SEORANG perempuan memanen padi sendirian di sawah Kampung Batee Lhee, Seulimeum, Aceh Besar. Kaum perempuan bekerja di sawah merupakan pemandangan biasa di Aceh Besar.
Kami berpapasan dengan perempuan itu ketika sedang melakukan pengambilan gambar dan wawancara dengan fasilitator desa di kampung tersebut. Sang perempuan paruh baya itu menggunakan tudung untuk melindungi kepalanya dari sengatan matahari. Lilitan kain di kepalanya sudah basah dengan keringat.
Di Aceh Besar, kegiatan memotong padi memang banyak melibatkan kaum perempuan, tak terkecuali di Desa Batee Lhee. Perempuan yang kira-kira berumur 50 tahun tersebut begitu lincah memotong padi. Dia pun berpindah dengan sangat cepat dari satu lokasi ke lokasi lain, dengan menyisakan banyak batang padi yang tak terpotong. Mulutnya tak henti-hentinya mengomel dan seperti berbicara sendiri.
“Abeh dipajoh pade le tikoh,” katanya, komat-kamit. Kami memperhatikan batang padi yang tak terpotong tadi, dan mendapati banyak bulir padi yang sudah kosong. Hama tikus menyerang hampir semua tanaman padi di desa itu, selain oleh hama burung dan babi.
Kami perhatikan di areal sawah, banyak warga memasang kawat penangkal babi. “Jika tidak diantisipasi begini, saban tahun masyarakat akan gagal panen,” kata Asep, seorang fasilitator desa di sana.
Di beberapa hamparan sawah, kami melihat masyarakat memasang orang-orangan untuk mengusir pipit. Mereka menggunakan tali yang sudah diikat kaleng susu, dan ditarik memanjang dari satu rangkang ke rangkang lain. Saat burung pipit hendak hinggap di tanaman padi, tali itu ditarik-tarik dan digoyang-goyangkan, sehingga mengeluarkan bunyi ‘ting-tang, ting, tung.” Di dalam kaleng susu itu sudah diisi dengan batu kecil atau kerikil.
Menurut Asep, masyarakat di Mukim Lamkabeu rata-rata menanam padi setahun sekali. Setelah panen, masyarakat tak memanfaatkan musim luah blang (waktu seusai panen yang biasanya berlangsung panjang) untuk menanam palawija. Biasanya, selesai panen, masyarakat melepaskan ternak mereka di areal persawahan. Masyarakat jarang memanfaatkan musim gadu untuk menanam padi. “Jika ada masyarakat yang menanam padi, mereka harus memasang pagar untuk melindungi tanaman padinya dari gangguan binatang ternak,” jelas Asep. Kalau pemilik lahan tak memasang pagar, pemilik ternak tak bisa disalahkan.
Soal ternak memang diatur sedemikian rupa di kampung yang berada di kaki Seulawah itu. Di musim tanam, pemilik ternak harus melepaskan binatang peliharaannya itu di Padang Meurabe, areal khusus yang diatur dengan qanun gampong sebagai tempat melepaskan ternak. Jika ada ternak masyarakat yang dilepas ke sawah saat musim tanam dan sampai merusak tanaman, pemilik ternak dikenakan denda. Keberadaan Padang Meurabe dijaga secara bersama-sama oleh masyarakat.
“Tidak boleh membuka lahan perkebunan di lahan Padang Meurabe,” kata Keuchik Meunasah Tunong. Padang Meurabe khusus dimanfaatkan tempat penggembalaan ternak di musim tanam. Sementara seusai panen atau saat musim luah blang, ternak boleh dilepaskan di lahan. Hal itu dimaksudkan agar rumput yang ada di Padang Meurabe kembali tumbuh normal. Sehingga ketika musim tanam tiba, ternak memiliki pakan yang cukup.
DARI lima kampung di Mukim Lamkabeu, empat kampung di antaranya memiliki cerita unik masing-masing. Kampung Batee Lhee, misalnya. Nama untuk kampung ini, menurut warga sekitar, diambil karena ada tiga tumpukan batu besar di wilayah itu. Saya tidak menemukan batu mana yang mereka maksudkan. Saya hanya melihat batu besar yang berada di sebuah pintu gerbang menuju areal persawahan. Tapi, jumlahnya bukan tiga, melainkan ada lima batu yang teronggok di tepi sawah itu.
Nama kampung Bayu yang bertetangga dengan Ayon, konon diambil dari nama yang diberikan Belanda. Saat serdadu Belanda melakukan patroli untuk mengejar para pejuang Aceh, mereka singgah di kawasan di kaki Gunung Seulawah itu. Di kawasan itu terdapat sebuah pohon bayu besar. Agar gampang memberi tahu pasukan yang lain, serdadu Belanda menyebut kawasan mereka tinggal itu dengan sandi Bayu. Nama itu pun dipakai untuk nama kampung yang banyak menghasilkan madu itu.
Sementara nama Ayon, lebih menarik lagi. Nama itu diambil dari sebuah kejadian aneh yang terjadi di kawasan itu. Di tengah areal persawahan, terdapat sebuah tanah lapang. Di atas tanah lapang itu terdapat dua bongkahan batu besar yang berdekatan dengan tinggi lebih kurang 4 meter. Di sisi tanah lapang itu tumbuh pohon kelapa. Konon, di atas batu yang dipercaya punya penunggu itu, masyarakat melihat seekor ular sedang bergantungan dengan kondisi sedang berayun-ayun. Ular berayun termasuk pemandangan unik kala itu. Peristiwa ular berayun tersebut di kemudian hari dijadikan nama untuk kampung itu.
