“All generalizations are false,
including this one”.
Kumulai catatan ini dengan meminjam ungkapan dari seorang yang terlahir dengan nama Samuel Langhorne Clemens. Demi menghindarkan diri dari kesalahan penerjemahan, kukutip dengan bahasa asli dan arti yang mungkin dapat memberi konteks dan kesan berbeda. Nah… dengan demikian kuterjemahkan sebagai, “Tiap generalisasi adalah salah, termasuk yang satu ini.”
Setelah menyeruput kopi tadi, aku baru ingat, Samuel Langhorne Clemens lebih dikenal dengan nama pena Mark Twain. Ia orang Amerika yang berkiprah sebagai penulis, humoris, enterpreneur, penerbit dan pengajar. Meski gambaran tentang dirinya sebegitu komplit, aku lebih suka menyebutnya sebagai filsuf; sebab ia berhasil memeras saripati kehidupan dalam sebaris kalimat yang kukutip di atas. Penting bagiku untuk menggunakan kutipan, supaya ada backing, jadi kalaupun salah, aku tak sendirian. Backing-nyapun tak tanggung-tanggung, orang Amerika pula, warga negara adidaya meunan. Hahahahahahaha…
Generalisasi adalah sebentuk klaim penilaian tentang sekelompok orang, atau sekelompok benda yang dikaitkan dengan nilai tertentu. Contoh, semua orang berhidung pesek, berkuping caplang dan memiliki kadar pigmen seperti yang bertahta di kulitku cenderung kriminil.
Generalisasi kadang menjelma menjadi sebuah klaim tentang tindakan tertentu. Kutemukan ia dalam catatan bertajuk Haruskah Membandingkan Dua Perempuan? dan Kejahatan Perang vs Kejahatan Media. Artike pertama kubaca di Steemit, sementara artikel kedua kubaca di situs Serambi Indonesia. Kedua senarai tersebut milik Puan Yelli Sustarina. Tulisan pertama mempertanyakan pembandingan 2 perempuan yang mengambil contoh Razan Al-Najjar dengan Rebecca. Razan adalah perawat Palestina yang menjadi korban penembakan sniper Israel, sementara Rebecca adalah seorang tentarawati Israel yang tak ada kaitannya dengan kematian Rebecca.
Rebecca menjadi korban serangan media. Aku tak menemukan kejelasan yang terang mengenai bentuk serangan media yang dimaksud oleh Puan Yelli. Aku Cuma menemukan penjelasan mengenai media sosial dan media pada paragraf 8, 9, 10, 11, 12, 13 dan 15.
Di kalimat akhir paragraf ke-10, Puan Yelli telah mulai menghilangkan kata sosial di belakang kata media di judul tulisannya yang kedua. Berlandas pemikiran awamku, kata media yang muncul dalam konteks tulisan kedua Puan Yelli bermaksud menjelaskan media massa dengan segala formatnya (koran, majalah, tabloid, radio, website dan televisi). Sementara kata media sosial merujuk pada platform semacam twitter, Instagram, facebook, LinkedIn, Google+, Steemit dan lain-lain. Secara umum, pengguna media sosial adalah individu, meski ada juga perusahaan yang menggunakannya dengan mempekerjakan seorang karyawan khusus untuk mengelola.
Masih dengan pemikiran awam juga, penggunaan kedua format media ini dilakukan oleh 2 ragam subjek hukum yang berbeda. Media massa menyandang status subjek hukum berbentuk badah hukum (PT, CV, Firma, dll) sementara media sosial galibnya dipegang oleh orang yang berperan mewakili diri sendiri, disebut juga sebagai subjek hukum personal.
