SEBUAH rumah kayu berbentuk panggung berdiri kokoh di lahan yang ditanami coklat (kakao). Rumah yang berada di lorong Cendana, di sisi Jalan Banda Aceh-Medan itu tampak sederhana. Seperti rumah Aceh lainnya di kawasan itu, kita harus menggunakan tangga untuk naik ke lantai atas. Beberapa anak tangga sudah lapuk dimakan usia. Sementara bagian dasar sudah disulap sebagai gedung untuk usaha warung internet (warnet), juga sebagai tempat tinggal.
Satu-satunya penanda bahwa rumah itu sebuah kantor adalah plang nama “Balai Kegiatan Forum Alur Mancang Saree” yang tampak tertutupi oleh daun kakoa. Sejak beberapa tahun terakhir, lantai dua itu sudah disulap sebagai sekretariat FAMS atau Forum Alur Mancang Saree. Dari sinilah sebagian aktivitas FAMS direncanakan.
Ruangan di kantor FAMS ini cuma seukuran 4×6 meter. Sebuah peta Provinsi Aceh dan Sumatera Utara digantung di sisi kanan kantor, dan sudah tertutup dengan kertas buram yang berisikan alur kerja FAMS. Di dalam ruangan yang disulap sebagai kantor itu cuma ada tiga kursi dan meja kerja, satu lemari file dari besi, sebuah lemari kaca tempat menaruh dokumen, dan satu lemari file terbuka.
Selain untuk menyimpan dokumen, lemari kaca juga digunakan untuk menaruh alat-alat outbound. Di dinding dekat lemari itu ada sebuah kertas bertulisan, “WARNING: Setelah Kegiatan Outbound, Hitung dan Susun Alat pada Tempat yang disediakan”. Di atas meja tak ada satu pun fasilitas kerja seperti komputer atau printer.
“Komputer dan beberapa dokumen sudah dibawa pulang ke rumah ketua,” kata Edy Kusmanto, seorang aktivis FAMS yang kami temui di kantor itu. “Untuk lebih aman, alat-alat itu disimpan di rumah ketua,” lanjutnya, kemudian. Ketua yang dimaksud Edy adalah Anzurdin, penanggung jawab semua program FAMS.
Menyimpan komputer dan barang-barang penting di kantor, kata Edy, sama sekali tidak aman. Apalagi, kantor itu 24 jam dalam kondisi terbuka. Sudah banyak banyak alat-alat outbound yang hilang. “Tahu sendirilah bagaimana kantor ini. Terbuka 24 jam dan tak dikunci. Orang bisa masuk lewat jendela,” kata dia. Di luar ruangan itu, ada tempat yang sudah disulap sebagai ruang rapat dan bisa menampung hingga 30 orang.
Edy Kusmanto mulai bergabung dengan FAMS setelah tamat dari Sekolah Pertanian Pembangunan/Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPP/SPMA) Saree tahun 2007. Lelaki yang lahir pada 29 September 1986 itu mengaku awalnya hanya diajak mengikuti kegiatan FAMS. “Saya diajak bang Anzurdin,” ceritanya. Padahal, dia sama sekali tidak mengerti apa itu FAMS. Hanya yang dia tahu sekilas, FAMS aktif mengadvokasi kebutuhan air untuk masyarakat di dua kampung yang menjadi fokus kerja FAMS: Suka Damai dan Suka Mulia
Karena sudah merasakan bagaimana pentingnya kebutuhan air, dia langsung mau saat diajak bergabung dengan FAMS. Dia mulai lebih sering diajak melihat sumber air di kawasan Alur Mancang, yang jaraknya setengah hari jalan kaki.
“Awalnya saya mengikuti kegiatan FAMS karena penasaran,” jawab dia saat ditanya alasannya mengikuti kegiatan FAMS. Selama mengikuti patroli, Eddy punya pengalaman berkesan. Dia bersama anggota Polsek Lembah Seulawah pernah menangkap pelaku illegal logging. “Saat patroli kita melihat ada tanda-tanda perambahan hutan. Kita lalu lapor ke Polsek,” katanya.
Saat itu, Edy mengaku tak berani mengambil tindakan sendiri. Agar lebih aman, dia meminta dukungan dari anggota Polsek. Tujuannya untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. “Setelah kita tangkap langsung kita serahkan ke Polsek. FAMS tak punya wewenang memproses pelaku illegal logging,” jelasnya.
Menurut Edy, mereka rutin melakukan patroli, kadang dua minggu sekali, dan lebih rutin sebulan sekali. Saat patroli mereka kerap membawa bibit tanaman untuk ditanam di jalur Alur Mancang. “Bibit itu hasil swadaya dari masyarakat, kita kumpulkan jadi satu,” kata lelaki bertubuh ramping ini. Dia pun rutin menyumbang bibit tanaman untuk kebutuhan rehabilitasi hutan. Di halaman rumahnya, dia semai beberapa bibit tanaman: ada cokelat, durian, pete, alpukat, pinang. “Sebagian saya sumbang, sebagian lagi saya tanam di kebun sendiri,” sebutnya. Dia memiliki kebun sendiri seluas tak kurang dari satu hektar.
SUATU hari, saya diajak melihat dari dekat sumber air Alur Mancang. Kami melewati sejumlah kebun warga. Aktivis FAMS membuat jalan tikus untuk ke sumber air. Di sejumlah lokasi, mereka memberi penanda berupa jalur ke sumber air, jalur gajah dan harimau dan batee hitam.
“Beginilah kondisi sumber air untuk kampung kami,” kata seorang aktivis saat kami mencapai lokasi sumber air Alur Mancang. Alur Mancang itu dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan rimbun, seperti beringin, ara, jaloh dan beberapa jenis pohon yang berfungsi menampung air. Areal hutan yang dikelola oleh FAMS sebagai sumber air seluas 602 hektar. “Dari dam/bak penampungan air sampai ke perkampungan penduduk, jaraknya sekitar 4 kilometer,” kata Anzurdin. Air itu lebih dari cukup untuk menghidupi masyarakat dari dua desa. []