnosentrisme yang tinggi. Etnosetrime telah menyebabkan rasa toleran antar sesama bangsa ini semakin memudar, yang akhirnya berujung pada konflik.
Konflik sebagai salah satu bentuk akumulasi rasa tidak puas hati, yang apabila dibiarkan dapat menyebar dan memuncak, sehingga resiko yang harus diterima akan jauh lebih besar. Sebagai contoh, konflik politik yang terjadi di Aceh menjelang pemilukada. Kita sepakati bahwa pemilukada secara langsung sebagai salah satu wujud demokrasi yang mulai dibangun dalam masa transisi. Apabila demokrasi dibangun bukan atas dasar toleransi yang konstitusionil dalam sebuah negara yang multikultural, maka akan menyebabkan lahirnya anarkisme dalam setiap tindakan, dan ini telah ditunjukkan oleh berbagai kepentingan. Akhirnya, konflik politik semakin tidak dapat dihindari.
Di satu sisi kita pernah hidup dalam masa yang non demokratis dalam waktu yang tergolong lama, di sisi lain kita dihadapkan pada persoalan transisi yang belum berhasil. Apa yang mesti kita lakukan ke depan? Pertanyaan besar ini harus menjadi catatan penting bagi setiap kita yang memiliki good willing membangun bangsa yang beradab.
Tentunya, harus diakui bahwa peran midle class sebagai generasi pembaharu menjadi mutlak dan tidak dapat ditawar. Edwar W. Said pernah mengatakan bahwa midle class sebagai generasi pembawa perubahan harus mengambil berat dan benar-benar mengedepankan prinsip-prinsip moralitas dalam mengawal suatu dinamika. Midle class dapat berbentuk macam-macam, seperti organisasi mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Midle class juga disebut sebagai cendikiawan, yang memegang teguh prinsip. Midle class berfungsi sebagai “perisai” atau media dalam membangun komunikasi antara pemerintah dengan rakyat.
Oleh karena itu, sebagai elemen civil society, organisasi pemuda dan mahasiswa atau LSM harus benar-benar memiliki prinsip dan berpegang teguh pada prinsip yang melekat pada diri mereka, yaitu: salah satunya prinsip “pengawalan”. Pengawalan yang dimaksud yaitu mengawal gerak dan dinamika yang terjadi, agar perubahan dapat terjadi dengan baik. Peran kelas menengah saat ini dirasa sangat minim, atau bahwa hampir tidak berperan sama sekali. Hal ini diakibatkan oleh orientasi masing-masing midle class tidak sama, sehinga untuk bersatu sangatlah sulit.
Persamaan visi dan misi serta orientasi para pembaharu sangatlah penting untuk dilakukan. Karena hal itu akan mempersempit ruang gerak lahirnya pengkotakan-pengkotakan dalam midle class itu sendiri. Oleh karena itu konsolidasi sangatlah penting, karena skonsolidasi dapat berfungsi sebagai upaya membangun kepercayaana antar sesama stake holders dalam merajut lahirnya demokratisasi di berbagai sisi secara subtansi.
Jika fungsi midle class ini telah benar-benar efektif dan efesien, maka hal berikutnya adalah merajut pembangunan dengan tekad kebersamaan dalam bingkai multikulturalis akan sangat mudah di capai. dan sebaliknya, apabila midle class tidak menyadari tentang beban moralnya, maka kerusakan dan kehancuranpun akan kembali menjadi pilihan. Semoga saja perubahan dapat wujud dengan baik, hingga lahirnya demokratisasi yang subtansial.
Maimun, MA adalah Dosen ilmu politik pada program studi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) FKIP Unsyiah