Busan – KESEPAKATAN baru bagi “negara-negara rapuh” (fragile states) dari G7+ –sebuah kelompok yang terdiri dari 19 negara yang memerangi kemiskinan, ketidakstabilan, dan konflik kekerasan– dipuji sebagai satu terobosan besar dalam Forum Tingkat Tinggi Ke-4 mengenai Efektivitas Bantuan, awal pekan lalu.
1,5 juta orang yang hidup di negara-negara rapuh itu membutuhkan bantuan yang signifikan bagi pemerintahan dasar dan transformasi ekonomi. Kebanyakan dari mereka mengalami konflik sejak 1989 dan 30 persen dari Bantuan Pembangunan Luar Negeri (ODA) dihabiskan dalam konteks kerapuhan dan dampak konflik.
Meski ada komitmen bantuan, negara-negara rapuh itu bergerak lebih jauh untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs).
Kesepakatan baru itu dibangun di atas dasar lima tujuan baru –legitimasi politik, keadilan, keamanan, pondasi ekonomi, serta pendapatan dan pelayanan– yang disesuaikan dengan situasi masing-masing negara. Negara-negara rapuh meliputi Afghanistan, Sudan Selatan, Kenya, dan Timor Leste.
Emilia Pires, menteri keuangan Timor Leste, bekerja tanpa lelah untuk mengubah bantuan pembangunan tradisional untuk menyesuaikan kerentanan tertentu dari negara-negara rapuh.
Berikut petikan wawancara dengan Emilia Pires:
Pengesahan kesepakatan baru di Busan dipandang sebagai satu pencapaian besar. Apa signifikannya?
Bagi negara-negara rapuh, realisasi dari kesepakatan baru menandakan sebuah perubahan berani mengenai bagaimana bantuan dikeluarkan dan mempengaruhi kami. Sebagai permulaan, Busan dengan jelas menerima bahwa negara-negara inilah yang akan menentukan arah pembangunan mereka sendiri.
Pesan dari kami adalah target pencapaian MDGs pada 2015 tak bisa diterapkan pada negara-negara rapuh yang mengalami atau berurusan dengan konflik dan krisis. Jelas butuh syarat-syarat baru yang diterapkan bagi bantuan untuk negara-negara rapuh. Inilah alasan mengapa kami gelisah meski pada akhirnya menyadarinya.
Apa saja cara-cara baru yang akan diterapkan sesuai kesepakatan baru itu?
Jelas, terobosan di Busan hanyalah permulaan. Kini tiba bagian penerapan yang sulit dan saya berharap akan ada banyak pertarungan dengan mitra donor kami ketika kami melangkah. Sebagai contoh, mengembangkan indikator-indikator yang jelas untuk memantau hasilnya. Praktik tradisional menunjukkan bahwa donor yang memantau perkembangan.
Kesepakatan baru, yang mendukung kepemilikan negara (country ownership), akan membuka jalan bagi pemerintah-pemerintah negara rapuh untuk berharap para donor mendukung pemantauan kami sendiri dengan menggunakan tenaga ahli.
Yang terpenting, para ahli itu akan bekerja dengan kami untuk mengembangkan hasil-hasil yang dicapai, bukannya dikirim lembaga-lembaga pemberi pinjaman untuk melakukan pemantauan mereka sendiri. Perubahan ini akan memungkinkan mitra lokal ikut berpartisipasi dan belajar tentang pemantauan hasil-hasil yang dicapai dan berkontribusi bagi efektivitas pembangunan.
Mengapa bantuan pembangunan gagal di negara-negara rapuh?
Contoh di atas sangat tepat untuk mengambarkan mengapa pola bantuan tradisional tak berjalan efektif –benar-benar karena banyak bantuan di dunia tak memperkuat kapasitas masyarakat di lapisan bawah. Dialog kami dengan para mitra G7 menekankan perlunya mengubah pola bantuan dengan fokus pada MGDs untuk negara-negara rapuh.
Sebagai contoh, bantuan untuk memperbaiki akses pendidikan bagi masyarakat miskin –satu tujuan MDGs– tak bisa digunakan efektif di negara-negara rapuh lantaran krisis menyebabkan anak-anak tak bisa sekolah. Akibatnya, dana harus dikembalikan.
Namun, dengan kesepakatan baru, indikator-indikator yang termasuk masalah akibat krisis akan dipertimbangkan. Mengembangkan struktur-struktur baru berdasarkan sistem negara masing-masing merupakan cara terbaik.
Kesepakatan baru secara khusus mengidentifikasi keterlibatan pemuda dan perempuan sebagai aktor penting dalam perdamaian dan pembangunan negara. Bagaimana melakukannya?
Melakukan pengembangan kapasitas pemuda Timor Leste sangatlah penting. Saya menganggapnya sebagai kesempatan luas bagi mereka untuk belajar dan menatap ke depan. Mereka layak mendapat kesempatan yang sama seperti rekan-rekan mereka di negara-negara yang tak mengalami konflik dan kekerasan.
Harus dicatat bahwa generasi muda yang mengalami konflik panjang, termasuk di Timor Leste, hanya mengalami kekerasan. Sebuah gambaran kuat akan hal ini adalah fakta bahwa anak-anak di Timor Leste belum pernah main ayunan yang mewakili kegembiraan bagi anak-anak lain.
Untuk mengubah pola pikir itu, pemerintahan harus berinvestasi dalam pengembangan kapasitas dan proyek-proyek yang memberi harapan dan dukungan bagi sistem keluarga sejahtera. Kami butuh ayunan, konser-konser untuk pemuda sebanyak kami membutuhkan rumahsakit dan sekolah. Inilah alasan mengapa saya katakan mari membangun jalan yang, untuk contoh, mungkin tak membawa kita ke mana-mana namun efektif karena generasi muda akan belajar ketrampilan membangun jalan.
Apa yang berubah di Busan mengenai efektivitas bantuan?
Deklarasi Paris sudah menetapkan jalan bagi kepemilikan negara namun di Busan kita melihat hal ini jadi kenyataan. Data suram mengenai efektivitas bantuan menunjukkan pada dunia perlunya mengubah perilaku saat ini juga. Kesepakatan baru menawarkan mereka sebuah cara baru dengan membuktikan bahwa bantuan bagi mereka melibatkan uang namun bagi kami kehidupan.
Prinsip-prinsip dasarnya sama. Saya percaya pentingnya transparansi, proses demokrasi, dan akuntabilitas. Misalnya, anggaran nasional di Timor Leste tersedia secara online. Karenanya, yang perlu kita ubah adalah sikap. Negara-negara donor harus menyadari bahwa negara-negara miskin bisa membuat keputusan sendiri dan sudah banyak yang berupaya melakukannya.[Suvendrini Kakuchi]
Translated by Farohul Mukthi
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di AcehCorner.Com atas izin Yayasan Pantau.