Nah… di sinilah aku menemukan titik kebingungan. Pada akhir paragraf ke-10 (artikel di Serambi Indonesia), kata ‘media sosial’ sekonyong berubah menjadi ‘media’. Hal yang menunjukkan generalisasi antara media massa dengan media sosial. Padahal, kedua ragam media ini memiliki dampak hukum, akibat hukum dan peristiwa hukum yang berbeda saat berinteraksi di tengah pergaulan manusia dalam menjalani kehidupan. Jadi, jika kesalahan dilakukan oleh pengguna media sosial, dampak kesalahannya tak elok ditanggung media massa. Pun jika ada kesalahan media massa, aku menemukan terminologi Trial by the Press yang menunjukkan kekejaman media dalam menghakimi sebuah peristiwa hukum di luar peradilan. Pers menganeksasi peran Polisi, Jaksa dan Hakim tepat pada saat mereka tengah mengemban tugas jurnalistik.
Aku sepakat dengan segala bentuk kegelisahan yang melatari pemikiran Puan Yelli. Cuma aku masih bingung dengan pola generalisasi antara media (massa) dengan media sosial yang kualami saat membaca tulisan Puan Yelli, baik di Serambi Indonesia maupun di Steemit. Mohon petunjuknya, ya…
Aduh… aku lupa bilang sebelumnya. Ada 2 generalisasi yang kualami saat membaca tulisan Puan Yelli di Steemit. Media (massa) vs media sosial adalah generalisasi pertama, sementara generalisasi kedua adalah soal pembandingan 2 perempuan. Di artikel yang dimuat di Serambi Indonesia, Puan Yelli mengulik mengenai Kejahatan Perang vs Kejahatan Media, sementara di Steemit beliau mengangkat persoalan pembandingan Razan dengan Rebecca. Razan yang berperan sebagai tenaga medis (atau paramedis?) untuk merawat demonstran yang terluka, sementara Rebecca yang 2 tahun silam berperan sebagai tentara; peran yang kemudian menyudutkannya di media sosial sebagai golongan pembunuh.
Aku sepenuhnya setuju… Aku sepenuhnya setuju… Aku sepenuhnya setuju dengan kemarahan Puan Yelli soal tak relevannya membandingkan peran kedua perempuan tersebut. Apalagi sampai menuding Rebecca yang sesungguhnya sudah berstatus purnawirawati sejak 2 tahun silam. Ini soal kemanusiaan yang kerap kita langgar; kebencian pada suatu kaum (dalam konteks ini Israel dengan zionismenya) membuat kita buta bahwa mereka juga manusia yang bisa saja benar sama dengan potensi mereka untuk bisa saja salah. Padahal, menurutku kebenaran dan kesalahan adalah nilai yang menyebar melintasi batas suku, bangsa dan negara. Bukankah begitu adanya?
Namun, samasekali bukan soal Israel vs Palestina yang membuatku cemas. Melainkan generalisasi kedua yang melarang atau mempertanyakan dan tampak sebal dengan tindakan membandingkan orang. Titik inilah yang membuatku merasa pusing dan bingung hingga menyalurkannya untuk menuliskan senarai singkat ini. Bagaimana mungkin kita sebagai manusia tak boleh membandingkan sesuatu hal dengan hal lainnya, atau tak boleh (tak layak) membandingkan seseorang dengan seseorang lainnya? Kita terlahir dalam dunia yang telah berada dalam landasan komparasi. Aku mendapati bahwa manusia adalah makhluk komparatif sejak kromosom yang menentukan jenis kelamin!
Pembandingan jenis kelaminlah yang kemudian menjadikan orangtua dan pergaulan hidup kita memilih nama, pakaian, mainan, permainan, pergaulan, pendidikan, kerja dan sederet peran yang melekat mengikuti pembandingan jenis kelamin. Bumi dan dunia menuntut kita untuk memenuhi syarat tertentu untuk masuk ke dunia kerja, bahkan hobby sekalipun. Negara memilah populasi warganya dengan membandingkan jenis kelamin, usia, jenjang pendidikan, pekerjaan, agama, alamat dan golongan darah.
