Banda Aceh – Arkeolog Dedi Satria mengungkapkan rakyat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai keberagaman, sehingga rasa toleransi berjalan sangat baik di bumi “Serambi Mekkah” ini.
“Salah satu bukti bahwa rakyat Aceh menjunjung tinggi nilai keberagaman adalah adanya sejumlah tempat yang diberikan nama sesuai dengan penghuni yang menetap di sana,” kata alumnus Universitas Gajah Mada (UGM) ini dalam diskusi “Toleransi keberagaman untuk perdamaian” di Banda Aceh, Sabtu.
Ia mencontohkan, Kampung Jawa, Kampung Pande, Peunayong, Emperum, Bitai menjadi contoh kecil bahwa nilai keberagaman ini dijunjung tinggi oleh rakyat Aceh.
Bila ini tetap dijalankan maka rasa kedamaian dalam kehidupan masyarakat Aceh akan tertanam, lanjut Dedi Satria.
“Hal itu juga telah dipraktekkan oleh Sultan Iskandar Muda dalam memerintah Aceh,” jelas dia.
Ia menyebutkan, peninggalan lain yang menjadi bukti bahwa rakyat Aceh memiliki sifat keberagaman adalah pada bukit Lamreh, Kabupaten Aceh Besar.
Sebenarnya, bahan-bahan yang menunjukan bahwa Aceh sangat menjujung tinggi keberagaman sangat kompleks, tuturnya.
“Beberapa alat peninggalan sejarah di sana, sekitar 1000 tahun lalu, rakyat Aceh hidup berdampingan dengan sejumlah warga negara luar seperti Persia, Cina dan Arab,” katanya.
Ia juga berharap, rasa keberagaman ini bisa dipelihara oleh rakyat Aceh sehingga kenyamanan dan toleransi akan terjaga.
Selain itu, perwakilan mahasiswa di Aceh, Abdullah Hakimi menyatakan bahwa kesamaan Aceh dan Malaysia terlihat pada budaya.
Antara budaya melayu dan Aceh tidak berbeda sehingga memudahkan kami untuk beradaptasi dengan masyarakat Aceh, kata dia.
“Contoh lainnya adalah di Aceh terdapat kampung Pande sedangkan di Malaysia adanya kampung Aceh sehingga ini memperjelas bahwa rakyat Aceh sangat menjunjung tinggi keberagaman,” demikian Abdullah Hakimi. [](Antara)