Qaid Arkana

Auditorium FKIP pun Jadi Bioskop

Oleh Birrul Walidain

SORAK-sorai, teriakan haru, jerit histeris, menyatu dengan suara tepuk tangan dalam ruangan tertutup itu. Di panggung sederhana dalam ruangan tersebut, peluh dan air mata juga menyatu. Ada yang berguling-guling, ada yang menyeret langkah tertatih, ada merangkak, ada yang berlari, dan lakon hidup lainnya.

Suara tepuk tangan dan sorak itu menggema dari ratusan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sasra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala di ruang Auditorium FKIP. Sesekali, mereka menjerit panjang, “Huuuu…”

Kamis dan Jumat (12 dan 13 Januari 2012) agaknya akan jadi hari yang tidak terlupakan bagi sebagian mahasiswa PBSI, terutama angkatan 2010, 2009, dan beberapa angkatan 2008. Ruang Auditorium FKIP di lantai III itu pun jadi saksi atas jerih payah mereka selama mengikuti mata kuliah Puisi dan Drama di tahun ini. Pentas pertunjukkan dua hari itu digelar dalam rangka ujian akhir (final) kedua mata kuliah tersebut.

Menurut salah seorang dosen pengasuh mata kuliah Drama, Budi Arianto, pertunjukkan itu digelar setiap tahun. “Tahun lalu, kami menggelar pesta panggung beginian di luar, di aula wisma Kompas, Darussalam. Acaranya juga dua hari. Tahun ini, kebetulan FKIP sudah punya gedung yang bisa digunakan, makanya kali ini ujian finalnya di Auditorium FKIP ini,” jelasnya.

Sedikit beda dengan tahun lalu, tambah Budi, kali ini untuk mata kuliah drama, ada tiga jenis pertunjukkan yang difinalkan. Ketiganya masih dalam lingkup drama, yakni drama pentas (teater), drama radio (sandiwara), dan drama telivisi (film).

“Untuk mata kuliah puisi dipertunjukkan musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, dan visualisasi puisi. Untuk ini, dibantu oleh Herman RN,” papar Budi yang meraih magister seni pertunjukkan di Universitas Gajah Mada.

Kecuali Budi dan Herman, turut serta Mukhlis A. Hamid, sebagai dosen pendamping mata kuliah puisi dan drama. Di hari ujian itu, mereka juga dibantu oleh beberapa alumni muda PBSI, yang dulu tergabung dalam sanggar Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia (Gemasastrin), yaitu Risma, Deca, Husnul, dan Azhari. Adapun mahasiswa senior yang membantu sebagai panitia di antaranya Zulkarnain, Edi Miswar, dan Azrul.

“Acara ini memang tidak ada kepanitiaan khusus, karena bukan even, hanya ujian final. Namun, kegiatan kita ini dibuka langsung oleh Ketua Prodi PBSI, Bapak Teuku Alamsyah. Dekan III FKIP, Bapak Jufri juga turut memberikan sambutan. Jadi, meskipun kegiatan sastra dan dalam rangka ujian final, acara ini terkesan sebagai sebuah even sastra. Makanya, kami menamakannya sebagai Pesta Final Gemasastrin,” papar Herman RN.

Lelaki yang dikenal sebagai penulis muda Aceh itu menyebutkan bahwa pesta final tersebut akan terus diupayakan saban tahun, dengan berbagai variasi. Kata dia, tahun lalu, mahasiswa yang mengambil mata kuliah puisi hanya menampilkan muskilasisasi puisi. Kali ini juga ada dramatisasi puisi dan visualisasi puisi.

“Drama dulunya hanya berkutat pada drama panggung atau teater. Tahun ini sudah berhasil kita pertunjukkan tiga jenis drama. Ini prestasi luar biasa,” tuturnya.

Karena FKIP Unsyiah tidak memiliki prodi sastra atau dalam skup lebih luas karena Unsyiah belum mempunyai fakultas sastra, ranah ini diambil oleh Prodi PBSI, yang di dalamnya ada mata kuliah-mata kuliah sastra.

Menariknya, jelas Herman, di akhir acara diadakan pemilihan penampilan terbaik masing-masing kategori. Inilah yang menjadi kepuasan tersendiri bagi mahasiswa. Hal tersebut juga diakui salah seorang mahasiswa PBSI.

“Kami kira, karena ini ujian final, tidak dikompetisikan. Ternyata ada pemilihan pemenang. Kami senang kali ketika kelompok kami dipilih sebagai pemenang visualisasi puisi. Hilang sudah rasa lelah kami latihan selama ini, hehehe…” ungkap Rahmat Nutihar, yang disambut sorak teman-temannya.

Sejumlah mahasiswa PBSI yang ditanyakan tentang sistem perkuliahan seperti itu, mengaku bahagia sekali. Menurut mereka, sudah cukup persoalan teori diberikan di kelas.

“Di akhir ujian memang perlu pertunjukkan seperti ini untuk membuktikan kemampuan mahasiswa terhadap materi yang diperolehnya di kelas,” kata Al Husni, mahasiswa nonreguler yang memvisualisasikan puisi Nyeri Aceh karya Fikar W. Eda.

Ungkapan rasa puas serupa juga dinukilkan Mukhlis, dosen mereka. “Itu makanya, kita berharap agar Prodi PBSI memberikan kapasitas 3 atau 4 SKS untuk mata kuliah Drama. Dengan 2 SKS saja, mahasiswa mampu tampil seperti ini, bagaimana jika kuliahnya 4 SKS? Kami yakin film dan drama mereka mampu bersaing di luar,” pungkasnya bangga sembari berharap ke depan Prodi PBSI mau memberikan bobot 4 SKS untuk mata kuliah Drama. []

Birrul Walidain—suka buku dan sedang belajar nulis