Sebelum masuk ke desa Ayon, kita akan disambut sebuah papan nama bertuliskan, “Dilarang Menjual Makanan Anak-anak.” Menurut warga, makanan yang tak boleh dijual di kampung adalah berupa bakso goreng, ice cream dan sejenisnya. Selain faktor kesehatan, larangan itu dimaksudkan untuk menghindari kecemburuan sosial di antara anak-anak. “Sebab tak semua anak-anak memiliki uang,” kata Ahmad Syihan, warga Bayu ketika mendampingi kami ke desa Ayon.
Cerita tak kalah menarik berasal dari Kampung Mangeu. Masyarakat di Mangeu percaya nama kampungnya berasal dari sebuah legenda. Suatu hari, seorang putra raja dari Samalanga hendak berangkat ke Istana Dalam di Bandar Aceh. Untuk sampai di pusat kerajaan Aceh itu, sang putra raja melewati perkampungan penduduk di lereng pegunungan Seulawah. Karena terlalu lelah seusai perjalanan jauh, rombongan putra raja itu singgah di sebuah permukiman penduduk di kaki Gunung Seulawah.
Mengetahui anak bangsawan yang mampir di perkampungan mereka, masyarakat menyambut dengan suka cita. Sang putra raja itu pun dilayani selayaknya putra raja. Dia juga dipeusijuek secara adat di situ. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandar Aceh, putra raja itu didandani (mungui atau dipeungui dalam bahasa Aceh) terlebih dahulu. Kisah putra raja di-peungui itu kemudian dipakai sebagai nama kampung. “Kata meungui (dandan) pengucapannya lama-lama menjadi mangeu,” kata Keuchik Juned. (source)
Di Mangeu ini, lanjut Keuchik Juned, nama dusun pun berasal dari sebuah legenda. Di lahan kosong dekat areal sawah, ada sebuah sumur tua. Mulut sumur yang disemen itu tampak kecil, tapi begitu ke dalamnya jadi lebar. Ukuran mulut sumur sekecil itu hanya muat satu timba untuk mengambil air. Sekitar satu meter dari mulut sumur ada bak penampung kecil, mungkin tempat menaruh peralatan mandi. Lantainya disemen, tapi sudah mulai retak dimakan usia.
“Sumur tua itu dikenal dengan nama Mon Dara Got,” cerita Keuchik Juned. Dulunya, di sumur itu hanya boleh digunakan oleh perempuan/wanita cantik untuk mandi. Sementara perempuan yang memiliki rupa biasa-biasa saja tidak diperkenankan menggunakan sumur itu. “Karena yang mandi itu perempuan cantik, makanya dikenal dengan nama Mon Daragot,” sambungnya. Daragot itu artinya wanita baik/cantik.
KEHIDUPAN masyarakat di Mukim Lamkabeu masih kental dengan budaya lokal. Pengaruh luar belum begitu terasa di sana. Rumah warga masih berupa rumah Aceh atau rumah panggung, hanya sebagian kecil saja yang sudah membangun rumah permanen. Masyarakat di Mukim Lamkabue rata-rata berprofesi sebagai petani, pekebun, dan peternak: kerbau, sapi dan kambing.
Sore harinya pemuda Bayu menghabiskan waktu dengan bermain bola voli di lapangan voli di samping meunasah. Pemain tak hanya berasal dari pemuda kampung Bayu, melainkan juga dari Ayon dan Meunasah Tunong. Seusai bermain bola voli, mereka memilih mandi di sungai atau alur menurut istilah mereka. Ada pula sebagian yang memanfaatkan sumur meunasah untuk mandi.
Di malam hari, pemuda lebih banyak memilih menginap di pos jaga, meunasah atau di balai dekat meunasah. Di kampung Bayu, misalnya, hanya memiliki satu warung kopi, untuk tempat nongkrong dan minum kopi. Warung itu buka hingga larut malam. Malam hari, warga sering memanfaatkan warung itu untuk berdiskusi mengenai panen sarang lebah atau berburu rusa. Ya, mengambil madu menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat di kaki Seulawah itu. Selain ternak, madu merupakan sumber penghasilan utama masyarakat di Lamkabeu, terutama masyarakat Bayu dan Ayon.
Setiap malam Jumat, pemuda menggelar zikir dan pembacaan selawat di meunasah. Kegiatan ini rutin dilakukan. Untuk menjaga kekompakan, masyarakat di Mukim Lamkabeu sering menggelar pengajian bersama, dilakukan secara bergiliran di lima kampung. “Jika malam Selasa di Desa Bayu, maka malam Rabu atau Kamis di Ayon, malam lain di kampung lain lagi,” kata Keuchik Bayu, Zainuddin.
Dalam hal penanganan orang meninggal, masyarakat di Bayu punya ketentuan yang tergolong unik. Jika ada warga setempat meninggal, warga menggelar takziah di meunasah gampong selama tiga hari berturut-turut. Semua kebutuhan, mulai dari memandikan mayat, penyediaan kafan dan keranda, serta kebutuhan kue untuk orang berdoa, ditanggung dengan kas desa. “Bagi warga yang sudah lama tidak menetap lagi di kampung, mereka tidak menggelar takziah meunasah,” kata Asep, fasilitator desa yang mendampingi kami selama di Lamkabeue. []