Qaid Arkana

Butuh Solusi Politik buat Papua Barat

Sydney – PEMBANGUNAN ekonomi pemerintah Indonesia di Papua Barat, sesudah tindakan keras pasukan keamanan terhadap pertemuan prokemerdekaan di Jayapura Oktober lalu, tak mungkin berhasil tanpa ada dialog politik. Imbasnya, seruan mengenai penentuan nasib sendiri akan terus berlanjut.

Selama setengah abad, penduduk asli provinsi Papua dan Papua Barat, di bagian barat New Guinea, yang secara etnis dan kultural merupakan suku bangsa Melanesia yang tersebar di Kepulauan Pasifik, berjuang untuk mendirikan negara sendiri setelah kekuasaan kolonial Belanda berakhir awal 1960-an.

Kongres Rakyat Papua I pada 1961 merupakan bagian dari dekolonialisasi. Namun upaya itu digagalkan oleh penyatuan wilayah itu ke dalam Indonesia setelah “Penentuan pendapat Rakyat (Pepera)” mengenai masa depan politik Papau Barat pada 1969, diawasi PBB, yang tampaknya dimanipulasi untuk menhamin suara mayoritas memilih integrasi.

Pemberian Otonomi Khusus pada 2001, setelah Kongres Rakyat Papua II, gagal meningkatkan status sosial dan ekonomi maupun kebebasan politik di Papua Barat.

Kongres Papua III, dipimpin Selpius Bobii, ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), diadakan di Abepura, Jayapura, dan dihadiri sekitar 5.000 peserta, dihadapi dengan kekerasan oleh pasukan keamanan Indonesia.

Pada penutupan kongres, 19 Oktober, setelah deklarasi kemerdekaan Papua Barat, kekerasan pecah setelah polisi dan tentara Indonesia menyalakkan rentetan tembakan guna membubarkan kerumunan massa, menembakkan gas airmata, dan menangkap sekira 300 peserta kongres.

Organisasi HAM, Kontras, melaporkan bukti-bukti aparat keamanan Indonesia melakukan “pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, serta perbuatan tak manusiawi dan penggunaan kekuatan secara berlebihan” terhadap peserta kongres, sementara mereka yang ditangkap menderita “tindakan kekerasan dalam bentuk pemukulan dengan batang kayu, laras senapan, serta ditendang serta dipukul.”

Sedikitnya enam peserta kongres tewas dan enam lainnya masih dalam tahanan, termasuk  Selpius Bobii, Forkorus Yaboisembut, ketua Dewan Adat Papua, dan Edison Waromi, presiden Otoritas Nasional Papua Barat, dengan dakwaan “makar.”

Demonstrasi prokemerdekaan meluas di seluruh provinsi itu setahun terakhir yang dibakar gejolak frustasi karena 10 tahun kegagalan Otonomi Khusus, impunitas pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan, dan gencarnya program transmigrasi ke Papua dan Papua Barat yang mendorong penduduk asli Papua secara demografis menjadi minoritas.

Secara bersamaan, gerakan prokemerdekaan mendapat sokongan dari pemerintah Vanuatu, negara tetangga Papua, yang pada 2010 memutuskan kebijakan luar negerinya mendukung Kemerdekaan Papua Barat. Ia juga menerima dukungan dari Pengacara Internasional untuk Papua Barat yang bikin konferensi di Inggris Raya pada Agustus lalu.

Camellia Webb-Gannon, koordinator proyek Papua Barat di Pusat Studi Perdamaian dan Konflik Universitas Sydney, menjelaskan: “Pemerintah pusat telah gagal meloloskan undang-undang penting yang memungkinkan Otonomi Khusus sepenuhnya dilaksanakan.”

“Pemecahan Papua Barat menjadi dua provinsi menggerogoti Otonomi Khusus dan menjadi jalan bagi proses ‘pemekaran’ di mana Papua dan Papua Barat secara administratif terpecah dan karenanya menjadi lemah. Banyak kebebasan yang dijanjikan di bawah Otonomi Khusus, seperti hak mengibarkan bendera Bintang Kejora, sejak itu dicabut.”

