Batuk Sisa Masa Konflik

Taufik Al Mubarak

Tiap pulang ke kampung, aku pasti mendengar kisah-kisah sedih masa konflik. Dan, kisah itu diceritakan kembali oleh orang yang mengalaminya dengan gembira. Namun, kisah tersebut tetaplah sebuah kisah sedih sekalipun diceritakan dengan perasaan gembira.

Kali ini aku mendengar kisah sedih ini dari mulut Bang Noh, demikian lelaki yang dulunya pernah jadi penarik ojek di pasar Kembang Tanjung. Profesi itu nyaris membuat nyawanya terancam. Karena terlalu rutin mengantar seorang serdadu yang doyan membeli nomor togel di Kota Sigli, dia sempat dituduh sebagai cuak oleh para pejuang GAM.

Cuak adalah sebutan lain untuk tenaga pembantu operasi (TPO) atau mata-mata. Di masa konflik, masyarakat yang dekat dengan serdadu kerap dicurigai sebagai cuak. Mereka dianggap membocorkan rahasia perjuangan, memberitahu keberadaan orang GAM di Gampong, dan sering membantu para serdadu ketika menggelar operasi. Di kamp penyiksaan seperti di Rumoh Gudong, Pidie; di Rancong; atau di pos aparat, keberadaan cuak lebih menakutkan ketimbang serdadu benaran. Mereka menjadi tukang pukul yang sangat kejam.


Suatu hari, seorang kerabat dekatnya, Tgk Kadir, seorang anggota GAM di kawasan itu memanggilnya.

“Lon dungo droe kajuet keu cuak awak nyan, pue beutoi?” tanya Tgk Kadir.

“Soe peugah nyan? Neu kalon keudroeneuh pane na lon buet lagee nyan,” jawab Bang Noh.

“Kudungo sering kajak intat awak Koramil u Sigli.”

“Oooo…lon awak RBT. Kuintat soe mantong yang yue intat. Pane mungken beuho kutolak.”

“Pakon sabe kajak intat awak Koramil nyan?”

“Kiban han kayem, jih awak bloe buntut. Berarti nyang bri laporan nyan hana beutoi. Tanyoe kon keturunan cuak.”

“Adak juet bek toe-toe that ngon awak nyan. Kon katuoh keudroe kiban dimeujak buet awak nyoe.”

Sejak itu, bang Noh mulai jarang mengantarkan orang Koramil ke Sigli. Ia tak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun, masalah selalu menghampirinya. Pernah saat membayar rekening listrik kerabatnya ke Glumpang Minyeuk, dia ditangkap oleh serdadu BKO di pos dekat kantor camat. Sempat ditanya macam-macam. Bahkan, sepeda motornya hendak diambil paksa oleh mereka.

“Bagus ya sepeda motornya. Kami pakek ya?” tanya anggota BKO itu.

“Sepeda motornya baru dicuci. Ini masih sepeda motor sewa, pak. Jangan diambil.”

Beberapa orang kampung yang melihatnya berurusan dengan aparat itu tak yakin Bang Noh akan dilepaskan. Kabar itu bahkan membuat keluarganya di kampung pasrah dan menangis. Saat itu, ketika dibawa ke pos aparat kecil kemungkinan akan dilepas kembali. Hanya soal keberuntungan saja Bang Noh tak ditahan ketika itu. Namun, hal yang menimpa dirinya benar-benar membuatnya trauma.

Lalu, Bang Noh, bercerita saat dirinya dan beberapa orang kampung dipaksa ‘berenang’ di sawah yang mengering. Saat itu, mereka para anggota jaga sedang tertidur ketika serdadu dari kecamatan melakukan patroli rutin ke kampung-kampung.

Malam itu, serdadu tiba menjelang subuh. Semua anggota jaga pastilah sudah tertidur. Mereka tak menyangka aparat akan datang setelat itu. Lalu, ketika pos jaga digedor-gedor, barulah mereka terbangun.


“Lagi jaga kok tidur,” ucap seorang serdadu.
“Ngak ada pak. Kami memang lagi jaga,” kata anggota jaga, serempak.
“Apa lagi jaga. Cepat turun ke sawah,” perintah serdadu.

Mereka kemudian dipaksa “berenang” di sawah yang sedang kering kerontang. Lima kali bolak-balik. Sekuat apapun fisik kita, kalau disuruh merayap di dalam sawah yang luasnya seukuran lapangan bola, tentu saja alamat celaka.

Bang Noh sampai sesak nafas setelah kejadian itu. Sejak itu, dia sering sakit-sakitan, beberapa kali harus masuk rumah sakit. Hingga kini, tubuhnya tidak pernah normal kembali. Selagi dia bercerita pada siang itu, beberapa kali aku mendengar dia terbatuk-batuk. Batuk sisa konflik.

Leave a Comment