Jakarta-Kondisi Aceh yang mencemaskan jelang pelaksanaan Pilkada, semakin menegaskan, bahwa proses Pilkada tidak ditempatkan menjadi bagian dari proses Rekonsiliasi yg perkokoh perdamaian di Aceh. Sejak awal persiapan pelaksanaan Pilkada sudah diingatkan untuk membentuk Qanun sebagai landasan hukum pelaksanaan Pilkada, sebagaimana diamanatkan oleh UU no 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Hal ini dikatakan Mantan Ketua Pansus RUU Pemerintahan Aceh, Ferry Mursyidan Baldan, Kamis (12/1) pada Aceh Corner. Menurutnya, secara norma membentuk qanun adalah hal penting, karena terdapat pengaturan yang bersifat khusus dan memerlukan pewadahannya.
“Selain itu, jika ada norma dalam UU lain, yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh, dapat dimuat dalam Qanun sebagai pengaturan yg melengkapinya. Amanat yg sesuai dengan UU PA ini, tidak saja penting, tapi dia sejak awal sudah menempatkan secara proporsional semangat untuk mufakat dari banyak elemen masyarakat Aceh,” ujarnya.
Karenanya, kata Fery, pengabaian pembentukkan Qanun menjadi suatu hal yg patut dipertanyakan. Ferry menambahkan, lebih lagi ketika ada review ke MK pasal 256 UU Pemerintahan Aceh, yang mengatur tentang calon independen dan dengan adanya gugatan TA Khalid ke MK tentang SK Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh.
“Bahkan dalam putusan sela MK atas gugatan TA Khalid tersebut, dalam pertimbangannya MK menyebut ‘adanya ketidak pastian hukum’ berkaitan belum dibentuknya Qanun yang baru. Seharusnya semua putusan tersebut menjadi bahan untuk permufakatan untuk diakomodasi dalam Qanun tentang Pilkada,” lanjut Ferry.
Katanya, pembentukan Qanun baru, untuk menggantikan Qanun Nomor 7 Tahun 2006, menjadi semakin penting dan mendesak, karena prosesnya dilakukan oleh DPRA dan Gubernur.
“Namun dalam hal ini, elemen masyarakat Aceh dapat memberi masukannya. Dengan demikian, maka Pilkada sejak awal pembentukan aturan mainnya, tetap menjalankan spirit Rekonsiliasi bagi kokohnya perdamaian di Aceh,” lanjutnya.
Ferry menyayangkan keengganan untuk membentuk Qanun baru Pilkada dan adanya tindakan semata-mata melandaskan pada SK KIP (yang seringkali berubah), sehingga memberi gambaran tidak kokohnya pelaksanaan Pilkada di Aceh.
“Belum lagi para pihak senantiasa mengutip pasal-pasal dalam UU lain yang terkait dengan Pilkada berdasarkan versi masing-masing, yang dalam keterangan saya di MK saya sebut sebagai ‘potensi konflik regulasi’. Kondisi ini tentu semakin tegang karena hajat Pilkada tentu menghendaki para pihak tetap terjaga peluangnya untuk ikut, bahkan tidak dirugikan dalam pelaksanaan Pilkada,” tambahnya.
Mendagri Keliru
Dalam pernyataannya ke redaksi Aceh Corner, Ferry juga mengatakan penyampaian permohonan Pemerintah, yang diwakili Mendagri, untuk dapat mengakomidir PA dalam Pilkada merupakan tindakan keliru.
Apalagi, katanya, keterangan Pemerintah dalam sidang-sidang MK terkait Pilkada Aceh, tidak menunjukkan semangat yang kuat untuk menengahi pro-kontra yang ada.
“Jadi, bukan soal waktu untuk daftar Pilkada yang menjadi intinya, karena jika memang soal pendaftaran calon, sejak awal PA sebagai pemenang Pemilu di Aceh, sudah dapat mendaftarkan diri,” terang Ferry.
Tapi, PA menginginkan adanya pengaturan pelaksanaan Pilkada yang semuanya dituangkan dalam Qanun, sebagaimana diamanatkan oleh UU Aceh.
Meski belum dapat dikatakan sempurna, maka UU Aceh setidaknya sudah menampung dan dibahas dalam spirit terbangunnya Rekonsiliasi dan langkah-langkah Re-Integrasi masyarakat Aceh pasca perdamaian Helsinki.
“Jika Pilkada bertujuan untuk Aceh yang damai, maju dan sejahtera, maka Pilkada harus ditempatkan dalam spirit Rekonsiliasi. Jangan dilupakan pula, bahwa damai di Aceh baru berjalan 6 tahun, setelah konflik puluhan tahun.”
Ferry mengharapkan pemerintah segera mengakhiri ketidakpastian regulasi dalam pelaksanaan Pilkada di Aceh. Pasalnya, jika tetap dilaksanakan tanpa landasan Qanun baru, maka ‘kekerasan’ regulasi dibiarkan pemerintah untuk menciptakan kerumitan dalam Pelaksanaan Pilkada.
“Tokoh dan Masyarakat Aceh memiliki kemauan dan kemampuan untuk bermufakat, maka lakukan itu untuk tetap menjaga damai Aceh. Tidak ada yang harus dimenangkan, tidak ada yang harus dikalahkan, yang harus dilakukan adalah memberi hak hidup wajar, damai dalam rajutan rekonsiliasi,” pungkasnya.[]