Dibully Saat Membaca Buku, Ini yang Dilakukan Pria ini

Rio Pauleta

Aku adalah dari sekian banyak anak sekolah yang aneh di masaku. Dari SD tanpa kusadari aku suka membaca buku. Awalnya sih buku-buku cerita dan buku apa saja di perpustakaan.

Di SMP aku hanya ingat sekali saat ada bus perpustakaan keliling, dalam bayanganku dulu bus itu besar sekali, bisa memuat anak kecil untuk membaca di dalamnya, dan penuh buku-buku warna-warni yang menarik mata. Di situlah aku menemukan buku Asterik dan Obelix, yang kemudian aku habiskan saat SMA, di SMA aku sudah bisa beli buku sendiri yang meminta dulu permisi sama ayah.

Merupakan pengalaman yang aneh ketika kuliah, aku masuk FLP dan tak suka membaca lagi di awalnya. Malah bertengkar dengan pengurusnya bahwa aku mengaku bisa menulis tanpa membaca. Tapi entah karena sering mengikuti seminar, membuat seminar kepenulisan ataupun bertemu dengan penulis-penulis dan mereka kasih buku, aku mulai membaca lagi. Dan kali ini dalam tahap dosis tinggi.

Akibat sudah ada gaji dan belum ada istri, tiap bulan aku selama mengajar di SUKMA Bangsa, membeli beberapa buku. Kadang untuk buku habis hampir setengah juta… waaa! Daripada beli celana baru, padahal celana sudah sobek dan segera harus diganti baru, dan beberapa lain sudah ketat dan sudah tak nyaman dipakai, maka dari itu harus beli celana, tapi di kota ini, takada yang muat, dan harus dijahit baru sesuai ukuran.

Maka kembali pada membaca, ayahku cuma membaca satu buku. Ini kesimpulan hasil dari kulihat di gudang rumah hanya kutemukan dari tumpukan kain dan kertas, buku Berpikir dan Berjiwa Besar juga buku Cara Kembali Ke Jalan yang benar, entah itu judulnya. Rupanya sama, maksudnya sampul buku jaman dulu kan, judulnya aja dengan huruf cetak warna emas, dan kulit sampulnya macam sampul buku agenda orang kantoran.

Maka ayah bukan pemancing utama aku membaca, jika bisa kita tuduh yang membuat aku membaca adalah pamanku. Drs Jafar (Alm) beliau punya banyak buku tentang Aceh dan aku sebagai petugas pengambil Koran beliau beberapa waktu saat kami tinggal di Tangse, maka aku adalah pembaca utama dalam rumah itu, akan dianya berita Koran lebih awal dari orang lain di rumah.

Serambi Indonesia adalah dulu yang menariknya Gam Cantoi, apit Awe dan yang lain tak aku baca, dulu ada Resensi buku juga, padahal keren kalau di adakan lagi di Serambi, biar apa sikit gitu literasi di daerah kita. Ini kita tinggal menyisakan Kolom cerpen dan esai budaya yang menarik, yang lain aku jarang baca, Cuma lihat judulnya saja. Hehe

Saat di Sigli, setelah pulang dari Banda Aceh menuntut ilmu. Saya mengabdi di kota ini, membuka kembali FLP Sigli, supaya literasi bergerak kembali setelah beberapa minggu kegiatan jalan, lalu padam karena salah saya sudah suka ke Banda Aceh lagi untuk menyambung kuliah.

Untuk diri sendiri sudah termotivasi untuk membaca, tapi untuk publik kota – kota di Pidie pembaca saya yakin banyak, tapi belum ada wadah khusus untuk mempertemukan mereka semuanya. Saya membuatlah akun Instagram @pidiemembaca, semoga semua warga tahu dan kita para pembaca boleh sekali-sekala membuat acara, misalnya surah buku, arisan buku atau kegiatan lain yang menyangkut buku.

Dari Pulo Gajah Mate, Riazul Iqbal Melaporkan

sumber gambar http://riobacabuku.blogspot.com/

Leave a Comment