Tidakkah kita memilih saat akan membeli sebuah produk? Smartphone? Sandang? Pangan? Papan? Provider Selular?
Bukankah orang lain juga memilih berkawan dengan kita setelah proses membandingkan. Bisa berlandaskan kegemaran, pendidikan, falsafah hidup, ideologi, kesamaan jenis makanan, objek obrolan, buku, jenis aroma parfum?
Kontestasi politik (Pilpres, Pilgub, Pilwalkot, Pilbup dan Pileg) juga ajang pembandingan kualitas personal. Kontestasi kecantikan, ajang idol-idolan, kecantikan, kegantengan, kekayaan dan kemelaratan; semuanya bermuara ke satu kata; Perbandingan. Zakat yang menjadi kewajiban dengan nisab tertentu juga dilandasi dengan pembandingan.
Bahkan, kualitas keberagamaan seseorang (internal ataupun eksternal) juga dinilai dengan perbandingan. Belum lagi ranah ilmiah (yang tentu telah dialami pula oleh Puan Yelli) mengenal istilah studi komparatif dalam terminologi penyusunan karya ilmiah maupun penelitian terapan. Komparasi menjadi upaya identifikasi, identifikasi adalah proses interaksi indera dengan objek/subjek, penginderaan adalah respon dari perintah otak, otak bekerja sesuai dengan kehendak. Perspektif apapun yang kugunakan, aku tetap menemukan bahwa ‘membandingkan’ dan ‘perbandingan’ sungguh halal adanya.
Apa yang salah dengan pembandingan? Apa yang salah dengan tindakan membandingkan orang dengan orang lainnya, perempuan dengan perempuan lain, lelaki dengan lelaki lain? Jika hidup adalah pilihan, mengapa kita tak boleh membandingkan. Tidakkah tiap kali memilih, kita sedang membandingkan? Atau mungkin ada yang salah dengan pemahamanku?
Atau, jangan-jangan orang-orang yang menyatakan “Aku tak suka dibanding-bandingkan dengan orang lain!” Cuma hendak berlindung dari kenyataan bahwa ada orang lain yang memiliki kualitas melebihi dirinya? Takut jika proses pembandingan berlangsung, bukan dirinya yang terpilih.
Aku masih berupaya husnudzan dengan larangan membanding-bandingkan seseorang atau sesuatu. Apakah mungkin yang Puan Yelli maksud adalah pembandingan secara vulgar. Misal, dalam menentukan tambatan hati, tiap orang boleh melakukan pembandingan di dalam hati atau dengan membuat tabel Excel untuk menilai beberapa kandidat. Jika membanding-bandingkan pilihan pendamping (kekasih, suami, istri, selingkuhan) adalah prilaku terlarang, mengapa ada istilah mantan? Tidakkah itu terjadi karena ada 1 di antara 2 pihak atau keduabelah pihak telah menemukan pilihan lain yang lebih baik? Atau mungkin karena lebih memilih tenang menjalani hidup sendiri? Tidakkah perbandingan, pembandingan dan membandingkan itu alamiah dan manusiawi adanya?!
Jika kita tak boleh membandingkan, mengapa ada simbol ±, =, ≠, >, <, ≈, ≥, dan ≤ dalam matematika? Mengapa ada upaya banding dalam ranah hukum? Atau, mungkin ada konteks ‘membandingkan’ dan ‘pembandingan’ yang luput dari kajianku atas catatan Puan Yelli? Mohon Petunjuk.
PS: Catatan ini telah kuniatkan untuk berdiskusi melalui Steemit untuk meningkatkan unsur sosial dari kemediasosialan Steemit. Tiap berdiskusi, aku selalu menjunjung azas untuk menempatkan kebenaran di atasku sehingga aku rela tertindih-pipih di bawah tegaknya.
Selamat berdiskusi…
“Jangan lupa bernapas!”
Image Source: Comparison