Sementara pemerintah juga meneruskan tanggungjawab atas pendapatan yang besar dari tambang tembaga dan emas di Grasberg, Timika, milik maskapai raksasa Freeport-McMoran, yang menghasilkan 50 persen PDB Papua, provinsi ini memiliki indeks pembangunan manusia terendah di Indonesia.

“Meski Papua dan Papua Barat mendapat aliran dana dari pusat, merebaknya korupsi di tingkat provinsi dan administrasi di bawahnya menyebabkan sebagian besar dana tak pernah mengalir ke proyek-proyek dan orang-orang yang sangat membutuhkan,” ujar Webb-Gannon.

Dana Otonomi Khusus menopang korupsi elit dan mengekalkan perilaku pencari rente tentara karena pembatasan dan pengawasan yang tak memadai atas dana ini, demikian Webb-Gannon.

Karena Indonesia khawatir pemisahan bisa mengancam disintegrasi nasional, pasal “makar” pun dipakai untuk menjerat para demonstran prokemerdekaan. Selain itu pemerintah mendapat keuntungan besar dari sumber daya alam Papua.

Indonesia telah membuat langkah penting sebagai negara demokrasi sejak berakhirnya rezim militer Suharto pada 1998. Tapi kekuatan militer masih terus dipakai dan berperan dalam pelanggaran HAM, korupsi, dan pemerasan yang umumnya kebal terhadap penolakan dari negara atau masyarakat sipil.

Human Rights Watch melaporkan: “Tuduhan baru mengenai keterlibatan pasukan keamanan dalam penyiksaan muncul pada 2010. Tapi militer tetap melindungi perwira-perwiranya dari penyelidikan dan pemerintah membuat sedikit upaya untuk meminta tanggung jawab mereka. Pembahasan RUU di parlemen juga tak ada kemajuan sama sekali, yang akan memberikan wewenang kepada pengadilan sipil untuk mengadili tentara yang dituduh melakukan pelanggaran terhadap warga sipil.”

Kegiatan ilegal Tentara Nasional Indonesia di provinsi Papua meliputi penyeludupan narkoba, prostitusi, perdagangan burung tropis yang langka, operasi pembalakkan liar dan legal, perjudian dan pemerasan terhadap penduduk desa.

Pengawas korupsi, Global Witness, juga mengungkapkan pada 2005 Freeport membayar jutaan dolar kepada TNI untuk jasa keamanan di sekitar lokasi Grasberg, titik konfrontasi kekerasan terakhir antara TNI dan buruh, yang melakukan mogok sejak 15 September guna menuntut kenaikan upah, mengakibarkan seorang buruh meninggal dunia pada pertengahan Oktober.

Kini pemerintah Indonesia mengumumkan suatu tim khusus bernama Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat guna mengawasi alokasi dana otonomi dan memulai dialog dengan kelompok-kelompok sipil.

Neles Tebay, pendeta Keuskupan Katolik Jayapura, yang mengkampanyekan dialog damai, berkata: “Penduduk Papua Barat trada diperlakukan sebagai manusia dan kepercayaan kitorang su hilang. Bangun lagi kepercayaan antara pemerintah Indonesia dan penduduk Papua akan sulit.”

Tebey mengharapkan presiden Indonesia menunjuk utusan khusus untuk memulai dialog politik dengan perwakilan politik Papua Barat.

Pengumuman pemerintah yang positif saat ini mengabaikan tuntutan utama Deklarasi Kongres Papua III, yakni penghentian pendudukan Indonesia.

“Di Timor, referendum menyebabkan perubahan aspirasi rakyat dan hal itulah yang didorong banyak generasi aktivis di Papua Barat sekarang,” kata Webb-Gannon. [Catherine Wilson]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di AcehCorner.Com atas izin Yayasan Pantau.